Valerie tidak berjalan sepelan manusia ketika meluncur keluar. Hanya ada beberapa beberapa orang di sudut bar yang tampaknya sedang mabuk. Mereka tidak terlalu memperhatikan kehadiran Valerie.
Valerie meluncur ke dalam hutan. Ia sedang tidak tahan dekat-dekat dengan manusia. Meskipun Reigan tidak berada di hadapannya, tapi ia masih bisa mengingat dengan jelas bau manis tubuhnya-- dan setiap kali hal itu terjadi, tenggorokannya terasa seperti terbakar. Konsentrasinya untuk tidak membunuh satu manusia membuatnya ingin melampiaskannya pada manusia lain. Baginya bukan ide bijaksana jika ia membunuh manusia dengan jarak sedekat itu dengan Reigan.
Ia masuk lebih jauh ke dalam hutan. Yang ia butuhkan adalah udara bersih, basah, dan dingin. Meskipun dapat mengingat bau Reigan dengan jelas, menghirup udara segar sedikit menjernihkan pikirannya.
Tiba-tiba Valerie mencium bau lain. Pendengarannya yang tajam juga dapat menangkap bunyi gerakan yang mengarah padanya meskipun bunyi itu hanya berupa gesekan halus. Ia mencari-cari sumber datangnya bunyi dan menunggu.
Altair berhenti sekitar lima meter di depannya kemudian berjalan mendekat dengan langkah manusia. Kulitnya berpendar keperakan di bawah cahaya bulan. Rambut cokelat panjangnya sedikit berkibaran tertiup angin yang berhembus pelan. Matanya yang hitam legam menyipit tajam, memandang adiknya dengan curiga.
"Apa yang sedang kau rencanakan, Valerie?" Altair bersuara. Tajam. Menuduh.
"Apa maksudmu?"
"Kau berada di lingkungan penuh manusia-- tak sadarkah kau besarnya resiko yang kau timbulkan atas ulahmu? Bagaimana kalau kau tidak bisa mengendalikan diri dan membunuh mereka? Kau ingin kaum kita menjadi headline news besok pagi?"
Valerie menghela napas dan memutar bola mata, bosan. "Tenanglah, Altair. Aku di sini dan aku tidak mencelakakan siapa pun-- syukurlah."
"Belum!" tegas Altair. "Siapa pria manusia itu? Kukira kau sudah membunuhnya tempo hari."
Valerie tertegun. Ia tidak kaget jika Altair tahu ia masuk ke bar itu, tapi ia tidak menyangka Altair akan tahu tentang Reigan juga.
"Aku tidak berencana membunuhnya."
"Kenapa? Aku meninggalkanmu selama beberapa hari di sini dan kau masih bersamanya. Apa yang sebenarnya kau rencanakan? Jangan terlalu banyak main-main dengan mangsamu, Valerie."
"Kali ini jangan terlalu banyak ikut campur, Altair."
Mata Altair melebar tak percaya. "Aku peduli padamu, Valerie! Kau ingin menunggu mereka sadar siapa dirimu?"
Valerie memejamkan mata dan menghela napas. "Hentikan, Altair! Kau membuatku kesal--"
"Kalau kau tidak sanggup melakukannya, aku akan membereskannya untukmu."
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan membunuhnya."
Mata Valerie seketika terbuka. Ia menatap kakaknya tajam. Ekspresinya mengeras. "Jangan berani-berani menyentuhnya, Altair!"
"Seharusnya dia mati beberapa hari yang lalu, Valerie. Kau terlalu lama menundanya. Aku hanya ingin meluruskan."
Valerie mengulangi maksudnya, memberi penekanan pada setiap katanya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi."
Altair jelas terkejut. Ia tidak menyangka respon Valerie akan seperti itu. Sesaat kemudian alisnya terangkat curiga. "Adakah sesuatu yang tidak kutahu, Valerie?"
Mereka saling menatap-- seolah berusaha membaca pikiran satu sama lain. Tatapan Altair lebih tajam, menyerap suasana hati Valerie, memastikan kesungguhannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkest Faith
VampireMenjadi yang terkuat, yang tercepat, dan memiliki penampilan rupawan bukanlah segalanya jika hal itu menghalangimu bersatu dengan orang yang kau cintai. Kau akan selalu dihadapkan pada ego dan cinta itu sendiri. Kadang menjadi manusia biasa adalah b...