Pertemuan (lagi)

10 1 0
                                    

Andrea's PoV

"Eh tau ndak, bulan ini spesial lho. Coba tebak apaan?" Aku menggeleng singkat.

"Ayolah Andrea gak seru ah diem terus. Nih ya, seminggu lagi kita, emm maksudku keluarga besarmu akan merayakan dirimu yang baru di umur yang ke-17."

Aku menghempaskan nafas kuat-kuat. "Yang itu aku juga tau kali. Kirain apaan."

"Terus nih, udah mau tua masa single? Jadian dong! Atau.... aku bantuin nyari pasangan idealmu. Jangan khawatir, nanti aku mak comblangin.

"Apaan sih."

Hampir 10 menit terakhir aku mendengar celotehan pelan dari anak ini. Dia sesama penyihir, cuma dia yang bisa membuatku akrab. Sekarang, kita ada di cafe yang bersebrangan dengan sekolah. Kebetulan menjelang acara tahunan gini pasti lenggang. Sebenernya, aku menyuruh dia kesini karena kangen sih, ehehe.

Dia Unla, dari keluarga Ophran daaaan dia menguasai kemampuan Agante. "Oke oke, aku cari pacar. Setelah lulus tapi hahaha."

Dia meringis. "Yaah, kau tahu kan keistimewaan di umur 17 tahun. Bisa ngerasain aliran energi orang, ikut misi dari petinggi, bahkan bisa tahu perasaan seseorang. Apalagi kamu Intelion, jangan sia-siain dong. Walaupun cara itu curang sih,"

Ohya, umurnya 18 tahun. Dia tak melanjutkan sekolah ke universitas sepertiku. Baginya, ilmu sihir dan bertarung yang ia miliki sudah cukup untuk menjadi penyihir sejati. Keluarga Ophran dikenal dengan kemampuan tracking. Ayah, ibu, Unla, dan adiknya seorang tracker (semacam mata-mata). Mereka bagai mata elang dan hidung serigala. Sekali diberi tugas, mereka akan serius melakukan pengintaian.

"Eleh, nyatanya kamu selalu pakai itu kan? Mantan-mantanmu menganggapmu cewek yang peka kode, padahal dari kemampuanmu sendiri."

Unla hanya terkekeh. "Yah sekarang dong cari pacarnya. Apa aku harus cariin?" Ia tersenyum jail padaku. Kapan persoalan pacar ini selesai terbahas?

"Un, kau tahu kan aku ini Intelion dan aku tak tertarik saat ini. Itu bisa melemahkan kemampuanku karena konsentrasi untuk pemusatan energi jadi berkurang hanya karena alam bawah sadarku tiba-tiba menampilkan seseorang yang kusuka. Apalagi dalam keadaan seperti ini," Kuharap dia mengerti dengan penjelasan panjang lebarku ini.

Iapun menghela nafas panjang. Yes aku menang. "Terserah kau sajalah. Aku mengaku kalah hari ini, tapi tidak dengan hari lain," ia menjulurkan lidah padaku.

Kamipun saling diam, menatap layar handphone masing-masing.

Tring

Aku berusaha cuek dengan siapa yang datang, sebelum Unla menghentikan tarian jarinya. Aku meliriknya, dia melihat sesuatu. Kuikuti arah matanya. Ada Rendra, adiknya. "Kenapa dia disini?" Dia bergumam.

"Mungkin mau nongkrong disini?" Jawabku dengan nada menggumam. Kugunakan lagi ponselku.

"Gak mungkin Dre. Tempat tongkrongannya bukan disini."

"Yah, mungkin ingin ketemu seseorang yang dekat lokasinya dari sini," aku masih tetap menatap layar ponselku.

Tring

Aku refleks melihat siapa yang datang. Sekarang giliran aku yang sedikit kaget setelah melihat pengunjung yang datang setelah Rendra.

Leon's PoV

Aku sudah di cafe depan sekolah. Buruan dateng

Begitu mendapat pesan teks dari Rendra, kawan baikku sejak SMP, aku bergegas dari kelas menuju ke cafe. Kebetulan jam kelasku kosong karena gurunya absen. Saat menyebrang, aku merasakan tiga aura penyihir putih (kebanyakan aura mereka sama dan bisa dikenali jelas olehku) di dalam. Yang satu pasti milik Rendra, ada si cewek kutu buku itu, tapi yang satu milik siapa?

Saat masuk, aku melihatnya. Ya, cewek kutu buku itu. Andrea. Sedang mengobrol dengan seseorang sesama penyihir putih. Dia sempat melirik padaku plus sedikit kagetnya dengan ekspresi yang menyatakan 'ngapain harus dia lagi'. Aku cuma bergaya sok cuek dan pura-pura tak tahu. Kulihat Rendra duduk di depan kasir, jadi mudah untuk menemukannya. Aku belum pernah lihat si cewek kutu buku itu banyak bicara plus senyumannya. Manis. Oke, lupakan. Aku sengaja mengambil tempat duduk yang membelakangi mereka berdua. Entahlah, seseorang yang bersamanya membuat firasatku cukup buruk.

Rendra mencondongkan tubuhnya kearahku. "Aku tak menduga disini gak aman. Kakakku ada disini," Ia bicara pelan, dan..... panik.

"Dimana dia?" Tanyaku, ikut bicara pelan. Dia menggerakkan bola matanya ke tempat duduk Andrea. Oh, ternyata itu kakaknya. Walau tak melihat secara langsung, aku sudah bisa menebakya. "Itu, yang sama anak Meghatori. Oh ya, kenapa aku baru tahu kalo kalian di sekolah yang sama? Kalo gitu, aku punya hal yang harus kau ketahui tentangnya, Le."

Apa aku tak salah dengar. "Kalian? Maksudmu, kau kenal juga dengan cewek kutu buku itu?"

Belum sempat Rendra menjawab, seorang pramusaji menyuguhkan minuman pesanan Rendra. Jahat bener, kenapa aku gak dipesankan juga. Tapi dalam sekejap, minuman itu sudah bersisa gelas dan sedotan saja. Anak ini....

"Aku mau menyapa mereka, lagipula kau belum pernah ketemu kakakku bukan?" Dia berdiri, bersiap-siap.

"Tak usah. Tatapan kakakmu sedikit aneh padaku. Lebih baik aku tunggu di warung sebelah sekolahku," jawabku. Tak basa basi, aku keluar dari cafe dan menuju ke warung yang sudah kuberitahu sebelumnya.

Tak lama, ponselku menerima sebuah pesan. Dari Rendra.

Le, kita ketemu di vila pribadiku seperti biasa jam 6 malam. Aku harus jadi tukang antar mereka berdua. Tak apa kan?

Aku terkekeh singkat, begitu bahagianya dia. Kubalas pesannya.

Oke. Kukabari kalo aku udah sampe.

Begitu pesan terkirim, kutaruh hapeku di saku depan sebelah kanan celana seragamku. Aku pun kembali masuk ke sekolah. Semoga di kelas masih jam kosong.

Black-White LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang