XIII

4K 619 8
                                    

Ada banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalaku. Tumpang tindih. Tanpa ampun. Aku tidak bisa maksimal dalam memperhatikan guru fisika yang menerangkan pelajaran di depan, jadi aku juga tidak terlalu fokus mengerjakan latihan-latihan soal yang segera dibagikan. Aku menundukkan kepala, berlagak berpikir serius supaya tidak mengundang tanya teman sebangkuku— Laura.

Aku sudah melancarkan aksi ngambek selama beberapa hari padanya. Perihal bioskop itu. Tega sekali dia, aku ditinggal berdua dengan Jiro. Aku tak habis pikir, apa yang sebenarnya Laura mau. Bukankah Jiro menyukainya? Laura juga merasakan hal yang sama, menurutku. Lalu, kenapa Jiro mau-mau saja saat itu disuruh menyusulku dan menemaniku. Aku, toh, akan dengan senang hati pulang sendirian dibanding nonton horror seorang diri.

Ditambah, kejadian di bioskop itulah yang paling membuatku ingin gigit jari saja rasanya. 

"Cil, udahan dong marahnya," bisik Laura tiba-tiba. "Bantuin nomor tujuh, please."

Ah, jadi aktingku cukup berhasil, ya. Laura bahkan berpikir aku mengerjakan soal-soal yang bahkan tidak terproses dengan baik di otakku.

"Cil," desah Laura. Kali ini dia mengguncang bahuku.

"Nggak marah," lirihku. Sungguh malas menyahut, tapi tak tahan juga untuk diam.

"Ya ampun, nggak marah apanya? Kamu nyuekin aku seharian. Kemarin juga, kemarin kemarinnya juga. Terus ... "

"Aku cuma nggak habis pikir aja. Katamu, sayang uang kalau aku nggak ikut. Tapi, kamu sendiri dan yang lainnya bahkan sengaja nggak nonton."

Laura menghela napas. Dia mencicit, "Cecil, semua itu terjadi karena satu alasan. Aku nggak sempet kasih tahu kamu waktu itu dan aku pikir Jiro udah bilang semuanya, tapi ternyata belum."

Aku mengernyit dalam begitu mendengar alasannya. Saat itu juga, aku langsung menoleh ke arahnya, menaruh seluruh atensiku padanya untuk mendengar kelanjutan dari ceritanya. Kasih tahu apa? Apa yang belum kuketahui?

"Waktu itu," mulai Laura, "aku sama Jiro, Kevin, Aldi pergi mau liat-liat gitar soalnya Aldi mau beli yang baru. Kami emang sengaja nggak bilang, karena aku tahu kamu nggak bakal mau diajak. Tapi, nggak tahu pun kamu tetep nggak mau ikut. Jadi, ya udah kami pergi. Terus, tiba-tiba Kevin dapet telepon, adiknya kecelakaan."

Aku menahan napas.

Laura melanjutkan, "Terus, kami langsung kalang kabut. Akhirnya, diputusin deh bakal batal nonton dan yang lebih penting kami temenin Kevin lihat kondisi adiknya di rumah sakit. Terus, aku inget kamu." Laura diam sesaat untuk mengambil napas. "Jiro bilang biar dia yang jemput kamu. Kami setuju. Tapi, nggak lama kemudian, Jiro kirim sms dia bakal nyusul nanti. Jadi, kami bertiga langsung pergi aja ke rumah sakit."

Aku menatap Laura tidak percaya. Maksudku, Jiro sendiri yang menawarkan diri menghampiriku? Apa-apaan.

"Tapi," sanggahku, masih tidak paham. "Kenapa Jiro nggak bilang apa-apa?"

Laura mengangkat bahu. "Mungkin, dia takut kamu khawatir. Atau mungkin, dia takut kamu pingsan di tempat," Laura berkelakar. Yang kutemukan tidak lucu sama sekali. Kemudian, dia mengimbuhi, "Tapi, kalian jadi nonton 'kan waktu itu?"

Wajahku langsung berubah masam mendengarnya. "Hm," balasku.

Sialnya, Laura terbahak. Mengundang puluhan pasang mata di kelas tertuju pada kami.

-

Couldn't Expect ThatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang