Valerie kembali menegakkan tubuhnya. Gaun putihnya kini kotor dengan noda tanah dan darah. Dua tubuh hikers tergeletak begitu saja di dekat kakinya.
"Well," ujar Altair. Valerie mendongak dan melihat kakaknya bersandar di sebatang pohon. Tubuh seorang hikers lain tampak tak berdaya di sampingnya. "Tadi itu tidak buruk."
"Kurasa lain kali aku harus melakukannya dengan lebih baik lagi." kata Valerie sambil mengamati penampilannya sendiri. "Kau tidak pernah seberantakan ini setelah berburu."
"Kau hanya belum terbiasa. Tapi sungguh, kau sudah lebih baik dari yang kuduga." puji Altair.
Valerie mengangkat bahu, memutuskan bahwa pujian dari kakaknya kali ini terdengar tulus. "Terima kasih."
"Kalau begitu, ayo kembali ke kastil!"
Altair nyaris berbalik dan kembali melesat di tengah kegelapan sebelum melihat adiknya tetap bergeming.
"Ada apa, Valerie?"
Valerie terdiam dan mengawasi sekelilingnya. Ekspresinya penuh rasa ingin tahu. Angin yang berhembus menerpa wajahnya seolah membawa aura kebebasan yang selama ini tidak pernah ia rasakan. Ya, kebebasan itu terasa begitu nyata bagi Valerie, seakan-akan ia hanya perlu mengulurkan tangan dan menyentuhnya.
"Aku belum ingin kembali, Altair." kata Valerie sungguh-sungguh.
Altair melotot. "Apa? Kita ke sini hanya untuk berburu, oke?"
Valerie menggeleng keras kepala. "Tidak, Altair. Kita sudah sangat dekat dengan dunia luar. Aku ingin ke sana untuk melihatnya."
"Kau sudah gila, ya?" protes Altair. "Kau bisa membahayakan seluruh eksistensi kaum kita jika berani-berani muncul di lingkungan manusia."
"Aku tidak akan membuat kekacauan. Aku janji akan mengendalikan diriku. Lagipula, aku sudah terlalu kenyang, kok. Kau boleh mengawasiku." bujuk Valerie. Ia menatap kakaknya dengan sorot memohon. Cara itu biasanya berhasil.
"Apa yang ingin kau lakukan di luar sana?" tuntut Altair masih tidak setuju.
"Aku hanya ingin melihat. Hanya sebentar saja, Altair." paksa Valerie.
Altair memutar bola mata dan mendengus kalah. "Tapi kau harus berjanji setelah itu kita akan langsung kembali ke kastil!"
Valerie mengangguk semangat. "Baiklah!"
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai di kota-- berdiri di atas salah satu bangunan tua yang tidak berpenghuni. Valerie merasakan antusiasme meledak-ledak dalam dirinya. Inilah pertama kalinya ia keluar dari kastil, pertama kalinya ia berada di lingkungan dengan bau manusia di mana-mana. Tapi ia bisa menahan dahaganya.
Valerie mengamati manusia-manusia yang lalu-lalang di bawah mereka. Penampilan mereka sama sekali berbeda dengan dirinya, tapi bau mereka semua nyaris sama. Sebagai vampir berdarah murni, menahan godaan terhadap bau manusia bukanlah hal yang terlalu sulit bagi Valerie. Ia yakin bahwa dirinya bisa membaur dengan manusia tanpa kentara seandainya insting membunuhnya tidak sedang siaga. Seperti saat ini misalnya.
"Bukankah penampilan kita terlalu mencolok, Altair?" tanya Valerie tiba-tiba.
Altair yang sejak tadi berdiri waspada di belakangnya menatapnya tidak setuju. "Terlalu mencolok? Mereka bahkan tidak akan melihat kita."
"Tapi aku ingin mendekat."
"Tidak, Val! Kau sudah berjanji! Hanya melihat sebentar, oke?" Altair memperingatkan dengan nada tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Faith
VampireMenjadi yang terkuat, yang tercepat, dan memiliki penampilan rupawan bukanlah segalanya jika hal itu menghalangimu bersatu dengan orang yang kau cintai. Kau akan selalu dihadapkan pada ego dan cinta itu sendiri. Kadang menjadi manusia biasa adalah b...