Chapter 3 "Reigan Ainsworth"

351 18 0
                                    


Reigan's PoV

Udara bulan Juli yang hangat menyambutku begitu aku membuka pintu kafe. Jalanan di luar begitu sepi, seperti biasanya. Well, kota ini memang bukan hunian favorit bagi kebanyakan orang. Dalam keadaan normal, aku juga akan memilih tempat lain, tapi kesunyian kota inilah yang memang kucari saat ini.

Aku meneguk sisa kopiku, kemudian melemparkan gelas styrofoamnya ke tempat sampah terdekat. Isi tempat sampah itu berceceran keluar, membuat pemandangan di sana semakin tidak menyenangkan. Tapi tak seorang pun peduli.

Saat aku berbelok, tanpa sengaja pandanganku tertuju pada beberapa orang di kejauhan. Dua orang laki-laki berpakaian lusuh berdiri di bawah tiang lampu jalan yang sudah rusak. Aku hampir saja melanjutkan langkahku seandainya aku tidak lebih cepat menyadari apa yang sedang mereka lakukan. Di depan mereka, seorang wanita tersudut dan terkurung oleh lengan mereka.

Langkahku terhenti seketika. Tanpa pikir panjang aku mempercepat langkah menghampiri mereka. Jarak kami terpisah sekitar dua puluh meter. Mereka sama sekali tidak menyadari kedatanganku. Kulihat salah seorang di antara mereka mengangkat tangan untuk menyentuh wajah si gadis.

"Jangan ganggu dia!" bentakku tanpa bisa kucegah.

Kedua laki-laki menoleh dan menatapku, campuran antara terkejut dan marah. Sementara satu dari mereka mengawasi ujung jalan dengan gugup-- takut kepergok sedang melecehkan seorang gadis-- tapi ia tetap di tempat.

"Siapa kau?" tanya si laki-laki berbadan kurus. Aku tahu ia mencoba terdengar berani meskipun suaranya bergetar.

"Tinggalkan dia sendiri!" tukasku penuh penekanan. Aku tahu tidak akan ada gunanya meminta preman untuk tidak melecehkan seorang gadis dengan cara baik-baik. Aku juga tahu mereka akan dengan senang hati menghajarku, dan aku sama sekali tidak takut. Hanya saja, langsung menghajar mereka sementara si gadis tersudut ketakutan tidak akan membuatku lebih mulia.

Salah satu dari preman itu, yang bertubuh kekar dan berambut hitam tertawa mengejek. "Kau pikir kau ini siapa?"

Ia melangkah maju. Tampaknya perkelahian ini tidak bisa kuhindari. Yah, apa boleh buat. Ia tidak memberiku pilihan lain.

Ia melemparkan tinjunya ke wajahku. Kutangkap tangannya dengan mudah. Gerakannya begitu mudah ditebak. Kurasa ia menyadarinya dan itu membuatnya lebih gusar lagi.

Ia berusaha menyerangku secara bertubi-tubi, tapi gerakannya terkesan asal-asalan. Aku tidak mengharap terlalu tinggi. Orang-orang sepertinya biasanya hanya mengandalkan otot. Dengan gerakan-gerakan seperti itu, mustahil ia bisa mengalahkan seseorang yang lebih tangkas darinya.

Jika aku tidak membalasnya, aku yakin ia akan terus berusaha memukulku. Itu hanya akan membuat perkelahian ini semakin memakan waktu. Sementara itu, si gadis mungkin akan lebih ketakutan lagi. Kulemparkan tinjuku ke wajah preman yang sudah kelelahan itu dan ia tersungkur ke trotoar-- memegangi wajahnya yang kini kebiruan dan berdarah.

Tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di pipiku. Aku mendongak dan melihat si kurus telah meninggalkan tempatnya. Ia menatapku dengan keberanian yang dipaksakan. Tatapanku mengunci matanya dan aku bisa melihat nyalinya seketika menciut. Melawannya tidak akan memakan waktu lama. Kuberikan ia pukulan yang sama dengan temannya dan ia terjatuh sebelum sempat memberikan perlawanan. Bisa kurasakan darah mulai menetes dari sudut bibirku, tapi darahku tidak sebanyak si kurus.

Mereka berdua bangkit, menatapku ketakutan, kemudian berlari ke arah selatan. Aku bersyukur mereka menyerah. Jika mereka berusaha lebih jauh, aku mungkin perlu mengerahkan seluruh tenagaku. Untuk pertama kalinya aku bersyukur ayahku pernah mengajariku bagaimana cara berkelahi dan untuk pertama kalinya aku merasa ia benar-- ketenangan akan lebih berguna daripada kemarahan.

The Darkest FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang