"Lo lagi ngapain?"
Laki-laki itu lagi. Alin meletakkan novel yang ia baca dan mendesah cukup keras melihat wajah Bayu. Semenjak insiden laki-laki itu menabraknya, laki-laki itu kerap kali berusaha akrab dengannya, dan Alin jujur saja terusik dengan hal itu. Ia sudah biasa sendirian dan ketika laki-laki itu mengusiknya, ia malah merasa tidak nyaman.
"Nggak bisa lihat gue lagi ngapain?" balas Alin balik bertanya.
Bayu tercengir kecil. "Gue tahu kenapa lo nggak punya teman."
Alin menyeringitkan dahinya tak suka, apa laki-laki itu akan mengoloknya? Atau mengatainya? Karena Alin tidak cantik? Tidak pintar? Tidak populer? Tidak...
"Lo itu kurang ini," ia menarik kedua sudut bibir Alin kemudian memamerkan senyuman indahnya, "senyum. Lo kurang senyum."
Alin mengerjapkan matanya melihat apa yang dilakukan Bayu kemudian menghempaskan tangan laki-laki itu kasar. "Apa-apaan sih lo ini? Kenapa lo gangguin gue? Bukannya lo sudah punya image good guy? Kenapa malah ganggu gue?"
"Gue enggak ganggu lo, kok. Gue cuma berusaha berteman sama lo karena gue yakin, jauh dibalik wajah dingin lo itu, hati lo hangat. Dan... gue pengen jadi orang pertama yang ngerasain hangatnya hati lo itu."
Alin menatap Bayu tak mengerti sementara pria itu hanya tersenyum seolah-olah memahami kebingungan Alin. "Polos banget sih lo ini," ujarnya sembari mengusap puncak kepala Alin.
Alin tak bisa bereaksi apa-apa menerima perlakuan Bayu, tetapi satu hal yang Alin ketahui secara pasti, ia tidak membenci akan segala perlakuan Bayu.
"Brengsek!" maki Alin setelah bangun dari mimpinya.
Ia mengusap sisa air mata yang mengalir, bagaimana bisa ia masih bisa memimpikan pria itu? Dengan tangan bergetar, Alin meraih obat anti depresinya dari dalam laci dan menegak obat itu dengan kasar sampai tersedak. Air matanya masih mengalir, tangan kirinya menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit sementara tangan kanannya meremas sprei kuat-kuat.
"Aku membencimu Bay," Alin terus menepuk-nepuk dadanya, "aku membencimu. Aku akan terus membencimu sampai saatnya kita bertemu nanti, kamu harus ingat akan hal itu."
***
Sebenarnya Calvin mencurigai kamar Alin yang terdengar sedikit ramai seperti ada benda jatuh, apakah ada maling di apartemennya? Tetapi setelah beberapa lama menunggu dan tidak ada tanda-tanda apapun, Calvin yakin kalau sebenarnya itu bisa saja barang Alin yang jatuh mungkin karena tikus atau apalah itu.
"Ah, tapi di apartemen ini mana ada tikus?" ujar Calvin bermonolog sendiri.
Ia menghela nafas panjang, hari ini adalah hari syuting pertama. Ia tidak bisa mengecewakan agensinya dan juga Alin—sang penulis novel yang kebetulan adalah teman serumahnya. Dan juga, ia menyadari sesuatu bahwa sebenarnya ia tertarik dengan Alin.
Tetapi Calvin tidak tahu apakah rasa tertarik itu merupakan bentuk suka atau hanya penasaran saja mengingat betapa sensitifnya Alin akan cerita yang ia karang, bahkan terkesan kelam dan kejam. Alin seringkali berekspetasi tinggi yang sulit Calvin mengerti karena Alin tidak pernah menjelaskan kepadanya sosok Bagas itu.
"Aish... Memusingkan sekali ya wanita itu, kalau pria melakukan salah tidak pernah diberitahu kesalahannya apa, disuruh mencari tahu sendiri. Kalau aku tahu aku salah ya pasti aku memperbaikinya, masalahnya, aku sendiri 'kan tidak tahu kesalahanku dimana," keluh Calvin kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart Stealer (COMPLETED)
ChickLitKisah mengenai dua orang yang tidak saling mengenal satu sama lain tetapi dipertemukan oleh takdir. Kisah mengenai dia yang tidak pernah mengenal cinta bertemu dengan seseorang yang penuh luka atas nama cinta. Kisah mengenai dia yang berusaha berdam...