I

9.8K 937 11
                                    

Aku dan Laura sedang berada di kantin untuk mengisi perut yang kosong nan berkeriuk-keriuk berisik kami. Memalukan, memang. Tapi, bagi kami—dua siswi yang baru saja mengerjakan ulangan fisika dadakan—malu bukan lagi apa-apa. Otak dikuras habis-habisan dan sesudahnya, bukannya diberi bonus snack—andai saja ada yang begitu—kami malah disuruh mengumpulkan tugas di pertemuan berikutnya. Dasar, tidak peka.

Kantin lumayan ramai (oke, aku tahu, kalau sepi bukan kantin namanya). Dan sepertinya, anak-anak yang kelaparan sepertiku dan Laura makin membludak, mengisi kursi-kursi yang kosong seiring berjalannya waktu istirahat. Ah, aku baru ingat. Hawa-hawa ujian semester memang sudah terasa, jadi, pikirku, mungkin banyak guru yang kewalahan dan memilih jalan pintas mengadakan ulangan dadakan untuk mengisi nilai. Yang sama sekali tidak manusiawi, demi Tuhan.

"Cil," panggil Laura tiba-tiba, yang langsung kurespons seadanya. Namun, sahabatku satu itu sepertinya tidak puas karena sekon berikutnya tangannya mengguncang pundakku. "Ih, berhenti dulu makannya!" omelnya kesal.

Aku menggerutu dalam hati sebelum memenuhi permintaannya. "Apa?" tanyaku agak ketus. Mi goreng di depanku sangat sulit untuk diabaikan.

Laura tersenyum singkat—yang kutemukan sangat ganjil—dan mengalihkan pandangannya ke depan kami. Jujur, aku terkejut setengah mati sewaktu mengikuti arah mata Laura tertuju. Aku, pikirku, pasti terlalu mendalami peran ketika menyantap mi goreng tadi sehingga tidak tahu-menahu bahwa di depan kami—masih dalam satu meja—sudah ada seorang cowok yang duduk dengan manis.

"Cil," kata Laura, "kenalin, ini Jiro. Jiro—Cecil."

Untuk beberapa detik, aku tak bereaksi apa-apa, hanya melihat ke arah cowok itu—well, Jiro—lalu beralih pada nama di seragamnya. Jiro Arseno. Nama yang unik, pikirku.

Jiro menyunggingkan senyum dan mengangguk. "Hai."

Jangan tanya apa reaksiku berikutnya. Aku cuma membalas dengan 'hm' singkat sebelum menunduk, kembali menyantap mi goreng. Tidak repot-repot memberinya senyum.

"Maaf, ya, Ro," ujar Laura di sebelahku. "Emang gitu orangnya."

Tentu saja, aku memang begini orangnya. Aku mengenal diriku dari siapa pun. Maka dari itu, aku sadar kalau sewaktu aku membabat habis mi gorengku sementara di depanku ada cowok bernama Jiro yang katanya teman Laura, aku tahu aku sudah masuk dalam lubang yang salah; aku menyukainya.

-

notes:

Semoga suka part awal ini! Jangan lupa vote dan comment, ya! I'm open to critics, anyway. Jangan sungkan buat menyapa di kolom komentar.

Couldn't Expect ThatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang