Hari demi hari berlalu. Reigan mulai khawatir tidak akan bertemu Valerie lagi, sementara pencariannya masih tetap nihil. Tapi sore itu, begitu Reigan hendak keluar dari rumah untuk pergi ke kafe, Valerie menunggunya. Gadis itu berdiri di depan flatnya, tersenyum begitu melihat Reigan mendekat.
"Kenapa kau berdiri di sini, Valerie? Kenapa kau tidak mengetuk pintu saja? Kukira aku tidak akan bertemu denganmu lagi--"
Valerie tersenyum. "Tenanglah, Reigan. Aku memang ingin menunggumu di sini."
Reigan nyaris tidak bisa menyembunyikan kelegaannya. "Kukira kau tidak akan kembali."
"Aku sudah di sini, Reigan." Valerie tidak menyangkal perasaan bahagia yang menyelimutinya saat itu juga. Kekhawatiran Reigan terhadapnya-- entah mengapa terasa begitu... manis.
"Kau membuatku menunggu begitu lama." kata Reigan dengan kening berkerut. Ia ingin berpura-pura marah, tapi senyum itu tidak bisa semudah itu disingkirkan dari wajahnya.
"Aku tidak tahu kau akan menungguku." ujar Valerie jujur. Jika ia tahu Reigan juga menginginkannya, mungkin sisi egoisnya-lah yang akan menang. Ia pasti lebih memilih terus berada di sisi Reigan daripada kembali ke kastilnya.
"Aku akan selalu menunggumu, Valerie." Reigan berkata dengan sungguh-sungguh. Mata indahnya mengunci tatapan Valerie.
Melihat keindahan mata Reigan... menyadari kesungguhan dalam kata-katanya... justru membuat Valerie terluka. Ia berharap bisa mengungkapkan betapa besar perasaannya terhadap Reigan, tapi itu tidak mungkin. Itu hanya akan mengakhiri kisah mereka lebih cepat.
"Jangan..." gumam Valerie. Keironisan mewarnai suaranya.
Reigan bisa merasakan bahwa suasana di antara mereka telah berubah. Keriangan singkat tadi telah berganti menjadi kabut mendung yang sekali lagi memberi jarak antara dirinya dan Valerie.
"Well, kalau begitu sebagai gantinya kau harus menemaniku minum kopi. Bagaimana menurutmu?" tanya Reigan ceria, berusaha menyingkirkan kabut itu.
Senyum Valerie kembali merekah. "Baiklah."
Mereka berjalan di sepanjang trotoar yang sore itu dipadati banyak orang. Tidak seperti biasanya, lalu lintas pun tampak lebih ramai, seolah semua orang berpikir itu adalah saat yang tepat untuk berada di luar rumah.
Angin musim gugur menghembuskan daun-daun kuning dari pepohonan, meniupkan melodi berbeda pada setiap tubuh yang dilaluinya. Dinginnya udara seperti melebur bersama kehangatan yang menguar dari kedai kopi di ujung jalan.
"Ke mana kau pergi selama ini?" Reigan bertanya ketika mereka telah duduk di tepi jendela dengan dua cangkir kopi hangat.
Valerie menatap kepulan asap dari cangkir kopinya sambil tersenyum, menolak menatap mata Reigan.
"Aku pergi ke luar kota bersama kakakku-- urusan pribadi." jawab Valerie enggan.
"Dan, apakah kau masih tinggal di kota?"
"Ya, masih."
Reigan tersenyum.
Valerie menyadari, semakin Reigan bertanya, ia akan semakin menjawabnya dengan kebohongan. Itu di luar nalurinya yang memang menginginkan Reigan mengenalnya. Maka ia buru-buru mengubah topik.
"Jadi, apa saja yang kau lakukan selama aku pergi?" tanya Valerie, berusaha terdengar lebih ceria.
Selama satu jam berikutnya, pembicaraan mereka telah mengalir lancar dan ceria. Sesekali terdengar derai tawa dari meja mereka, seolah ingin memberitahu seluruh pengunjung di sana bahwa mereka adalah pasangan yang berbahagia. Paling tidak, itulah yang diharapkan Valerie.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Faith
VampireMenjadi yang terkuat, yang tercepat, dan memiliki penampilan rupawan bukanlah segalanya jika hal itu menghalangimu bersatu dengan orang yang kau cintai. Kau akan selalu dihadapkan pada ego dan cinta itu sendiri. Kadang menjadi manusia biasa adalah b...