Heart Stealer ♥ 7

11.8K 962 13
                                    

Alin tahu ia tidak berhak marah, justru ia harus bersyukur karena Calvin mau mendalami perannya mengingat tanggal syuting semakin dekat. Tetapi Alin benar-benar tidak nyaman dengan segala tingkah Calvin yang kesannya dipaksakan. Awalnya akting pria itu payah sekali, bahkan kesannya tokoh Bagas yang seharusnya lembut, rendah hati, sabar, berubah menjadi sosok yang berbeda 180 derajat.

"Senyummu itu benar-benar tidak ikhlas! Kamu tahu tidak sih cara senyum ke orang yang kamu sukai seperti apa?!" omel Alin.

Calvin memutar bola matanya kesal, entah sudah berapa kali Alin berteriak kepadanya hari ini. "Ini caraku tersenyum." Calvin memaksakan sebuah lengkungan di bibirnya tetapi begitu melihat wajah kesal Alin, ia tahu bahwa ia akan diomeli lagi.

"Kamu itu tidak pernah tersenyum ya?"

"Tentu saja pernah." Calvin melirik kearah Alin yang tengah menepuk-nepuk dadanya sendiri, hal itu membuat Calvin tertawa pelan. Entah kenapa, melihat Alin kesal menjadi hiburan tersendiri bagi Calvin.

"Lihatlah! Kamu malah menertawakan aku! Aku itu sedang serius menasehatimu, Vin!" omel Alin lagi.

Rasanya Alin ingin membenturkan kepalanya ke tembok mengingat skripsinya yang belum selesai juga. Belum lagi ia harus berdiskusi banyak hal dengan Wiwit mengenai perubahan yang dilakukan wanita itu. Kadang Nara juga kerap kali mengajaknya bertemu dengan alasan membahas skrip, iya sih awalnya memang membahas skrip tapi lama kelamaan gadis itu malah mengajaknya bergossip dari aktor A sampai aktris Z.

"Coba kamu mulai memikirkan sesuatu apa yang membuatmu senang sehingga kamu bisa tersenyum yang 'ikhlas'. Jangan memaksakan senyummu, kesannya aneh sekali."

"Astaga Lin, aku bosan mendengar omelanmu itu. Bagaimana kalau kita malam ini pergi keluar? Hang out, gitu," tawar Calvin.

Dengan cepat Alin membentuk tanda 'X' di depan dadanya. "Tidak. Aku harus menyelesaikan skripsiku dulu, kamu tahu aku itu jauh lebih sibuk dari—"

Calvin segera menarik Alin dari sofa dan menyeretnya keluar dari apartemen. "Aku bosan melihatmu di depan laptop melulu. Kamu butuh refreshing, okay?" Tanpa menunggu jawaban Alin, Calvin langsung mengunci pintu apartemen dan menyimpannya di saku celananya.

"Tap Vin, aku itu masih pake pi-ya-ma!" seru Alin kesal.

"Sudahlah, kamu tetap cantik kok pakai apapun itu. Ayo jalan!"

Alin terhenyak mendengar perkataan itu, perkataan itu persis seperti perkataan seseorang. "Kamu itu tetap cantik memakai pakaian apapun itu, Lin."

Lamunan Alin buyar ketika Calvin meraih jemarinya dan menuntunnya menuju lift. "Kamu itu kenapa jadi suka melamun sih akhir-akhir ini? Aku tahu membuat skripsi itu sulit tapi jangan sampai hal itu membuatmu kehilangan fokus dalam banyak hal."

Suara Calvin yang cukup keras itu tidak membuat Alin membalasnya, justru kepalanya berkelana semakin dalam mengingat memory yang seharusnya sudah ia kubur.

"Jangan melamun seperti itu kalau kamu tidak ingin aku cium."

Spontan, Alin mengerjapkan matanya menyadari wajah Calvin yang tepat berada di hadapannya kurang dari 30 cm. "Apa-apaan sih kamu ini!" Alin segera mendorong tubuh Calvin untuk menjauh.

"Lagian salah sendiri daritadi aku ajak bicara malah melamun, kamu itu mikirin siapa sih?" tanya Calvin penasaran.

"Su-sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi," elak Alin yang membuat Calvin menatapnya semakin tajam. Ia tahu, gadis itu menyembunyikan sesuatu darinya.

***

Calvin mengajak Alin untuk makan di warung di pinggir jalan, sebenarnya Alin tidak masalah dengan hal itu hanya saja ia tidak percaya, seorang Calvin Salvatore yang merupakan aktor laga terkenal ternyata sangat down to earth mau makan di tempat seperti ini, tidak kebanyakan aktor atau aktris terkenal lainnya.

"Kamu tidak masalah 'kan kita makan disini?" tanya Calvin was-was.

"Tidak, justru aku yang ingin menanyakan hal itu kepadamu. Kamu tidak pa-pa makan di tempat seperti ini? Bagaimana kalau orang-orang mengenalimu?"

Calvin memamerkan senyum yang entah kenapa membuat jantung Alin mulai bekerja tak karuan dengan lebar. "Tidak akan. Justru kalau aku makan di tempat mewah malah ketahuan. Sudahlah, ayo turun, aku kenal baik dengan penjualnya."

Calvin beranjak turun dari mobil diikuti oleh Alin, mereka memasuki warung kecil tersebut dan Calvin langsung disambut baik oleh penjualnya. "Malem Den, mau makan apa?"

"Emm saya mau nasi pecel dengan wedang ronde Bu, kamu mau apa Lin?" Calvin menyerahkan menu berupa kertas yang dilaminating ke tangan Alin.

"Saya mau nasi sate saja Bu. Minumnya es teh manis."

Setelah mengucapkan pesanannya, penjual itu pergi meninggalkan Calvin dengan Alin berdua saja. "Aku tidak menyangka kamu suka makan di tempat seperti ini," ujar Alin jujur.

"Well, Ilas juga mengatakan hal yang sama setelah mengetahui kebiasaanku yang satu ini. Aku hanya ingin menolong orang-orang yang kurang beruntung, coba kamu bayangkan kalau semua orang memilih makan di restaurant besar atau restaurant cepat saji, bagaimana nasib pemilik warung makan yang kecil seperti ini? Usaha mereka akan bangkrut, lalu mereka akan makan apa?"

Alin tidak menyangka kalau Calvin ternyata cukup bijak dan prihatin dengan kondisi orang-orang yang berkekurangan. Dibalik hartanya yang melimpah, Calvin tidak pernah melupakan orang-orang yang dibawahnya.

"Aku tahu mungkin kamu menganggapku aneh atau apalah itu, aku hanya ingin membuka mata sebagian besar orang saja untuk tidak selalu melihat keatas melainkan melihat kebawah juga. Haah... Aku tampak aneh ya mengucapkan kata-kata seperti itu?"

"Tidak kok. Menurutku kamu adalah pria yang sangat baik Vin, tidak banyak orang—apalagi yang sejenis kamu—mau memikirkan nasib orang lain yang berada dibawah mereka," ujar Alin jujur.

"Dan juga menurutku, kamu sangat tampan apabila tersenyum. Kamu sadar tidak sih daritadi selama membicarakan hal ini, kamu seringkali tersenyum? Menurutku senyummu itu sangat tulus."

Mendengar penjelasan Alin membuat Calvin kini terdiam, entah mengapa hatinya mulai mengeluarkan getaran aneh dan gelenyar hangat. Sepertinya, kini Calvin mulai bisa mendalami peran Bagas yang sesungguhnya.


***************


Aku tau ini dikit (banget) tapi anggep aja part ini filler menuju pergolakan batin mereka (buset bahasa gue) Terima kasih sudah membaca :)



Heart Stealer (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang