Kecelakaan

7 1 2
                                    

H-5
Kali ini olahraga. Setidaknya, aku bisa mengusir pikiran aneh-aneh karena insiden kemarin. Yah, walaupun coklat kiriman kemarin enak dan gak ada racunnya, tetap saja pengirimnya masih misterius sampe sekarang. Untung aku bukan tipe orang kepo.

"Oke, semuanya. Hari ini ada penilaian mendadak. Santai saja, hanya penilaian permainan basket biasa sebagai ganti pertemuan minggu kemarin. Saya tunggu setengah jam lagi, kalian silahkan lakukan pemanasan dan latihan. Kelompoknya sudah saya bagikan disini." Guru menyodorkan kertas ke Yoga. Lalu pergi begitu saja.

Ia kembali ke asal posisinya. Kini giliran divisi olahraga yang memimpin pemanasan, si Jody. Aku dan yang lain mengikuti gerakan Jody, mulai dari perenggangan leher, tangan, kaki, hingga gerakan berulang sampai lari lapangan dua kali. Walaupun tiap Minggu aku latihan fisik, tapi tetap kalah dengan temen-temen lain. Setidaknya, aku tak cepat lelah.

"Perhatian semuanya, kelas fisika!" Ketua kelas memanggil, sepertinya pembagian kelompok tim basket. Tak butuh waktu lama, satu kelas sudah mengerubunginya. "Sebelum ke lapangan basket, aku kasih tahu tim basketnya. Dibagi menjadi 4 tim, campuran. Kelompok pertama....." Ia mulai menyebutkan satu per satu nama yang ada di kertas itu.

".... kelompok terakhir, Andrea, Toni, Jass, Lina, dan saya sendiri." ia menyimpan kertas itu di kantog celana olahraga di sebelah kanan. "Oke, bubar."

Tak heran sih, anggota kelasku hanya 20 orang. Jadi-

Tunggu, aku satu tim sama Lina? Tak salah dengar kan? Duh mimpi buruk apa lagi ini.

Lina itu termasuk siswa kelas royal di sekolah. Dia salah satu fansnya Leon. Tinggi, putih, rambut blonde, mata biru, argh. Beda denganku yang pas-pasan. Walaupun sebenarnya aku bisa menebar pesona dengan tampilan asliku sih. Lupakan tentang penampilan. Yang jadi masalah adalah sifatnya yang tukang bully murid. Walaupun aku tak pernah dibully, tapi perilakunya tak pantas. Aku cuma membenci perilakunya yang hobi bullying, bukan orangnya.

"Hei, Andrea. Jangan melamun terus. Emang kamu tadi udah latihan?" Suara Toni membuyarkan lamunanku. "Kita atur strategi. Ada ide?"

"Sudah kok." ia cuma diam, kemudian memanggil teman satu tim yang lainnya. Kami semua sudah berkumpul di sisi lapangan agar tidak menganggu yang lain latihan.

"Sepertinya aku ada ide. Tapi entah kalian setuju atau tidak." mereka cuma mengangguk setuju, siap mendengarkan ideku. Bukan cuma melamun, aku memang suka menyusun strategi seperti ini. Seperti ayahku. "Toni kan posturnya paling besar, lebih baik jadi center."

"Memang aku yang diandalkan jadi center di tim." Toni menyela padaku. Sambil membanggakan diri.

"Udah Ton, dengerin dulu Andrea sampe tuntas." Luna ikut angkat suara setelah berdiam diri. Toni cuma terkekeh.

Aku melanjutkan usulanku hingga tuntas. Mereka cuma mangut-mangut paham. "Gimana?"

"Boleh juga sih. Sebagai pemain basket andalan sekolah, ide itu cukup bagus." Jass setuju denganku, begitu juga dengan Toni. "Harus kuakui, dari kita berlima, Andrea yang skillnya kurang dalam basket. Tetapi dia penyusun strategi yang hebat. Walaupun kita nggak tau apa ini ide yang bagus atau tidak sih."

Luna merogoh saku olahraganya, mengeluarkan jam tangan yang biasa ia kenakan. "Kita tak ada waktu lagi, beberapa menit lagi udah dimulai. Gini aja, Andrea, kamu masih bisa passing, merebut, dan mempertahankan bola kan?"

Aku mengangguk, walaupun sebenarnya ragu. Daripada membuat lainnya cemas kan?

***

Ternyata strategiku lumayan ampuh, hingga mengantarkan kami ke babak final dengan kelompok 3. Yang isinya jago basket dan..... Anak buahnya Luna.

"Oke, siap?" Toni dan Clare, sebagai center. Kami bersiaga, begitu bola dilempar ke udara. Mereka berdua meloncat, berusaha mendorong bola ke daerah lawan. Sialnya, Toni gagal meraih dan tim lawan menguasai bola. Beruntungnya, Luna berhasil menguasai bola, ia berikan padaku yang ada di posisi dekat ring. Luna berlari, mencari tempat yang strategis. Timing tepat, aku lambungkan bola padanya. Berhasil.

Luna mengoper bola pada Jass, kemudian lari secepat kilat untuk mencetak skor. Dan berhasil!

Tim lawan menyerang balik. Semua tim termasuk aku bersiap-siap bertahan dari serangan. Passing terus menerus membuat aku sedikit bingung. Tanpa sadar, Lyn membawa bola tepat di depanku. Kuhalangi dia untuk mencetak skor, mengangkat tanganku setinggi-tingginya agar fokusnya berkurang. Tak diduga, ia mendorongku hingga terjatuh. Saat itu, penglihatanku gelap dan samar mendengar kericuhan hingga semuanya sunyi.

***

"Aku kan tak sengaja."

"Tak sengaja gimana? Kau mendorongnya, bahkan dari kejauhan pun aku bisa tau kalau kau sengaja melakukannya karena tak sabar. Begitu Andrea sadar, minta maaflah. Atau nanti kau tau akibatnya."

Entah suara siapa yang berdebat itu, mataku masih ingin kupejamkan. Ingin tau, apa yang mereka bicarakan.

"Aku sudah tahu kalau kamu sadar. Bangunlah."

Sepertinya acara ngupingku gagal. Tapi suara itu, aku pernah mendengarnya. Benarkah dia? Kubuka mataku sedikit demi sedikit, membiasakan cahaya yang masuk ke mataku. Pertama yang kulihat adalah Lyn, dan Leon? Pantas aku cukup kenal dengan suara tadi. "Ada apa ini?" jujur, aku masih linglung melihat mereka berdua ada di hadapanku. Terutama Leon. Dia menatap ke Lyn, mengisyaratkan sesuatu yang tak kumengerti.

"Dre," Lyn menghirup nafas dalam-dalam. Menenangkan diri. "Aku minta maaf atas kejadian basket tadi. Aku mendorongmu hingga tak sadarkan diri seperti ini."

Lah, dia minta maaf? Apa aku tak salah dengar? Orang seperti dia minta maaf? Ini bukan akhir zaman kan?
Aku tetap tak percaya.

"Iya. Aku maafkan. Aku..... Argh," aku memegang kepalaku yang terasa nyeri. Sakit sekali. Sampai diperban pula. "Separah inikah?" aku menatap tepat di matanya. Ia benar-benar merasa bersalah. Kurasa memang tak disengaja.

Lyn cuma menunduk. Begitu terdengar bel, ia pergi tanpa sepatah katapun. Sedangkan Leon juga hilang entah kemana. Aku sendiri tak memanggilnya, walaupun banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan. Lagipula kepalaku masih sakit. Tapi aku mulai cemas begitu melihat banyak orang berlalu lalang dengan tas sekolah di punggung mereka. Berarti.....

Berapa lama aku pingsan? Entah. Aku tak mau memikirkan itu. Aku harus ke kelas, walau nyeri kepala ini tak kunjung hilang. Setengah mati aku bertahan mengangkat kepalaku dari empuknya bantal. Pelan-pelan aku mulai mengkondisikan untuk duduk di ujung ranjang, membiasakan nyerinya sambil mencari dimana sepatuku. Untunglah, kebetulan ada tepat di bawah kakiku. Aku menunduk, mengambilnya. Baru saja menunduk kepalaku semakin nyeri, apalagi kalau bermenit-menit untuk pakai sepatu

Akhirnya, kubawa sepatuku sambil berjalan keluar dari UKS. Beberapa memandangku, acuh tak acuh. Tapi aku tak peduli, yang penting aku kembali ke kelas. Langkah demi langkah, nyeri kepalaku tak ada tanda lebih baik dari sebelumnya. Aku mulai lelah, pandangan disekitarku berputar. Oh tidak, aku pingsan lagi. Sebelum kesadaranku hilang, seseorang memanggilku sambil menopang tubuhku.

"Nih anak, keras kepala banget."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 29, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Black-White LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang