XX

4.5K 605 16
                                    

3 years later ....

Aku menghirup dalam-dalam udara yang sudah lama tak mengisi paru-paruku selama tiga tahun terakhir. Rindu, rasanya. Tak banyak yang berubah. Masih kota yang ramai, masih kota yang sama. Aku tersenyum dengan senang lalu mulai menggeret koperku. Bandara ini memang tak pernah kenal sepi.

Halo, aku kembali.

Aku berjalan mendekati sebuah taksi, bermaksud untuk menaikinya menuju rumah. Namun saat itu juga, ada yang membuat pergerakanku terhenti. Sebuah tangan mencengkeram lenganku, sedikit kuat hingga terasa sakitnya. Sontak, kutujukan pandanganku ke tangan itu, lalu perlahan berpindah pada sepasang iris cokelat yang tengah menatapku. Mata itu.

Jantungku berdegup kencang. Sialan. Kenyataan pahit kembali harus kutelan bulat-bulat. Memangnya, apa yang aku harapkan? Perasaan itu tentu saja mulai muncul ke permukaan. Tapi, bagaimana mungkin, setelah tiga tahun lamanya, dia masih mampu memporak-poranda kerja jantungku lagi?

Aku belum—tidak bisa, yang paling tepat—bereaksi apa-apa saat bibirnya bergerak, meloloskan sebuah nama. Namaku. "Cecil."

Ada yang berubah dengan suaranya. Lebih lembut dan dalam. Ada sesuatu di sana, yang sangat ingin kutemukan apa. Oh, atau jangan-jangan ini hanyalah karena sudah bertahun-tahun aku tidak mendengarnya, atau malah hanya ilusi saja?

Aku mengerjap.

Aku tak sanggup membalas menyebut namanya. Karena sesungguhnya nama itu seperti terlarang untuk kusebutkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Sejak lagu Keith Martin mengalun dari bibirnya, sejak dia berada di puncaknya membuatku kelewat kecewa; tepat tiga tahun lalu saat aku memutuskan untuk melupakan segala hal tentangnya.

Namun nyatanya ...

"Cecil," kali ini dia memanggilku disertai helaan napas.

... dia masih ada, pada tiap sel-sel otakku.

Tak ada respon berarti dariku. Aku masih terdiam, sibuk dengan benak juga pikiran sendiri yang berkecamuk dan bagaikan sehabis dilanda tsunami atau gempa. Rasanya, otakku tidak berfungsi sama sekali.

"Ikut aku," katanya.

Dia mengangkat tanganku, menggenggamnya. Rasanya masih sama seperti bertahun-tahun yang lalu; di mana aku selalu mempertanyakan apakah sesering itu dia menggandeng tangan yang lain, di mana aku tidak mau berpikir yang lebih-lebih hanya untuk menyenangkan diriku sendiri padahal kenyataan memang sekeji itu.

Dia Jiro. Dan hatiku pun masih tetap berdesir meski aku tak menyuarakannya lewat bibir.

-

notes:

Tinggal epilog! Berhubung udah mau selesai, boleh dong kasih pesan gimana perasaan kalian waktu baca cerita ini! It would be a pleasure to me. Last but not least, terima kasih sudah menyempatkan membaca!

Couldn't Expect ThatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang