Aku merebahkan diri di ranjang tanpa menanggalkan seragam. Kegiatan sekolah sudah benar-benar mengacaukanku luar dan dalam. Tidak heran sih karena sekarang aku sudah memasuki detik-detik intensif belajar untuk Ujian Nasional. Lucu sekali kalau dipikir bahwa aku merasa baru kemarin aku mengganti rok biru dengan warna abu-abu.
Mendesah berat, kuraih guling dan memeluknya erat. Tanpa disengaja, pandanganku tertahan pada kotak biru. Ah, kado ulang tahunku. Aku tersenyum lemah mengingat apa isinya.
Kejadiannya sudah lama, tapi aku masih mengingat setiap detilnya. Hari itu, aku pergi dengan Laura dan Jiro ke suatu mal sewaktu aku melihat kalung dengan mata biru safir—isi kado yang kudapat dari mereka. Sekali melihatnya, aku tahu kalau aku langsung menyukai kalung itu. Aku dan Laura mampir sejenak untuk mengaguminya.
"Serius, Cil, kayaknya kalung itu cocok buat kamu," ujar Laura saat itu.
Aku hanya menganggukkan kepalaku setuju sebelum mengajak Laura kembali berjalan. Tepat di momen itu, kutemukan Jiro dengan santai berjalan ke arah kami dengan tiga buah es krim di tangannya. Aku hendak menolongnya, tapi sudah keduluan. Aku langsung merasa bodoh di sini.
Mengingat itu semua, bisa kupastikan kalau Laura yang memilih kalung itu sebagai hadiah. Selebihnya lagi, aku tidak pernah menyentuh hadiah itu setelah saat pertama kali aku membukanya. Entah, ya, aku merasa sedikit kecewa—tidak, sebenarnya sangat kecewa. Agak bego, kalau dipikir. Mana mungkin bisa begitu?
Namun, kalau dipikir, aku memang sudah sering dibuat kecewa. Oleh siapa lagi kalau bukan Jiro. Meski sebenarnya, akulah penyebab utama dari kekecewaan itu sendiri. Tak tahu diri; sudah tahu Jiro tak melirikku sama sekali, tetap saja semena-mena berharap yang tak pasti.
Apa mungkin perasaanku sudah terlalu berkembang melewati batas yang seharusnya?
Tidak tahu. Mungkin saja. Hal yang valid saat ini adalah bahwa aku belum berhasil untuk menyingkirkan perasaan sukaku pada Jiro, kendati aku sudah melangsungkan acara jauh-menjauhinya. Malahan, rasanya aku makin jatuh saja pada pesonanya. Dan itu, bagaimanapun, membuatku cukup tersiksa.
Ketika mataku sudah setengah terpejam, ponselku berdering. Nama Laura tertera di layar.
"Halo?"
"Cil?"
"Apa?"
Ada jeda yang agak panjang dan aku sempat mendengar suara berisik di seberang. Seketika aku mengernyit.
"Eh, aku ganggu ya? Suara kamu kayak capek banget. Ya udah, aku ngomongnya nanti-nanti aja deh. Kututup, ya! Dah, Cecil!"
Aku tak menyahut, lalu sambungan terputus. Detik berikutnya, aku terlelap.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Couldn't Expect That
Short StoryAku Cecilia Eva, sudah bersiap dari awal jikalau memang kisahku akan berakhir mengenaskan. © 2016 all rights reserved by fluoresens.