Udara Bebas

2.6K 230 10
                                    

"Aku boleh pergi ?"

Ludwig mengangguk kesal. Adiknya itu sudah mengulang pertanyaan yang sama sebanyak tiga kali. Dua minggu telah berlalu, kesehatan Lena sudah semakin membaik. Ia sudah tak lagi mengeluh akan kepalanya yang sakit. Akhirnya setelah sekian lama, Ludwig dan Pace dapat bernafas lega.

"Kau ingin mengajakku kemana?" Tanyanya lagi.

Lelaki itu nampak berpikir sejenak, ia mengetuk-ngetukkan jarinya dimeja. "Big Ben."

"Benarkah ?"

Ludwig mengangguk, "Tentu saja. Bersiaplah."

Lena tersenyum lebar dan segera beranjak dari ruang tamu. Ludwig memandang adiknya senang, adiknya yang mendadak kembali bersifat seperti anak kecil. Adiknya yang manja.

"Kau mau ikut, ayah ?"

Pace yang sedang membaca koran beralih menatap putranya, "Tidak. Aku di sini saja."

"Ayolah, ayah. Kau juga tak pernah jalan-jalan selama ini." Ucap Ludwig memelas, "London begitu indah, ayah."

Ayahnya menggeleng, "Melihat kalian bahagia itulah keindahanku, Ludwig."

Lelaki itu tak berbicara lagi, perkataan ayahnya benar-benar membuat sisi hatinya yang melankolis tersentuh. Bibirnya tersenyum, ia bahagia melihat keluarganya bahagia.

"Ayo Ludwig! Aku sudah siap."

Lena berdiri di depan mereka seraya memakai flat shoes-nya. Kedua lelaki itu terdiam, wanita di depan mereka terlihat begitu menawan walau hanya menggunakan celana jeans dan kemeja bercorak bunga-bunga. Rambutnya yang coklat keemasan ia kuncir satu menambah kesan keanggunan pada dirinya.

"Ludwig." Teriak Lena. Lelaki itu mengerjap beberapa kali, "Oh ayo!"

"Aku pergi dulu, ayah!" Ucap wanita itu lagi.

Pace mengangguk dan tersenyum samar mengamati pintu apartemen Ludwig yang baru saja menutup.

------

Burung-burung camar berterbangan, matahari bersinar terang. Kedua kakak-beradik itu bergandengan, sesekali sang kakak menunjuk beberapa tempat membuat adiknya tersenyum bahagia. Panorama menara istana Westminster memang sangat menawan, tak heran banyak turis manca  negara yang datang ke sini.

"Aku ingin naik ke London Eye."

Ludwig yang sedang menimum ice bubble-nya menatap adiknya, alisnya terangkat naik. "Apa ?"

"Aku ingin ke sana." Ulang Lena. Jari telunjuknya menunjuk sebuah wahana berbentuk kincir angin tersebut.

"Baiklah." Ludwig melihat ponselnya, "Ah tidak. Kita harus pulang sekarang."

Wanita didepannya itu kebingungan, "Kenapa ?"

"Aku diterima disalah satu perusahaan dan mereka mengajakku bertemu sehabis makan siang." Sahut Ludwig, "Dan itu berarti satu jam dari sekarang."

Sang kakak sudah berjalan meninggalkan adiknya yang malah berjalan ke arah sebaliknya.

"Kita ke sana bes----" Ucapan lelaki bermata coklat itu terhenti saat menyadari Lena tak berjalan disampingnya. Ia langsung membalikkan badannya, wanita yang dia cari berjalan dengan santai ke arah yang berlawanan darinya.

"Lena!" Teriak Ludwig. Wanita yang diteriaki itu berhenti lalu berbalik.

"Kau pergi saja. Aku akan keliling sebentar."

"Pulang!"

Lena menggeleng, ia menyedot ice-bubblenya sebelum berkata, "Ayolah, Ludwig. Aku tahu dimana apartemen kita, lagipula aku bukan lagi anak kecil."

"Tapi kau-----"

"Aku akan pulang sebelum jam tiga. Dah!" Potong wanita bermata coklat itu cepat lalu kembali berjalan. Ludwig semakin geram, dadanya naik turun untuk mengatur nafasnya yang semakin berat. Lelaki itu memejamkan matanya,  menghirup nafas panjang dan berkata dalam hatinya bahwa Lena akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.

Wanita berambut keemasan itu sudah memasuki salah satu kapsul London Eye. Ia duduk dengan manis disana, memperhatikan keindahan kota London dari atas. Gedung-gedung pencakar langit, rumah penduduk, taman, bahkan ia bersorak kegirangan ketika berhasil melihat apartemennya dari sini. Tapi semua itu mendadak sirna ketika matanya melihat seseorang lelaki yang duduk didepannya, senyum yang merekah dibibirnya perlahan luntur. Lelaki yang juga menatapnya itu mengeluarkan aura yang sangat tidak ia sukai. Aura dingin yang mencekam. Lena menelan ludahnya kasar, berusaha tersenyum lalu kembali memandang ke luar kapsul.

Sialan! Umpat wanita itu ketika menyadari lelaki misterius didepan masih saja menatapnya.

Pintu kapsul-kapsul London Eye bergantian terbuka, semua orang terlihat tersenyum dan puas ketika keluar dari objek pariwisara tersebut. Tapi keadaan itu tidak berlaku bagi seorang Lena Lee, saat pintu kapsulnya terbuka wanita itu langsung berlari pelan menjauhi wahana tersebut. Keringat dingin bercucuran dari dahinya, sesekali ia berbalik dan mendapati lelaki itu masih saja mengikuti.

Sialan! Dia pasti penculik.

Langkahnya semakin cepat, tinggal beberapa belokan dan ia akan sampai dengan selamat di apartemennya. Lena mengatur
nafasnya, ia menoleh sekali lagi dan lelaki itu masih saja mengikuti dengan langkah teratur yang santai.

Ya Tuhan! Lindungilah aku! Lena membatin lagi.

Gedung apartemennya sudah berada didepan mata, senyum harapan terkembang di bibirnya. Ia selamat. Dengan cepat ia melesat masuk dan memasuki sebuah lift. Tapi memang dewi Fortuna tidak memihak padanya lelaki itu juga ikut masuk satu lift dengannya. Satu lift.

Lena memencet angka 16 pada tombol di samping pintu masuk lift, perasaan was-was makin menyelimutinya ketika menyadari lelaki itu tak memencet tombol.

Tamatlah riwayatku! Selamat tinggal London.

Aura dingin semakin terasa. Suasana begitu hening. Berkali-kali wanita berambut coklat keemasan itu menelan ludahnya kasar dan melirik sekilas ke lelaki yang tak berhenti memandangnya.

Ting!

Pinti lift terbuka. Lena segera berlari tanpa memperhatikan papan peringatan lantai basah didepannya. Ia tersungkur di lantai, membuat beberapa orang yang mengantri di depan lift tertawa pelan.

"Sini biar ku bantu." Suara dalam nan serak itu membuat Lena mendongkak. Dan lagi-lagi ia menelan ludahnya kasar saat menyadari bahwa suara itu berasal dari lelaki penguntit yang sedari tadi mengikutinya.

"Oh Tuan." Ucap Lena lirih, "Bebaskan aku. Dagingku tak enak dan aku bukanlah orang berharta."

Lelaki depannya itu mengerenyit, "Apa ?"

Wanita itu bangkit, menempalkan kedua telapak tangannya seraya kembali memohon, "Bebaskan aku, tuan penculik."

Suara kekehan kecil terdengar, Lena memandangi lelaki di depannya ini bingung.

"Astaga. Kau kira aku penculik ?"
Lena mengangguk.

"Kau adiknya Ludwig bukan ?"

Wanita itu mengangguk lagi, "Kau kenal Ludwig ?"

Lelaki itu menaik turunkan kepalanya seraya tersenyum lebar, "Apartemenku berada disamping apartemenmu." Sahut lelaki itu. "Kita bertetangga, nona."

Lena tak dapat menahan malunya lagi, ia tersenyum kikuk kepada lelaki yang sudah ia tuduh sembarangan.

"Perkenalkan," Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Zac Afrod."

Lena tersenyum, "Lena Lee."

~~~~~~

Jreng! Masih ada yang ingat Zac Afrod nggak ? Kalau yang ingat comment ya!!!

Xoxo

Lena Lee : When You ComebackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang