Penggemar Rahasia

4 0 2
                                    

Andrea's PoV

H-7
Kembali ke rutinitas sekolah. Rasanya membosankan, tiap hari harus berkutat dengan tugas, latihan soal, dan berusaha bertahan dari ocehan materi guru yang terkadang bisa membuatku ngantuk berat. Munafik kalau aku suka dengan kesibukan ini. Kalau aku bisa menentang keputusan ayah, lebih baik aku masuk ke kelas Biologi atau Bahasa.

Nyaris 3 jam yang lalu aku menahan kantuk gara-gara pelajaran Sejarah dan Ekonomi. Begitu selesai, aku langsung pergi ke kantin mengisi energi untuk tubuhku. Biar nggak ngantuk gitu, karena setelah ini bakal dihajar sama Fisika. Duh!

Seperti hari-hari biasa, aku pergi ditemani Sonia. Itu lho, yang beberapa minggu yang lalu nemenin aku nonton. Sahabat? Bukan, hanya teman dekat. Jujur, aku tak memiliki sahabat untuk melindungi identitas asliku. Kata orang kan, seorang sahabat gaboleh nutup-nutupin rahasianya? Kata orang sih, bukan kata diriku.

Sampai di kantin, kita memesan makanan dan minuman sepuas mungkin, kemudian mencari tempat duduk. Tumben ada satu tempat duduk kosong, padahal suasananya rame banget. Apa mereka udah pada buta? Masa bodo, yang penting dapet tempat duduk. Cuma menunggu beberapa menit, bakso dan es jerukku beserta nasi goreng dan es teh milik Sonia sudah datang. Tak perlu menunggu lama. Sikat!

Lima menit sebelum bel masuk, makanan dan minumanku sudah masuk ke perutku. Begitu juga dengan Sonia. Lantas kami membayar ke bu kantin. Belum juga ngeluarin duit, bu kantin sudah bicara, "Makanannya tadi sudah dibayar kok."

Aku dan Sonia saling tatap, kebingungan. "Tapi, kita belum bayar Bu. Sumpah deh," Sonia membentuk huruf 'V' dengan jari telunjuk dan tengah tangan kanannya sambil membawa uang.

"Tadi makanannya sudah dibayar sama mas basket. Sudah sudah, saya masih sibuk," bu kantin melanjutkan transaksinya dengan murid lain. Aku dan Sonia masih bingung. Siapa yang bayarin?

"Mas basket? Siapa?" Sonia masih penasaran dengan orang misterius yang berbaik hati menraktir dadakan seperti ini. Emang jarang-jarang sih, aku sendiri seneng ehehe. "Dre, kira-kira siapa? Adek kelas gak mungkin. Petrus? Jaen? Halt? Gerald? Leon? Siapa?"

"Aku tak tahu, Son. Gausah dipikir kenceng gitu deh, mending disimpen dulu itu buat Fisika nanti," ia terdiam, tak membalas perkataanku. Aku tak ingin menjawab pertanyaannya, karena aku tahu siapa yang nraktir kita dadakan gini. Toh kalau kujawab, malah lebih banyak pertanyaan yang dia lempar padaku.

H-6
9.00
"Dre, ada kiriman nih."

Teriakan Yuli dari luar kelas memecah konsentrasiku mengerjakan soal Kimia. Di luar cukup heboh, tapi menurutku sudah biasa.

Saat Yuli masuk kelas, ia memegang sebuket bunga mawar putih. Jelas saja, aku tak suka bunga. Walau sebenarnya ada rasa penasaran dan sedikit terharu.

Heh, ngapain aku terharu dengan hal beginian?

"Apaan sih, lebay banget. Emang itu buat aku? Ada tulisannya? Salah orang kamu mungkin," peduli amat, aku melanjutkan soal berikutnya. "Sudahlah, aku tak peduli dengan itu, bunga itu bisa jadi pajangan kelas saja."

Yuli merengut kesal. Memang harus sabar menghadapi tipe orang sepertiku. "Ceilah, dibilangin nggak percaya. Nih liat sendiri."

Ia menyodorkan surat kecil di depan buku tulisku. Kuambil isi amplop yang sudah terbuka sebelumnya olehnya. Gak sopan sih, tapi rasa sinisku terkalahkan oleh rasa penasaran.

'Hai, kau cantik seperti bunga mawar putih. Andai saja aku bisa bertatap langsung padamu lebih lama. Mengirimkan sinyal cinta untukmu, Andrea Ruthso.
Dari pengagum rahasiamu'

Oke. Ini menjijikkan.

"Yul, lebih baik bunga ini ditaruh di kelas saja ya. Udah gak jelas pengirimnya, gombal lagi. Lagipula, bisa diomongin yang nggak-nggak sama orang tuaku nanti kalau kubawa bunga ini."

"Yaudah deh," Yuli memang orang yang pengertian. Ia menaruh bunga mawar putih itu sesuai permintaanku. Dia tahu kalau aku sibuk, atau mungkin modus biar bisa nyontek jawabanku.

16.00
"Nak Andrea, ada kiriman nih."

Ponsel yang sedang kumainkan langsung kumatikan dan kulempar asal ke kasur. Aku penasaran, tumben sekali ada orang yang mengirimkan kiriman untukku tanpa pemberitahuanku. Biasanya sih, teman yang ngirim novel untukku, makalah setengah jadi, atau flashdisk yang isinya tugas.

Aku turun dari tangga, dan kaget liat Bi Haku, salah satu pembantu rumahku, membawa sebuah parcel berisi coklat. 'Lha, apalagi ini.'

"Itu buat Andrea?" Ibu ikutan gabung sama Bi Haku. "Ciye, ada yang naksir nih."

Bibi Haku dan aku cuma diam. Ibu apaan sih, malah godain gini. "Ma, aku aja gak tau ini dari siapa. Emm Bi, coklatnya ditaruh di kulkas saja ya. Kan nanti bisa dibagi-bagi sama yang lain. Ohya Ma, jangan bilang Ayah tentang parcel ini. Nanti dimarahin lagi."

Ibuku tersenyum setuju, dan kami bertiga pergi ke tujuannya masing-masing. Sedangkan aku? Seperti biasa, bersemedi di kamar.







Maap kalau kurang greget.

Black-White LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang