Valerie tidak melihat Altair, tapi ia tetap mengikuti baunya. Bau itu mengarah tepat ke dalam hutan. Valerie mempercepat larinya. Ketergesaannya bercampur dengan kekesalan, amarah, dan antisipasi. Ia yakin kali ini ia dan kakaknya tidak akan sekedar bernegosiasi. Pikiran itu membuatnya tegang. Seluruh inderanya siaga seolah ia hendak berburu.
"Cukup, Altair!" geram Valerie pada udara kosong. Ia berhenti tepat di tengah lapangan kecil di dalam hutan. Pepohonan di sana lebih renggang di banding sisi hutan yang lain. Suara gemericik air sungai terdengar di kejauhan. Valerie menduga tempat itu sudah jauh dari kota, tapi belum juga mendekati kastilnya.
Mata Valerie mengawasi setiap sudut hutan di hadapannya dengan tatapan waspada. Altair tidak terlihat, tapi Valerie tahu ia di sana.
"Teror ini tidak akan membantu. Hentikan sekarang juga!" lanjut Valerie masih dengan nada tinggi.
"Aku pun ingin menghentikannya sekarang juga." Altair mendarat di atas sebatang pohon besar yang telah roboh. Ia tidak tersenyum. Bibirnya terkatup rapat membentuk garis kaku. Ia tidak mengalihkan tatapannya dari Valerie, seperti Valerie tak mampu mengalihkan tatapannya darinya.
"Sudah kukatakan aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya!" Ketegangan di udara nyaris melebur dalam suara mengancam Valerie.
"Aku sudah memperingatkanmu, tapi kau tidak mendengarkan. Aku tidak punya banyak pilihan."
Geraman buas terlontar dari sela-sela bibir Valerie. Inilah hal terakhir yang ingin di dengarnya dari Altair. "Kalau begitu hadapi aku dulu!"
Ia melengkungkan tubuh dan menerjang Altair. Untuk sedetik mata Altair melebar, tidak menyangka Valerie akan menyerangnya hingga tubuhnya membentur pohon. Pohon itu perlahan roboh dengan suara keras, menghamburkan tanah dari akar-akarnya ke segala arah.
Valerie kembali mendarat dengan posisi berdiri, kemudian menunduk siaga, tapi Altair sudah siap menghadapinya. Detik berikutnya tubuh Valerie kembali menghambur secepat kilat ke arah Altair. Tangannya terkepal penuh kemarahan. Sekali lagi Altair tidak bisa menghindar. Ia mendorong Valerie hingga tubuhnya terlempar ke udara.
Geraman marah kembali terlontar dari bibir Valerie. Giginya terkatup sangat rapat hingga kekuatannya mampu mengikis batu granit. Ia belum ingin menyerah. Secepat kilat ia kembali menerjang Altair.
Gerakan mereka begitu cepat hingga terlihat seperti gerakan berpusar-pusar yang kabur di bawah sinar matahari. Burung-burung terbang menjauh setiap kali tubuh mereka membentur pepohonan. Hutan yang semula tenang dan alami kini terlihat seolah baru saja terkena topan.
Tarian itu perlahan melambat saat tangan kekar Altair memiting kedua lengan Valerie ke belakang. Gadis itu masih berusaha melawan meskipun ia tahu dengan sedikit kekuatan lagi tangan Altair akan mampu meremukkan lengannya.
"Menyerahlah, Valerie!" Altair memperingatkan. "Aku tidak ingin terpaksa melukaimu."
"Tidak akan!" geram Valerie.
Rahang Altair mengeras. Dengan tangan yang lain ia meraih ke leher Valerie. Tatapannya terkunci ke depan, kemudian ia merenggut lepas kalung Valerie.
Seketika gadis itu tersungkur ke tanah. Sinar matahari memang tidak akan membunuhnya, namun tanpa kalung itu tubuhnya tak berdaya. Setiap senti tubuhnya terasa lemah seolah ia telah membiarkan dirinya kelaparan selama berbulan-bulan. Bahkan untuk berdiri pun ia tak yakin sanggup melakukannya.
"Cukup, Valerie! Inikah yang kau inginkan?"
Valerie mendongak. Tubuh Altair menjulang tinggi di hadapannya, menghalangi sinar matahari yang menyorot langsung kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Faith
VampireMenjadi yang terkuat, yang tercepat, dan memiliki penampilan rupawan bukanlah segalanya jika hal itu menghalangimu bersatu dengan orang yang kau cintai. Kau akan selalu dihadapkan pada ego dan cinta itu sendiri. Kadang menjadi manusia biasa adalah b...