Bagian 7

63.5K 3K 99
                                    

Jangan bosen dulu yaaa.

Happy Reading

***

Sepulang dari rumah kak Aliza, kulihat di halaman tidak ada mobil Bimo terparkir. Kemana? Apa dia pergi bekerja? Atau malah mengantar Rana jalan-jalan? Lihat saja kalau Bimo sampai berani berjalan-jalan dengan Rana.

Saat aku keluar dari mobil kudengar suara mesin motor terparkir di halaman. Aku menoleh dan mengernyit mendapati Bimo yang menggunakan motor itu.

Aku tahu Bimo punya beberapa motor besar di garasinya. Tapi, ini aku baru pertama kali melihatnya naik motor.

"Sayang!" serunya saat pandangan kami bertemu. Aku mendelik tidak mengindahkan ucapannya dan kembali melanjutkan langkahku.

"Akh!" pekikku saat tiba-tiba kakiku tak lagi menginjak lantai. Reflek aku mengalungkan tanganku pada leher Bimo yang menggendongku.

"Mas ih turunin!" Aku memukulkan kepalan tanganku pada dada bidangnya.

"Tidak akan, kamu harus maafin aku dulu, Sayang." Bimo melanjutkan langkahnya menuju kamar. Air wajahnya tampak kusut dan frustasi. Sudah darimana dia barusan, aku mengendus ke arahnya dan aku mencium bau alkohol meskipun tidak tidak terlalu tercium tapi aku bisa menciumnya karena jarak kami begitu dekat.

Aku hanya terdiam saat Bimo menggendong ku ke dalam kamar. Karena aku sedang hamil, jadi aku tidak mungkin berontak. Aku takut terjatuh dan terjadi apa-apa dengan bayiku.

Bimo baru menurunkanku saat kami sampai dikamar. Setelah menurunkanku di tempat tidur dia kembali ke arah pintu dan menguncinya.

"Kamu apa-apaan sih, Kak! Minggir aku mau keluar!" Aku mendorong tubuh Bimo yang berdiri di depan pintu.

"Tidak boleh, Sayang, kamu harus berada di kamar ini. Kamu tidak boleh berada di kamar lain!" Dorongan tanganku sama sekali tidak berpengaruh. Tubuh tegapnya sama sekali tidak bergeser dari tempatnya.

"Ih, Kakak minggir ah, aku mau keluar. Gede banget sih badannya!" Kepalan tanganku kembali memukul dada bidangnya yang tidak menyebabkan reaksi apapun.

Yang ada tangannya merengkuh tubuhku ke dalam dekapannya. "Ku mohon maafkan aku, Sayang. Kau boleh tampar aku sesuka hatimu dan kamu boleh melakukan apapun yang kamu mau. Asal kamu mau maafin aku, Sayang."

Aku mendorong tubuhnya dan melepaslan diri "Engga mau, Kakak bener-bener keterlaluan. Sudah tahu aku lagi hamil, kenapa Kakak tampar aku? Emangnya salah aku apa, Kak?"

"Sayang, maaf, saat itu aku sedang kalut. Aku cemburu saat mendapat kabar kamu di antar dan makan bersama pria lain. Dan dengan bodohnya aku mempercayai kabar itu. Aku tahu, Sayang kemarin kakak salah karena sudah memarahi kamu tanpa sebab. Tapi, kakak tahu kamu tidak mungkin menghianati Kakak bukan?"

DEG. Mampus gue, tau dari mana dia soal aku makan sama kak Divan?

"Aku makan sama Firly, Kak! Pulangnya juga sama dia." Aku membela diri. Aku tidak berbohong, 'kan? Toh, emang kemarin aku makan dan pulang bersama Firly, hanya saja di antar Divan. Maafkan hambamu ini, karena sudah membohongi suami hamba ya Allah.

"Iya, Sayang kakak percaya, Kakak minta maaf karena sudah mengira kamu bersama pria lain." Bimo menangkupkan kedua tangannya pada wajahku lalu dia memelukku kembali. "Kamu mau maafin kakak 'kan, Anna?"

Aku mengangguk. "Tapi ada syaratnya."

"Apa?" Bimo melepaskan pelukannya dan menatapku intens.

"Aku gak suka Rana di rumah ini." Sambil melipat tanganku di dada, aku mengatakannya dengan cemberut. Menyebut namanya saja langsung mengubah mood-ku menjadi down.

My Last Happiness (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang