XVIII

3.5K 564 57
                                    

"Awalnya, aku mau ajak Laura tapi dia harus pergi ke resepsi pernikahan saudaranya lima belas menit lagi," ujar Jiro sambil melihat jam tangannya.

Aku tidak bertanya, tuh. Tapi, aku mengangguk.

Kami sedang berada di suatu kedai udon yang baru aku tahu ternyata ada di kotaku. Tempatnya memang agak terpencil, nyaris di tengah-tengah perkampungan. Meski begitu suasananya nyaman. Meja dan kursinya terbuat dari kayu, dindingnya ditutup dengan wallpaper bergambar, dan yang paling aku suka: mereka memutar lagu favoritku.

Aku menggumam bernyanyi, mengikuti suara Keith Martin yang memenuhi ruangan selagi menunggu pesanan datang. Di luar, hujan masih turun dengan deras. Aku memangku dagu dan melihat jalanan becek di jalan.

"Kamu suka lagu ini?" tanya Jiro.

Aku mengangguk pelan. Lalu, berubah bingung saat kudengar Jiro terkekeh. Kenapa?

"Nggak," ucap Jiro melihat raut bertanyaku, "aku nggak pernah tahu kamu suka tipe lagu kayak apa. Dan begitu tahu kamu suka lagu ini, jadi kerasa aneh buatku."

"Aneh kenapa?"

"Yah"—Jiro mencekungkan bahu—"bertolak belakang sama pribadi kamu."

Hah. Memangnya, dia mengenalku dengan baik sampai bisa berpikir seperti itu?

Tapi, aku membalas, "Masa? Uhm, memangnya pribadi aku kayak gimana?" Saat itu juga, aku menyesali kalimat yang keluar dari mulut. Dasar, ingin rasanya memplester bibirku sejurus kemudian.

Jiro tampak terkejut, aku memakluminya. Namun, dia tersenyum. Dia baru mau menjawab pertanyaan bodohku ketika pelayan datang dengan dua mangkuk udon yang mengepul dan dua gelas teh hangat. Perhatianku langsung teralihkan begitu saja.

Selepas pelayan itu pergi, aku langsung mengaduk udonku dan merasakan uap hangatnya yang menerpa wajah. Perutku menggeliat di dalam. Jiro juga mengaduk udonnya sewaktu dia bilang, "Kamu beda dari Laura; pendiam dan terkesan menarik diri."

Termangu aku dibuatnya. Selalu saja Laura; dan kedapatan dibandingkan dengan cewek itu sama sekali tidak menyenangkan.

Lalu, dia menambahkan, "Pasti butuh waktu yang lama buat cowok yang mau deketin kamu. Nantinya." Sesudahnya, dia terkekeh.

"Cowok," gumamku. "Aku bahkan nggak pernah memikirkan itu." Bohong.

"Kenapa? Bisa jadi, di luar sana banyak cowok yang tertarik sama kamu; cuma kamu nggak tahu dan nggak akan tahu kalau kamu terus-terusan menutup diri dan selalu menghindar."

 Aku agak kaget mendengarnya berkata seperti itu. Dengan cepat, kuraih teh hangatku dan menyeruputnya pelan. "Yah, mungkin kamu benar," kataku, berusaha bersikap santai.

Kami diselubungi hening setelahnya, sibuk menyuap dan mengunyah udon. Tubuhku agak menghangat untungnya. Rintik hujan di luar sudah agak turun jarang-jarang, meninggalkan sisa-sisa dingin yang beku. Langit mulai cerah dan aktivitas di jalan sudah kembali normal; beberapa pejalan kaki ramai melangkah tanpa payung.

"Aku harap kamu nggak menjauh lagi."

Wajahku terangkat. Rahangku berhenti mengunyah.

Jiro masih asyik menyeruput udonnya. Lalu, kalau bukan dia yang melontarkan kalimat barusan, terus siapa? Aku menatapnya lamat-lamat, meminta penjelasan atas apa yang barusan dikeluarkan dari mulutnya. Jadi, dia tidak benar-benar bersikap seolah tak ada yang terjadi tempo hari.

"Menjauh ... apa?" tanyaku akhirnya.

"Menjauh dari aku," katanya, tersenyum. "Kamu perlu tahu kalau banyak yang mau berteman sama kamu, Cecil."

Oh, teman. Tentu saja.

"Banyak juga," lanjutnya, "yang mau dapetin hati kamu. Bukan aku, tapi pasti ada."

Tentu saja bukan kamu. Kamu membidik hati Laura, tanpa tahu bahwa hati yang kamu maksud barusan menjadikanmu sebagai poros, selama ini.

-

Couldn't Expect ThatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang