"Ra," aku putuskan untuk bertanya apa yang masih menggangguku akhir-akhir ini. "Aku mau tanya."
"Tanya aja," sahut Laura santai sambil mengaduk mie baksonya semangat, kepalanya manggut-manggut ringan. Kami masih berada di sekolah, tepatnya di kantin dan sedang menikmati mie bakso untuk sekadar ganjal-ganjal perut. Sehabis jam pelajaran tambahan usai, kami masih nangkring tidak jelas di sekolah dan malah berakhir di sini.
"Kamu tahu kalo ayahnya Jiro udah nggak ada?"
Laura tersedak.
Aku mengamatinya dengan kening terlipat. Itu, artinya Laura sudah tahu atau tidak sama sekali?
Berikutnya, jawaban atas pertanyaanku segera terjawab sebab Laura menyahut, "Jelas tahu, lah. Kenapa kamu tiba-tiba tanya itu?"
Oh, sudah tahu ternyata ....
Aku segera menggeleng, tidak ingin membahas lebih jauh lagi. Walau tidak nafsu lagi, kusuap bakso terakhirku dan menyeruput kuahnya yang hangat nan sedap. Sudah agak lama semenjak Jiro entah dengan alasan apa mengajakku ke makam ayahnya, pun dia sepertinya tidak repot-repot untuk memberitahuku. Ah, lagi pula, untuk apa juga aku peduli? Bukan urusanku. Mungkin, Jiro hanya butuh teman waktu itu. Dan masalah pertanyaannya yang tiba-tiba itu ....
"Oh, ya!" pekik Laura setelah mengelap bibirnya sekilas, membuyarkan pikiranku sekaligus. "Aku baru inget. Pantes aja kemarin Jiro nggak dateng ke ulang tahun sekolah kita--dia pasti pergi ke makam ayahnya. Tapi, Cil, aku heran kenapa Jiro nggak bilang apa-apa tentang itu. Biasanya dia bakal kasih tahu kalau mau pergi buat memeringati hari kematian ayahnya."
"Masa?" tanyaku, pura-pura tidak tertarik. Munafik sekali aku ini. "Mungkin, dia memang nggak mau bilang."
"Tapi, bentar, deh. Jiro ngajak kamu, ya?"
Giliran aku yang tersedak. Laura segera mengambilkan es jerukku, yang langsung kusedot banyak-banyak.
"Iya 'kan?" tanya Laura lagi.
"Enggak."
"Terus, waktu itu kenapa bisa telat datengnya?"
"Macet."
"Yakin? Jiro nggak bilang apa-apa sewaktu habis nganter kamu ke sekolah?"
Nggak. Mengucap sepatah kata pun tidak setelah aku mengabaikannya dengan tidak menghiraukan pertanyaan anehnya itu. Apa, mungkin, Jiro marah? Ah, tapi mana mungkin. Untuk apa juga? Lalu, aku mengangkat bahu acuh tak acuh. "Nggak, tuh."
"Aneh."
Dengan itu, aku memilih terdiam selagi menghabiskan es jeruk setengah dingin.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Couldn't Expect That
Short StoryAku Cecilia Eva, sudah bersiap dari awal jikalau memang kisahku akan berakhir mengenaskan. © 2016 all rights reserved by fluoresens.