Reigan terbangun keesokan harinya tanpa mengingat satu pun mimpinya semalam. Ia merasa ada yang janggal dengan mimpinya atau hari sebelumnya— ia tidak bisa memastikan yang mana. Masih sambil berbaring, ia mencoba mengingat-ingat. Butuh usaha cukup keras untuk memisahkan antara khayalannya dan realita, tapi penemuan baru yang didapatnya kemarin rasanya terlalu sulit untuk ia bayangkan sendiri. Lalu bayangan hari kemarin membanjiri kesadarannya dengan cara yang lebih masuk akal.
"Oh, sialan!" Seketika Reigan terduduk tegak hingga gelombang vertigo menyerangnya.
Dengan kepala masih pusing, ia bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat ia baru setengah jalan menuruni tangga. Ia melihat seorang gadis dengan rambut cokelat panjang sedang menyibukkan diri di dapurnya yang kecil. Seolah tahu ada yang sedang memandanginya, gadis itu menoleh dan tersenyum kepada Reigan. Reigan melanjutkan langkahnya dan menghampiri gadis itu.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya, heran melihat beberapa peralatan dapur yang berserakan di konter.
"Mencoba membuatmu terkesan." Valerie tersenyum, masih sambil memotong tomat.
"Kau sudah pernah melakukan ini sebelumnya?"
Valerie mengangkat bahu. "Well, aku melihatmu dan orang-orang lain melakukannya setiap pagi. Jadi, apa yang ingin kau makan?"
Senyuman tidak percaya tak sengaja terlepas dari bibir Reigan. Ia tampak berpikir sejenak. "Aku mau steak."
Valerie menunduk dan tersenyum malu. "Aku tidak bisa membuatnya."
Reigan kembali berpikir. "Ehm, kalau pancake?"
Kali ini Valerie menggeleng. "Aku juga tidak bisa membuatnya."
"Hmm, kalau begitu apa yang bisa kau buat?"
"Bagaimana kalau sandwich?"
Reigan tertawa. "Kenapa tidak bilang dari tadi. Baiklah, aku ingin coba sandwich buatanmu."
"Tunggu sebentar." kata Valerie antusias. Ia kembali menyibukkan diri sementara Reigan menontonnya dengan kagum.
Beberapa menit kemudian, sepiring sandwich tidak rapi sudah tersaji di hadapan Reigan.
"Silakan." gumam Valerie.
Ia menunggu dengan sabar sambil mengawasi saat Reigan mencicipinya. Sesaat kemudian pemuda itu mendongak.
"Aku terkesan." ujarnya. Seketika Valerie tersenyum lega.
Seusai sarapan, Valerie dan Reigan memutuskan pergi ke taman untuk menikmati cahaya matahari pagi. Mereka berdua duduk di bawah sebuah pohon cheddar besar sambil menikmati semilir angin yang menenangkan, sama seperti pasangan 'normal' lainnya.
Selama beberapa saat tidak ada yang bersuara. Reigan hanya memandangi tangan mereka yang saling bertaut, sementara Valerie berkonsentrasi pada kehangatan tangan Reigan sambil mendengarkan detak jantung pemuda itu. Baginya itu adalah musik terindah yang pernah ia dengar.
"Valerie?" gumam Reigan kemudian.
"Ya?" Valerie berpaling padanya.
"Bolehkah aku bertanya lagi?"
"Tanyakan saja."
"Ke mana kau pergi selama ini— setiap kali kau tidak bersamaku?"
Valerie tersenyum ironis. "Aku tidak pernah pergi."
Reigan menatapnya bingung. Ia berusaha mencerna kata-kata Valerie, tapi tidak bisa menemukan pemahaman yang menurutnya masuk akal.
"Aku sering mengikutimu." Aku Valerie terburu-buru. "Kau tahu, dengan berada di dekatmu, aku sedang melindungimu dan membahayakan nyawamu pada saat yang bersamaan. Tapi pada dasarnya aku ini egois, jadi aku akan selalu mencari alasan supaya bisa tetap berada di dekatmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Faith
مصاص دماءMenjadi yang terkuat, yang tercepat, dan memiliki penampilan rupawan bukanlah segalanya jika hal itu menghalangimu bersatu dengan orang yang kau cintai. Kau akan selalu dihadapkan pada ego dan cinta itu sendiri. Kadang menjadi manusia biasa adalah b...