Ancaman

12 2 0
                                    

Leon's PoV

Cewek unik.
Yeah, itu kesan pertamaku saat dia masuk ke sekolah ini. Aku sudah tahu siapa dia, walaupun bukan kategori orang populer di sekolah. Bukannya aku seorang penguntit, tapi namanya sering tercantum dalam daftar pinjaman buku di perpustakaan. Hampir buku yang kupinjam di perpus selalu ada namanya. Cewek kutu buku. Okey, kembali ke jalan yang benar.

Baru saja tadi di koridor aku bertemu dengan cewek cantik kutu buku itu. Sungguh beruntung, emm maksudku sungguh sial. Ini semua karena pelatih basket yang diktaktor itu. Gimana nggak, masih baik aku peduli dengan nama baik sekolah ini di bidang olahraga.

Haha, nyombongin dikit nih.

Itu semua karena kemampuan multitalenta sebagai jago olahraga dan bela diri. Jadi nama baik sekolah naik daun setelah 4 tahun yang lalu terpuruk. Beruntung kan, Meghatori punya cowok sepertiku.

Dari kecil aku suka olahraga dibantu ayahku. Karena itu, posturku jadi atletis. Sudah gak usah diragukan lagi, perut udah six pack kok, hahaha. Saking jago olahraga, guru-guru lebih menyebutku seorang atlet daripada murid biasa. Gak cuma basket, aku bisa sepak bola, voli, lari maraton, tenis, tenis meja, bahkan lempar lembing dan tolak peluru pun aku bisa.

Nah, karena keunggulanku inilah yang memotivasi temanku lainnya untuk memiliki kemampuan sepertiku. Bodohnya, mereka jadi bergantung seluruhnya padaku, bahkan aku repot sendiri karena semuanya diserahkan padaku. Entah bagaimana pola pikir mereka sampai berkesimpulan seperti itu.

Selain itu, kebanyakan cewek di sekolah ngefans padaku, malah sampai buat klub sendiri. Dasar cewek. Aku gak habis pikir yang mereka pikirkan selalu cowok, shopping, dan lifestyle.

Sebenarnya aku ingin menemui teman basket di kantin untuk membahas pelatih kemarin. Sesampainya, salah seorang pengunjung di kantin yang penuh sesak itu melambaikan tangannya, melihatku. Mereka di sudut ruangan. Aku berusaha menyebrangi lautan manusia (dan beberapa cewek yang ingin cari perhatian), dan akhirnya sampai juga. "Duh, seharusnya kita nggak disini. Aku merasa kita ditatap oleh serigala."

"Hahaha, sudahlah abaikan saja. Tak masalah." Jawab Gerald, salah satu dari tim basket. "Jadi, bagaimana masalahnya? Apa harus sampai ke arah sana?"

"Kurasa begitu. Aku harus mengajukan surat keluhan agar kepala sekolah memecatnya. Pastinya, kalian jadi saksi."

"Terus, udah buat suratnya?"

"Udah diurus, tinggal lapor."

Dan diskusi kami pun berlanjut hingga mencapai keputusan final.

***

Sudah sejam yang lalu sekolah mengijinkan para murid untuk pulang. Aku? Sudah berada di rumah tentunya. Setelah diskusi tadi, aku langsung mengurus semuanya. Jadi bagiku tetap saja terasa seperti sekolah biasa. Cukup merepotkan urusan itu, huh.

"Leon, bisakah kau kesini sebentar?" Teriakan ibuku dari bawah cukup memekakkan telingaku walaupun jaraknya lumayan jauh. Aku tak mau membuat ibu marah, jadi secepat kilat aku turun dan menemuinya. Lho, kok gak ada? Yah, kemungkinan terbesar ada di ruang kerja ayah yang terbuka lebar. Biasanya ditutup rapat.

Ruang kerja ayahku sengaja dibuat di bawah tangga agar keberadannya tidak diketahui. Apalagi desain pintu dibuat mirip dengan warna tembok dan jika tertutup terlihat menyatu. Tak ada gagang pintu yang terpasang, hanya dapat dibuka dengan kekuatan hitam, itupun jarang digunakan. Bisa dibilang ini tempat untuk bersembunyi atau melarikan diri jika suatu saat ada penyihir putih yang menyerang. Langkah kakiku memasuki ruangan itu, dan pintu pun tertutup sendiri.

Aku termasuk anak tunggal, jadi disini, di ruang kerja hanya ada keluarga kecil. Ayah, ibu, dan aku. "Leon," ayah mulai membuka pembicaraan setelah beberapa saat diam. "Sepertinya, penyihir putih memulai lagi untuk mencari kita. Itu artinya, kita semua terancam. Jadi, mulai saat ini sebisa mungkin kita meminimalkan penggunaan kekuatan hitam. Bahkan tidak sama sekali."

Sebenarnya, itu ide yang bodoh.

Tak ada yang tahu kalau kekuatan hitam bisa semakin kuat jika sering digunakan atau menghisap ketakutan orang. Kalau menghisap ketakutan orang, kan malah membantu orang jadi berani menghadapi sesuatu. Aneh kan? Sebenarnya kekuatan hitam ini dapat digunakan untuk kebaikan. Hanya entahlah, aku tak tahu mengapa jadi sesulit ini.

"Dan kamu harus bisa mengendalikan emosimu. Aura gelapmu sering keluar, sehingga memicu para tracker penyihir putih untuk menemukanmu," Ibuku menambahkan lagi. "Ingat, kendalikan emosimu."

Aku mengangguk singkat. "Jika para tracker berhasil menemukan kita, maka kau terpaksa harus memasang siasat. Selain menghindari mereka, kita juga ada misi bukan?" Ayah melanjutkan.

"Tapi misi itu tak mungkin terjadi. Aku ragu. Maaf ayah, aku harus memikirkan lagi untuk misi itu. Permisi," Aku berdiri dari kursiku dan keluar dari ruang kerja, menuju ke kamarku.

Aku sudah berusia 17 tahun dan aku bisa merasakan aura seseorang, terutama penyihir putih. Mereka memiliki aura cukup unik. Tak hanya Andrea saja penyihir yang kuketahui, tetapi Gerald juga seorang penyihir putih.

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku perlu memikirkan ini matang-matang.

Black-White LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang