Zac Kembali

2.1K 175 22
                                    

"Alexia!"

"Rowena Pevensie."

Alexia Smith segera memeluk wanita yang berdiri disamping meja kerja ayahnya dalam sepersekian detik. Wanita itu baru saja sampai di ruangan Orlando dan langsung memeluk wanita yang paling dirindukannya.

"Bagaimana keadaanmu, Kak?"

Rowena memutar bola matanya jengah, "Berhenti memanggilku kakak, Lexi."

Alexia tertawa, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Aku hanya berusaha menjadi adik ipar yang baik, Rowena."

"Adik ipar yang baik tidak memanggilku 'kakak' Lexi. Kita bahkan menjadi vampire pada umur yang sama." Ucapnya kesal, lalu tersenyum secara tiba-tiba. "Bagaimana keadaan Gorgon? Apakah dia baik-baik saja?"

"Selama Gorgon disisiku, ia akan baik-baik saja." Jawab Alexia percaya diri, lalu menatap Orlando yang berdiri didekat jendela. Lelaki berambut putih yang mengubahnya menjadi vampire 500 tahun silam saat ia hampir saja mati karena influenza.

"Kau berakting sangat baik, Lexi."

Alexia beralih menatap Justin yang berdiri di samping lukisan abstrak yang indah, tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Benarkah?" tanyanya tak percaya, "Mungkin aku harus mengikuti audisi sesekali." Ujarnya bercanda, membuat semua orang diruangan itu tertawa.

"Sepertinya ia mulai mencintaimu, Justin."

Justin menatap datar.

"Ia menangis tersedu-sedu saat aku menemukannya di atap." sambung Alexia.

"Hal ini mulai bekerja, Justin." Rowena menimpali.

Justin mengangguk, berjalan menuju jendela yang menampakkan kota London dari atas.

"Biarkan waktu menemukan saat yang tepat." gumamnya pada dirinya sendiri.

---------

Surya telah tenggelam, terganti oleh rembulan yang meneduhkan. Hiruk pikuk kota London belum mereda bahkan semakin menggila, lampu berwarna-warni menghiasi jalan, menenggelamkan sinar rembulan dan bintang. Wanita bermata coklat itu berjalan dengan gontai di lantai apartemennya, kondisinya berantakan ditambah dengan pelupuk matanya yang membengkak. Ia menghirup nafas panjang, lelaki itu bahkan tak khawatir dengan keadaannya yang begitu mengenaskan hari ini. Tidak ada lagi lelaki tampan yang mengantarnya pulang dengan BMW hitam, ia merindukan itu. Lena merogoh tasnya saat ponselnya berdering.

"Allo?"

"Lena? Kau baik-baik saja?"

Lena mengeleng, ia tidak baik-baik saja dengan keadaan seperti ini. Ia sakit. "Ya, Ludwig. Apakah kau dan ayah baik-baik saja?"

"Kami baik-baik saja. Ayah dan aku akan berangkat ke kantor sebentar lagi, di London sudah malam bukan?"

"Ya." sahutnya singkat.

"Baiklah, adik kecil. Selamat beristirahat. Mungkin dua minggu lagi kami akan kembali ke London. Aku mencintaimu."

"Baiklah. Aku juga." ucap wanita itu lirih, ia sudah terbiasa tinggal sendiri sekarang. Hanya seorang diri. Tidak ada lagi yang menelponnya saat ia pulang terlalu malam atau makan malam keluarga yang bahagia. Ludwig dan Pace sibuk, bekerja di perusahaan yang mewajibkannya dinas keluar negeri sesering mungkin.

Lena mendesah, seluruh badannya melemah sekarang. Matanya menatap kosong ke arah pintu apartemennya. Bayangan akan Justin dan sikap manis-nya melintas diotak wanita itu, memberikan satu tikaman lagi pada hati yang sudah lebur.

"Ya Tuhan, senorita!"

Lena mengerjap setelah sadar bahwa ia sudah berada dalam pelukan lelaki yang amat ia kenali. Aroma parfumnya masih sama, aroma mint yang memabukkan. Jas hitam dan rambutnya yang berantakkan menandakkan ia baru saja sampai di gedung apartemen ini dan langsung memeluk wanita itu.

"Kau kenapa? kau berantakan sekali? kau sakit? atau kau----kau kenapa?" tanya lelaki beruntun.

Lena terpaku, sesaat kesadarannya menghilang. Entah bagian hatinya yang mana yang sekarang begitu bahagia melihat kembali mata biru lelaki ini. Lena kembali berhambur dipelukan lelaki itu dan seketika tangisnya kembali tumpah.

------------

Aroma telur dan bawang menyeruak, membangunkan seorang putri dari tidurnya. Mentari menyambut, memperlihatkan kekokohan gedung-gedung tinggi yang berdiri di London. Lena menyusuri pandangan keseliling ruangan, ruangan berwarna ungu soft dengan sebuah jendela yang besar menghadap ke salah satu sisi bagian dari jam Big Ben. Kepalanya terasa begitu sakit dan sekarang ia merasa sesak. Semua ingatannya kembali, dirinya yang tak tahu malu menangis dipelukan lelaki yang setengah panik menenangkan-nya.

"Kau sudah bangun?"

Lena menatap seorang pria tampan yang masih mengenakan jas hitamnya. Seketika perasaan bersalah hinggap dihatinya, seharusnya ia jatuh cinta pada lelaki ini bukan dengan lelaki yang sudah memiliki suami itu.

"Kau begitu berantakan hari ini, Senorita."

Lena menghembuskan nafasnya dan menepuk pelan sisi kasurnya menyuruh lelaki dengan nampan berisi omelet dan susu coklat itu duduk disampingnya.

"Kau tak pulang?"

Zac menggeleng.

"Kenapa?" tanya Lena lagi.

"Kau terlihat begitu kacau, aku tak mungkin meninggalkanmu sendiri."

"Kenapa?"

Zac mengerenyit, "Apa?"

Lena terdiam tak lagi bertanya. Lelaki itu memotong sedikit omeletnya dan menyuapkannya pada wanita itu.

"Kau terlihat tak terurus, Lena. Aku baru meninggalkanmu dua bulan dan kau sudah seperti ini." oceh lelaki itu sembari memberikan suapan demi suapan kepada wanita bermata coklat itu.

Lena menatap lelaki didepannya itu lamat-lamat. Wajah rupawan yang terlihat pucat dan begitu kelelahan. Ia pernah bermimpi memiliki seorang suami seperti Pace, dan sekarang wanita itu menemukannya. Tepat didepan matanya. Tapi ia tak tahu, mengapa lelaki ini tidak berhasil mengetuk hatinya, ia juga tak tahu mengapa Zac tidak menghantui pikirannya seperti Justin yang berkelebat di otaknya.

"Habiskan susu coklatmu, mandi lalu pergi bekerja. Di agendamu tertulis bahwa kau hari ini akan ada meeting." ucap Zac sembari membereskan piring bekas omelet yang tadi ia masak. Lelaki itu bangkit lalu berjalan menuju pintu tanpa menghiraukan Lena yang masih menatapnya lekat.

"Kenapa Zac?"

Langkah lelaki itu terhenti, ia berbalik dan mendapati mata wanita itu kembali berkaca-kaca.
"Kenapa kau begitu mencintaiku?"

Zac terdiam.

"Kenapa kau begitu mencintaiku, Zac?" tanyanya parau. Setitik air mata kembali jatuh menuruni pipinya.

Zac tetap bergeming.

"Kenapa kau-----"

Lena berhenti berucap saat lelaki itu mengecup bibirnya sekilas. Matanya yang sebiru samudera memandang Lena tanpa kedip, membuat wanita itu lupa caranya bernafas.

"Aku mencintaimu tanpa sebuah alasan." sahut Zac tegas nan dalam. Lelaki itu kembali bangkit, meninggalkan Lena seorang diri terpaku dikasurnya. Air matanya masih mengalir, seiring dengan keputusannya yang kian membulat.

"Zac------"

~~~~~~~'

Be Positive guys!

xoxo

Lena Lee : When You ComebackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang