II

7K 862 22
                                    

Sama sekali, tidak pernah terlintas sekalipun di otakku bahwa aku akan bertemu dia sesering itu. Gara-gara Laura, tentu saja. Pertemuan pertamaku dengan Jiro bukanlah pertemuan terakhir kami, sebab beberapa kali setelahnya—di banyak kesempatan—Laura sering memasukkanku ke dalam dunianya. Yang mana sebenarnya sangat kuhindari; duniaku dan dunia Laura jelas berbeda. Kami bak api dan air—cuma, aku tidak tahu apakah air atau api yang lebih cocok denganku. Analogiku memang bodoh, makasih.

Mungkin, ini sudah puluhan kalinya aku dan Laura—dan juga Jiro—pergi bersama. Kami memang sudah mengisi waktu bersama cukup lama, tapi tak lantas aku membiarkan mereka benar-benar mengorek kehidupanku begitu saja; aku tetap menegakkan dinding transparan di antara kami.

"Cil, mau makan apa?" Laura menoleh padaku, menanti jawaban.

Aku berpikir sejenak, namun yang keluar hanya, "Samain kayak kamu aja."

Laura manggut-manggut pelan dan langsung menyebutkan pesanan kepada pelayan yang tak repot-repot kudengar—mungkin nasi goreng, entahlah.

Pendeknya, kami sedang berada di kafe kecil tapi ramai pengunjung. Laura duduk di sampingku, sementara Jiro di depanku—yang sialnya, membuatku entah kenapa merasa tidak nyaman. Satu-satunya hal yang membuatku bersyukur adalah Laura di sini bersamaku, yang secara tidak langsung akan menjadi objek yang menarik buat Jiro. Mereka terus berbincang, sedangkan aku hanya memandangi jalanan lewat dinding kaca. Ironis, bukan.

Tak lama, pesanan kami datang. Membuatku diam-diam menghela napas lega.

Dan, masalah lain mulai muncul.

Aku agak membelalak melihat pesanan yang dipesan Laura—memang sesuai permintaanku; makanan kami sama. Cuma, aku yakin telah memberi tahu Laura bahwa aku punya alergi terhadap seafood. Sementara aku mencak-mencak di dalam, Laura tiba-tiba menceletuk, "Kenapa, Cil?"

Aku menjeling ke arahnya sepintas, meraih jus stroberiku, dan menyedotnya lamat-lamat, sebelum menjawab dengan pelan—setidaknya, kuusahakan terdengar santai. "Aku alergi seafood."

Secara tidak langsung, perkataanku barusan membuat Jiro di depanku mengamatiku. Dan Laura, dia terlihat sangat syok. Tentu saja, kenapa bisa dia lupa alergiku? Kami sudah bersama-sama selama kurang lebih satu tahun.

"Ya ampun," desah Laura. "Aku lupa. Sori, sori. Terus, kamu mau ganti apa? Biar aku pesenin—"

"Nggak usah."

Mulutku sudah setengah terbuka. Pupilku kugulirkan menuju Jiro. Yang barusan itu, bukan penolakanku, melainkan Jiro. Dengan perasaan resah bergumul, kukatupkan lagi rahangku. Kulirik Jiro beberapa jemang; aku penasaran kenapa dia menyuarakan penolakanku alih-alih mulutku sendiri. Apa, kami, entah bagaimana terikat? Haha, kau tahu aku cuma bercanda.

Laura beralih pada Jiro, matanya membulat. "Nggak usah?"

Jiro mengangguk pelan nan mantap. Dia tersenyum ke arahku—demi Tuhan, bukan itu yang kuharapkan bakal dia lakukan saat itu. "Kita tukeran aja," katanya. Matanya tersenyum. "Kamu suka pasta 'kan?"

"Itu—"

"Cecil suka kok," potong Laura seenaknya yang segera kuhadiahi pelototan tajam, "iya 'kan?"

Kami bertukar pandangan beberapa jenak, dan aku tak buang waktu untuk mengomeli Laura lewat sorot mataku. Apaan sih!?

Laura menyeringai. Nurut aja deh, matanya berbicara.

Aku melengos. Dari sudut mataku, kutangkap Jiro mengangkat piring di depanku dan menukarnya dengan makanan miliknya. Saat itu juga, aku tidak punya ide harus memekik senang atas perhatiannya atau memaki diri sendiri karena terlihat sangat bodoh.

-

Couldn't Expect ThatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang