Bimo bangkit dari sampingku. Mulutnya tampak komat-kamit mengumpat tidak jelas. Dia turun dari tempat tidur sambil merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan.
"Maaf, aku mengganggu," gumam suara berat milik seseorang yang baru saja masuk.
"Tidak dimaafkan," dengus Bimo membuatku terkekeh geli.
"Tidak apa-apa, kak Divan. Tidak mengganggu kok." Bimo melebarkan matanya, menatapku seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku ucapakan. Kedua matanya berbicara 'tidak mengganggu katamu?'
Aku terkekeh geli membuat Bimo membuang muka saat aku menatapnya.
"Kemarin kakak tidak sengaja bertemu Firly, teman kamu. Terus dia bilang kamu sakit. Makanya kakak kesini." Divan melangkah mendekat lalu menyimpan bunga dan buah yang dia bawa di atas nakas. "Maaf, cuma bawa ini. Kakak bingung soalnya mau bawa apa."
"Seharusnya kau tidak datang saja!" Bimo masih saja sibuk mendengus.
Kulihat wajah Divan yang merasa tidak enak dengan sikap suamiku.
"Tidak apa-apa, kak. Jadi ngerepotin. Aku udah gak papa ko, kayanya besok atau lusa juga udah boleh pulang."
"Hm..." Divan begumam sambil menggaruk belakang kepalanya tampak bingung. "Baguslah kalau begitu Anna. Ah, ya sepertinya aku buru-buru. Akhir-akhir ini lagi banyak pekerjaan. Jadi, kakak tidak bisa berlama-lama disini."
"Memang seharusnya jangan lama-lama. Lagipula untuk apa berlama-lama disini!"
"Kakak!" Aku menarik lengan Bimo, memperingati karena aku merasa tidak enak dengan Divan yang memasang raut wajah tidak nyaman. Bagaimanapun juga Divan sudah berniat baik mau menjengukku kesini.
"Apa?" Dengan begonya Bimo mengatakan itu. Aku mendelik dan menggelengkan kepalaku. Seorang Bimo yang terkesan serius dan dingin berubah menjadi seorang yang tulalit disaat cemburu. Kalau sikap menyebalkannya sih sudah dari dulu.
"Yasudah Anna, kalau begitu kakak pulang dulu. Semoga kamu cepat sembuh, ya." Divan berdiri di sampingku lalu mengusap dahiku.
Aku tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, kak," kataku sebelum Divan keluar dari ruangan.
"Terima kasih, kak." Bimo membeo ucapanku dengan nada mengejek setelah Divan pergi.
"Mas Bim kenapa, sih?" Aku menatap suamiku kesal.
Ucapanku tidak di indahkannya. Dia melangkah ke sisi lain tempat tidur lalu, meraih bunga yang di bawa Divan tadi.
"Mas mau di kemanakan bunganya?" tcapku saat Bimo membawanya kearah luar.
Bimo menghentikan langkahnya dan menatapku dingin. "Kamu suka bunganya?" gumamnya datar.
"Mas Bim 'kan tahu aku suka mawar putih. Jadi sudah pasti aku suka." Aku mengerutkan keningku. Raut wajahnya berubah marah setelah aku menyelesaikan ucapanku.
"Aku akan membelikan mu bunga mawar putih yang lebih banyak dan lebih bagus dari ini." Bimo menginjak pedal tong sampah dan melempar bunga itu ke dalamnya.
Bimo kembali melangkah ke arahku. Dia menggeser kursi di sebelah tempat tidurku dengan kasar dan menghempaskan tubuhnya disana.
Aku masih melihat tong sampah yang dipakai Bimo membuang bunga itu.
"Tidak usah di liatin terus Anna!" seru Bimo menangkup wajahku dengan kedua tangannya lalu menghadapkan wajahku padanya.
Aku mengerucutkan bibirku menatapnya. "Tapi 'kan sayang bunganya!"
"Biarkan saja, lebih sayang bunga itu atau aku?"
Tak ada jawaban dariku, aku memutar bola mataku melirik pada tong sampah itu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Last Happiness (TELAH TERBIT)
RomanceSequel Of The Story 'My Possessive Hero' Masalah itu datang silih berganti dalam kehidupan rumah tangga Anna dan Bimo. Apakah Anna akan berhasil menerobos dinding kekuatan cinta itu? Jika ternyata ia yang akan berjuang sendiri disini? Tanpa Bimo yan...