Chapter 3: Expectation and Reality

23 2 2
                                    


Waktu berjalan seperti biasa, tapi cowok ramah anak sebelah itu masih membuatku deg-deg-deg. Padahal, sejak kelas 3 aku tidak pernah berbicara padanya. Bahkan bila berpapasan pun aku malu untuk menyapa.

Rela datang pagi, sepagi ayam berkokok, hanya untuk melihat dirinya datang. Rela keluar belakangan saat jam istirahat, hanya untuk melihat dirinya tertawa bersama temannya. Aku rela, rela untuk dibodohi ternyata.

Katanya, ekspetasi (harapan) dan Kenyataan itu berbeda. Aku kurang setuju, kupikir dengan kita mengharapkan sesuatu kita akan berusaha untuk mewujudkan harapan itu menjadi nyata. Aku tidak mau mendengar 'Quotes' orang-orang yang mudah menyerah seperti itu. Jadi aku berniat menyapanya lagi setelah sekian lama bila ada kesempatan. Ku berharap dia berpikir sama dengan yang aku rasakan.

Saat ditangga, aku menyapanya. Tapi ia tidak menoleh. Kupikir dia memang tidak mendengar.

Di tempat les, dia duduk dengan jarak cukup dekat denganku. Namun ketika ada masalah dia menanya teman yang lain, bukan padaku.

Saat di rapat sekolah, padahal kita satu tim, tapi aku diacuhkan.

Dan banyak hal yang membuat pikiranku berubah, ternyata 'Quotes' itu benar. Aku berpikir seperti itu karena..

Dia saja tidak melihatku, dia saja tidak menganggap aku ada. Bagaimana mungkin aku bisa membuat dia melihatku? Bagaimana bisa aku mencuri hatinya? Paling jeleknya, bagaimana bisa aku membuat dia mengenalku?

"Capek aku Na, suka sama dia. Ngeliat aku saja tidak." Ujarku sedih.

"Elah gitu doang, lebay lu." Kata Gina sambil asik Fangirl-ingan, kayak Faza.

"Bayangin dong, 2 tahun. Yaampun ekspetasi gua jauh banget. wkwkwk." Ucapku sendirian, karena Gina asik sendiri.

"Sedih kisah lu ya, E. Turut prihatin, cup-cup-cup." Kata Nunu sambil memasang muka memelas.

Aku baru sadar, ternyata yang duduk didepanku hari ini Nunu. Apa sih dia ikut campur batinku. Untung saja Alva belum datang sepagi ini, pasti aku tambah diledekin akan hal ini.

"Tenang aja, kalo jodoh mah gak kemana, E." Katanya lagi. Aku terdiam.

Dia membuka tasnya, dan mengeluarkan bekalnya. Mungkin sarapannya, pikirku. Dia membuka bekalnya dan menawarkannya padaku.

"Mau gak, E?." Katanya.

"Itu apa?" Kataku.

"Ini telur dadar, pake saus. Tapi gak ada nasinya, Ibu gua masak nasi tapi belum mateng jadi gua bawa telur aja. Hehe" Sambil menyodorkan sekotak tempat bekal berwarna putih padaku.

"Makasih, ya. Udah sarapan tadi, hehe." Kataku. Dia juga menawarkan ke Ginaa, namun hanya dibalas gelengan kepala saja.


Dia lucu. Sederhana sekali pikirannya.

Haha, lucu sekali. Memang perempuan itu labil ya! apa hanya aku saja yang labil? Entahlah.

Tapi hal ini, membuatku lebih tenang. Pria tidak hanya si cowok ramah anak sebelah itu saja, BANYAK! Nunu juga salah satunya.


---SENAM AKAN SEGERA DIMULAI, DIMOHON BAGI SISWA/I YANG ADA DI KELAS SEGERA KELAPANGAN---


Sejak saat ini, aku tak perlu lagi melihatnya sering-sering, aku tak perlu lagi sakit hati karena banyak teman ceweknya yang dekat-dekat dengannya, tak perlu bersedih lagi bila sapaanku tak dijawab olehnya, tak masalah ketika ada rapat sekolah aku tak bisa terlalu akrab dengannya. Tak apa, karena aku kini jauh lebih tenang. Jauh lebih tabah.


----------

"Faza, coba lihat deh. Ada yang aneh gak sama gua?" Tanyaku padanya.

"Rok Pramuka lu kenapa sedengkul, Sae!?." Katanya kaget.

"Gua salah bawa rok, Faza!. Huaaaa wkwkwkwk" Aku bingung sekaligus lucu melihat diriku sendiri.

Teman-teman perempuanku menertawaiku juga, lucu, ini yang aku harapkan. Kebahagiaan bukan hanya dari lawan jenis. Tapi dari kebersamaan bersama teman.

"Sae, rok lu keren juga." Kata Alva.

"Hehe, iyanih, salah bawa rok. Udah ah, malu gua, jangan tanya-tanya lagiiiiiii." Kataku.

"Masih mending rok, daripada gua, ketuker bajunya." Kata Alva.

"Ya gapapa dong, masih enak." Ujarku.

"Tapi, kakak gua cewek. Nametagnya namanya Aisyah. Sejak saat itu gak ada yang mau nemenin gua pas SD." Candanya yang spontan membuat aku tertawa.

"Kok sekarang gak pernah ketuker baju lagi va?." Kata Nunu meledek.

"Gak ah, nanti pada naksir sama gua, ih." Jawab Alva yang membuatku tambah tertawa.

----------

Banyak tawa yang kudapat setelah perlahan aku melupakan cowok ramah anak sebelah, dibanding saat aku masih mencintainya. Patah hati, kecewa, cemburu membuat hatiku penuh bila terus-menerus mengejarnya. Kalau kupikir, mengumpulkan teman sebanyak-banyaknya lebih seru dibanding memperhatikan satu orang, ya lebih seru....


Hanya saat itu aja aku mengatakan seru.

Besoknya aku memperhatikan cowok ramah anak sebelah itu lagi, dan besoknya lagi, dan besoknya lagi. Jatuh cinta itu menyebalkan! Hehe.


Next Chapter:

Inbox (2)

"dari Nunu!?" , batinku.


You're Short!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang