V

4.9K 749 26
                                    

Kalau ada yang bertanya (biarkan aku berlagak sok penting di sini), aku tidak pernah menemani Jiro untuk memenuhi permintaannya tempo hari--um, tidak, sudah terlampau agak lama. Jiro memang memintaku untuk membantunya memilih lagu yang bakal ditampilkan saat acara ulang tahun adiknya si Kevin. Tapi, yah, kenyataannya aku tidak pergi.

Hari itu, Laura yang pergi. Menggantikanku. Haha, bahasaku. Seolah aku bagian yang penting yang pantas untuk dimintai pengganti. Aku bahkan bukan siapa-siapa di sini.

Aku betul-betul tidak peduli hari itu. Sebab, aku pun juga punya urusan sendiri. Mungkin, itulah salah satu cara Tuhan memberitahuku untuk tidak lagi dekat-dekat dengan Jiro. Well, hari itu aku jatuh sakit. Tidak ada yang berbohong di sini, jadi lebih baik kau percaya saja padaku.

Aku tidak masuk untuk beberapa hari kedepannya (yang sangat kusyukuri karena aku sudah sangat lelah dengan aktivitas sekolah). Dan otomatis, aku juga tidak ikut menghadiri acara tujuh belasan adiknya si Kevin. Entahlah, aku juga kurang berminat lantaran aku tidak kenal siapa adiknya.

Tapi, hari di saat ulang tahun si adiknya Kevin, tepat pukul sebelas kalau aku tidak salah, Jiro bertandang ke rumahku. Dengan Laura.

"Kapan mau masuk, Cil?" Laura bertanya saat kami bertiga sedang duduk-duduk di teras. Udara malam menusukku hingga ke tulang. Dingin sekali, sial.

Aku merapatkan selimut yang membungkus dan menjawab seadanya. "Belum tahu."

"Kok gitu, sih! Sepi tahu nggak ada kamu. Aku jadi cuma sama Jiro doang, dan kamu perlu tahu, bareng-bareng sama temennya Jiro sementara aku cewek sendiri itu nggak asik sama sekali."

Meski ada aku pun rasanya juga tidak akan seasik itu, ingin kujawab demikian. Tapi urung.

"Oh ya, jangan lupa dimakan udonnya! Tadi Jiro beliin buat kamu," kata Laura.

Mataku langsung tertuju pada Jiro yang saat itu juga sedang memandangku. Ugh, aku terkesan percaya diri sekali. Pokoknya, pandangan kami sempat bertemu beberapa detik. Dan, itu cukup membuatku nyaris kehabisan napas. Tapi, tak ayal aku mengulum senyum. Ke arah Jiro. "Makasih."

Dia mengangguk. Lalu beralih ke Laura, "Pulang, yuk, Ra. Nggak enak ganggu Cecil."

Laura memberengut sesaat, sebelum memaksa beranjak. Aku nyengir ke arahnya, bermaksud mengejek. "Pulang sana."

"Udonnya jangan lupa!" Laura mewanti-wanti. Aku mendecak dan mengangguk.

Sebelum kututup pagar dengan sempurna, Jiro berbalik sementara Laura agaknya sudah masuk ke dalam mobil. Dia berjalan mendekatiku dengan kedua tangan masuk ke saku celana. Seperti itu saja tampak keren di mataku.

Ya ampun.

Kemudian, yang kutakutkan terjadi. Dia mengulas senyum hangat dan berkata, "Cepet sembuh, Cil."

Saat itu, ada sebuah pertanyaan yang melesak dalam pikiranku: apakah Jiro memang sehangat itu kepada semua orang? Dan kupikir, jawabannya tidak mungkin tidak.

-

notes:


Jadi sejauh ini, gimana cerita ini menurut kalian?

Couldn't Expect ThatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang