Prolog
Valerie Vorigan
Aku ragu apakah Tuhan pernah benar-benar memberiku pilihan. Dan selama ini aku takhluk pada keinginan-Nya, menjalani seluruh masa eksistensiku tanpa berniat keluar dari apa yang telah Ia gariskan untukku. Termasuk menerima dengan sukarela kodratku sebagai seorang vampir.
Kukira Tuhan sedang berbaik hati padaku ketika mempertemukanku dengannya. Kukira dialah yang Tuhan kirim sebagai hadiah atas kesabaranku selama ini. Tapi sekali lagi, aku salah.
Tuhan ingin menghukumku lebih lagi. Dari seluruh hal yang ada di semesta, kenapa aku harus jatuh cinta kepada seorang manusia? Dari seluruh keturunan darah murni maupun darah campuran, kenapa tak seorang pun yang berhasil memikat hatiku?
Tentu saja seorang makhluk tak berjiwa sepertiku tidak pantas jatuh cinta. Apa gunanya melawan kodrat alam? Aku dan dia ditakdirkan sebagai pemburu dan mangsa. Seperti halnya singa dan domba, laba-laba dan kupu-kupu, mereka tak seharusnya berdampingan.
Jika mengikuti egoku, aku pasti sudah mengubahnya sejak dulu-- menjadikannya makhluk abadi sepertiku tepat ketika ia membuatku merasa jantungku yang telah mati dan beku mulai berdetak kembali. Tapi tak semudah itu. Cinta membuat manusia bertindak irrasional, tapi itu juga berlaku bagiku.
Aku terlalu mencintainya. Aku tidak akan pernah sanggup merenggut hidupnya. Aku sudah terlalu lelah melawan. Biarlah semua berjalan seperti seharusnya. Aku akan menghilang, karena aku memang tak seharusnya di sini. Dia adalah milik cahaya, sedangkan aku adalah milik kegelapan. Biarlah selamanya seperti itu...
Chapter 1Keluarga Vorigan
Meja makan besar nan megah itu dikelilingi oleh kelima anggota keluarga Vorigan. Cahaya lilin dari candelar di atasnya berpendar di atas permukaan meja yang mengilap. Meja panjang berbentuk oval itu bersih, tak ada satu pun piring atau gelas di atasnya. Tentu saja keluarga Vorigan tidak benar-benar akan makan malam. Meskipun begitu, ruang makan itu tetap di desain sedetail mungkin, seperti ruangan-ruangan lain dalam kastil itu. Dalam keperluan pertemuan keluarga seperti ini barulah ruang makan itu berfungsi.
Vladius Vorigan, duduk di ujung meja sebelah utara dengan Elizabeth di samping kanan dan Altair di samping kirinya. Sementara putri kedua dan ketiganya, Rosaline dan Valerie duduk berhadapan di sisi meja yang lain. Keempat pasang mata berwarna hitam legam serempak memandang Vladius sang kepala keluarga, meskipun dengan ekspresi yang berbeda-beda.
Elizabeth menatap pasangannya dengan rasa kagum dan hormat yang nyaris tak dapat dibedakan. Bibir tipisnya melengkung membentuk senyuman menyemangati, nyaris terlihat lega entah untuk alasan apa.
Altair sang putra tertua duduk tegak di bangkunya dengan kedua tangan terlipat di atas meja. Matanya bergantian memandang ayah dan ibunya, menantikan penjelasan. Rosaline menatap ayahnya dengan tatapan datar, nyaris tampak bosan. Tubuhnya diam tak bergerak sehingga bisa saja ia dikira patung. Bahkan matanya tampak meredup. Benar-benar patung yang sempurna.
Sementara Valerie, si bungsu, menatap ayahnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Vladius bergantian memandang mereka satu per satu, kemudian menghela napas dan tersenyum.
"Aku tahu kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku mengumpulkan kalian di sini." Vladius memulai. "ada beberapa hal penting yang ingin kusampaikan pada kalian, dan aku di sini tidak untuk meminta persetujuan."
"Persetujuan untuk apa?" tanya Altair curiga.
"Kalian sudah dewasa dan kurasa tugas kami sudah selesai. Kami memutuskan sudah saatnya bagi kami untuk beristirahat--"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Faith
VampireMenjadi yang terkuat, yang tercepat, dan memiliki penampilan rupawan bukanlah segalanya jika hal itu menghalangimu bersatu dengan orang yang kau cintai. Kau akan selalu dihadapkan pada ego dan cinta itu sendiri. Kadang menjadi manusia biasa adalah b...