Semakin ke sini, aku menemukan bahwa aku makin berpikir tak masuk akal. Agaknya, alih-alih perasaanku terhapus, yang ada malah rasa sukaku seolah berkembang liar.
Saat ini, aku ingin sekali melepas kacamataku dan meremukkannya dengan tangan kosong untuk memperlihatkan pada dunia bahwa aku tidak suka melihat mereka sedekat itu-terlalu akrab. Dan, aku iri. Panggil aku sahabat tak tahu diri, tapi, toh, memang hanya aku sendiri yang tahu isi hatiku, tidak Laura, apalagi Jiro.
Pada akhirnya kualihkan perhatianku—terlampau muak dengan pemandangan di depanku-dan lebih memilih menyedot pop ice rasa permen karet dalam api kecemburuan yang entah kapan akan reda. Andai saja aku diberi kemampuan untuk menghilang sekejap hanya dengan menutup mataku dengan telapak tangan seperti yang ada di novel kesukaanku, mungkin, aku bisa pergi perlahan-lahan tanpa diketahui- tapi, setelah dipikir-pikir itu juga bukan ide yang bagus.
"Ra, besok jam 7 di Starbucks, ya," ujar Jiro sebelum beranjak dari kursi. Aku melengos kembali ke pop ice-ku, seolah minuman itu lebih menarik dari objek manapun.
Dan aku tinggal menghitung dalam hati hingga Laura berujar, "Cecil, ikut ya?"
"Eh, tapi, aku-"
"Please?"
"Nggak bisa, Ra. Ayah bisa murka kalo tahu aku bolos les."
Aku tidak mengerti. Rasanya sulit untuk menebak-nebak apa yang kurasakan sekarang; senang atau malah marah?
Yang paling tidak kupahami selama ini adalah Laura yang selalu mengajakku dimana seharusnya hanya ada mereka berdua yang berdampingan.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Couldn't Expect That
Short StoryAku Cecilia Eva, sudah bersiap dari awal jikalau memang kisahku akan berakhir mengenaskan. © 2016 all rights reserved by fluoresens.