Malam perlahan turun melingkupi kota Granville, berdampingan dengan bulan yang berpendar temaram di kegelapan. Reigan nyaris tak menyadarinya― atau mungkin memang tak peduli. Baginya, waktu terasa melambat saat ia bersama Valerie, seakan masa itu hanya milik mereka berdua. Ia tak lagi memikirkan pekerjaan, cuaca, atau kesibukan lain di luar itu. Dunianya yang normal dan monoton terasa sangat jauh sekarang.
Valerie bangkit dari sofa. "Aku harus pergi." ujarnya.
Wajah gadis itu tampak lebih bersinar dari yang pernah dilihat Reigan. Kebahagiaan yang terpancar dari tatapan Valerie juga tak luput dari perhatiannya.
Sesaat Reigan hanya diam, membiarkan pikirannya mencair. Kemudian ia bangkit berdiri dan menatap gadis itu dengan penuh harap.
"Apakah kau memang harus pergi?" tanyanya. "Tidak bisakah kau tetap tinggal?"
Valerie tidak menyangka pertanyaan ini akan keluar dari bibir Reigan. Ia mempertimbangkannya selama beberapa saat, sebelum akhirnya tersenyum dan berkata, "Baiklah."
Selama berjam-jam berikutnya, Valerie duduk di ruang santai, mendengarkan suara dari televisi sambil sesekali matanya mengawasi Reigan. Sementara pemuda itu sedang berjuang keras melawan matanya yang mulai memberat. Beberapa kali ia menahan kuap yang nyaris saja terlepas dari mulutnya. Ia tidak ingin menyerah dan membiarkan kantuk mengalahkannya. Sudah cukup ia menghabiskan berhari-hari terakhir tanpa Valerie. Itu adalah saat-saat yang terasa sangat lama baginya. Sekarang gadis itu telah berada di sini. Ia tidak ingin menutup mata, tidak ingin terlelap, karena ia masih merindukan gadis itu. Bahkan meskipun mimpinya belakangan ini selalu tentang Valerie, itu masih belum cukup bagi Reigan.
"Kau harus tidur, Reigan." ujar Valerie kemudian sambil memandang Reigan dengan tatapan antara geli dan sayang.
"Tidak, aku baik-baik saja." gumam Reigan, tanpa sadar menguap.
Valerie tertawa. "Aku tidak akan pergi― jika itu yang kau mau."
Alis Reigan terangkat. "Benarkah?"
Valerie mengangkat bahu santai.
Sesaat Reigan tampak merenung, kemudian ia berkata, "Yah...aku tadi hanya berpikir...tempat tidurku lumayan besar. Jadi kupikir, kalau kau mau...yang kumaksud hanya...well, bagaimana kalau kau ikut tidur di sana bersamaku?"
Valerie menatap Reigan cukup lama, mengamati rona merah saat pemuda itu mengatakannya. Ekspresi Reigan saat itu bisa dengan mudah ditebak. Valerie yakin, yang Reigan pikirkan bukanlah seperti yang dipikirkan kebanyakan lelaki. Meskipun hawa nafsu merupakan sesuatu yang wajar, namun hal itu tak tampak dominan di wajah Reigan saat itu. Justru tekad dan kesungguhan Reigan-lah yang membuat Valerie tersentuh dan tak mampu menolak.
"Kau tidak takut padaku?" tantang Valerie. Terselip nada humor dalam suaranya.
Reigan mengerutkan kening. "Sudah kubilang, aku lebih takut kau pergi meninggalkanku dan tidak kembali lagi."
Valerie tertawa. "Baiklah. Aku tidak akan membuatmu begadang lebih lama lagi."
Reigan bangkit, sejenak merenggangkan otot-ototnya yang kaku karena terlalu lama duduk. Ia memimpin Valerie ke kamarnya di lantai dua, sambil sesekali menoleh untuk memastikan gadis itu tetap di sana.
Sikap Reigan membuat Valerie lumayan terhibur. Pemuda itu berhasil membuatnya bersikap sangat manusia hari ini. Dalam hati ia bertanya-tanya, seandainya tawaran Reigan barusan diberikan kepada gadis lain, seperti apa seharusnya gadis manusia itu bereaksi?
Pikiran Valerie sedikit teralih saat Reigan mulai merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Sikap Reigan ini tak seperti yang biasa diperhatikan Valerie. Kali ini ia tampak sangat canggung, seolah sedang mati-matian bersikap gentle.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Faith
VampirosMenjadi yang terkuat, yang tercepat, dan memiliki penampilan rupawan bukanlah segalanya jika hal itu menghalangimu bersatu dengan orang yang kau cintai. Kau akan selalu dihadapkan pada ego dan cinta itu sendiri. Kadang menjadi manusia biasa adalah b...