Firasat burukku berubah jadi kenyataan.
Mereka ternyata memilih film horror sebagai film yang akan ditonton di bioskop. Dan itu sudah cukup untuk membuatku ingin kabur diam-diam. Aku sudah melaksanakan aksi protes kepada Laura seorang karena tidak memberi tahuku lebih awal tentang film-nya. Aku tidak habis pikir. Apa mereka dengan sengaja mengerjaiku?
Dan sekarang, kupikir aku sudah berhasil menenangkan diri dengan duduk di bangku tunggu yang untungnya empuk, dengan popcorn di pangkuan, dan rasa bosan yang melanda. Laura, Jiro, dan yang lainnya sedang pergi, entah ke mana-mereka tidak bilang. Sebenarnya mereka turut menuntutku ikut, tapi aku sendiri yang menolak. Jadi, urusanku sekarang adalah harus menerima konsekuensi. Menyenangkan, hm.
Ada secercah rasa gelisah yang menemaniku, menggelitik dadaku sambil menunggu teater dibuka. Harus kuakui kalau aku kurang menyukai film bergenre horror dengan hantu menyeramkan dan adegan mengagetkan lainnya. Jangan tanya, aku masih sebal lantaran Laura-dan yang lain-tidak berdiskusi denganku dulu. Aku ini terhitung sebagai orang yang terlibat, jadi kenapa hanya aku yang menderita? Aku sangat berterima kasih. Aku tambah yakin kalau aku hanya angin lewat atau malah makhluk tak kasat mata di sini.
Cecil, terima nasibmu, hiburku sendiri. Lagi pula, kali ini pun gratis, Laura yang mentraktir. Jadi, aku tidak harus menangis menyesali menghabiskan uang demi film yang bahkan tidak kugemari. Bersyukurlah.
Keningku mengernyit menyadari bahwa hanya Jiro yang kembali. Mendadak saja, aku ingin menggaruk tembok terdekat.
"Yang lain mana?" tanyaku sambil bangkit.
Jiro bergerak gelisah. "Mereka nyusul. Aku disuruh masuk duluan, nemenin kamu."
"Emang kalian ke mana, sih?"
Jiro tersenyum penuh rasa bersalah dan mengangkat bahu. Lalu, dia merangkul bahuku. "Ayo."
Aku tak bisa berkonsentrasi.
Jantungku berdegup cukup kencang. Rasa cemas akan film yang sudah mulai dan kegugupan lantaran hanya berduaan dengan Jiro seolah mencekikku. Udara dingin di dalam bioskop mendukung situasi sialan ini. Sungguh, aku ingin tidur saja kalau begini.
Aku harap-harap cemas, menunggu kedatangan Laura dan yang lain. Setidaknya, aku bisa berangsur tenang dengan keberadaan mereka.
Tapi, mereka tak pernah terlihat. Dan aku pasrah. Aku lebih memilih fokus ke film-yang mana betul-betul kupaksa-dari pada memikirkan siapa yang duduk di sebelahku sekarang. Bodohnya, aku terlalu menghayati film horror sialan itu hingga keringat dingin mulai muncul membasahi telapak tanganku saat adegan di mana sepertinya hantu itu akan keluar secara tiba-tiba. Sampai aku lupa kalau Jiro duduk bersebelahan denganku.
Seketika, layar bioskop menggelap. Aku terkesiap. Namun, tak ayal lega.
Baru lima detik kemudian, secara tiba-tiba dan mengejutkan, sosok hantu menyebalkan nan seram itu muncul di layar dengan suara yang membuat jantungku hendak lompat dari rongganya. Mataku refleks menutup, untungnya aku tidak berteriak seperti separuh penonton lainnya. Memalukan sekali kalau aku benar-benar menjerit.
Bulu kudukku sontak meremang.
Aku merasakan jantungku mulai melompat-lompat tak terkontrol. Lalu, aku merasakan sesuatu yang lain. Sontak, dadaku makin berdebar keras memikirkannya. Bukan karena film horror sialan yang mengejutkan itu. Melainkan, ketika aku perlahan menurunkan pandangan pada tanganku yang berada di lengan kursi, aku menangkap sesuatu yang lebih mengejutkan dari hantu jelek tadi.
Jiro. Dia menggenggam tanganku erat, seolah menyedot ketakutan dalam diriku.
Aku tidak bercanda dan aku benar-benar tidak mau berpikir macam-macam kali ini.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Couldn't Expect That
Short StoryAku Cecilia Eva, sudah bersiap dari awal jikalau memang kisahku akan berakhir mengenaskan. © 2016 all rights reserved by fluoresens.