XIV

4.2K 622 5
                                    

Melihat pantulan tubuhku yang kini sudah terbungkus dengan paduan tee putih dan jeans hitam, aku menghela napas. Sebenarnya, setengah hatiku agak berat untuk pergi ke sekolah hanya untuk menerbangkan balon—ulang tahun sekolah dan semacamnya. Jangan panggil aku siswi yang tidak tahu diri sebelum kalian tahu alasannya. Aku hanya malas, dan ... terlalu gugup untuk bertemu Jiro.

Bisa saja aku berpura-pura sakit dan mengirimi Laura pesan izinku. Namun, aku yakin  itu tidak menutup kemungkinan Laura bakal menghampiriku ke rumah untuk sekedar memastikan apakah aku benar-benar sakit. Laura selalu ingin aku untuk berbaur. Tapi ia lupa satu hal, aku bukan dirinya. Dunia kami berbeda, kalau boleh kutegaskan.

Dering ponsel memenuhi kamarku, membuatku menghampiri benda kecil itu. Tanpa adanya keinginan untuk mengangkat, kutempelkan ponsel itu ke telinga.

"Kamu belum berangkat juga, Cil?" Suara merdu Laura tertangkap telingaku.

"Bentar lagi, kok."

"Ceciiil, bentar lagi acaranya dimulai!"

"Iya tau," jawabku seadanya seraya memasang sepatu lalu meraih tas kecilku.

"Aku udah suruh Jiro jemput kamu. Naik motor, biar cepet."

Ponselku hampir terjatuh. Aku berhenti di ambang pintu rumah. Kalimat Laura terdengar begitu ...  menakutkan, karena aku merinding sesudahnya. Seperti ada benda transparan yang merambatiku. Jiro menjemputku? Ya, Tuhan. Membayangkannya saja tidak mampu. Kenapa dunia ini seolah-olah senang menyiksaku? Ketika aku berusaha untuk menjauhi laki-laki itu, justru aku malah dibuat dekat dengannya.

"Kok dijemput segala? Aku 'kan bisa naik motor sendiri."

Laura tertawa pelan. "Terakhir kali kamu boncengin aku, kita ngabisin waktu dua kali lipat dari biasanya buat sampai di tempat tujuan." Aku merengut, apa salahnya membawa motor pelan-pelan? Toh, aku masih ingin hidup.

"Tapi, Ra—"

"Udah ah ..."

Suara Laura terdengar mengecil saat retinaku menangkap sosok yang tak asing memperlambat laju motor gedenya dan berhenti tepat di depan rumahku. Helmnya dilepas. Kepalanya menoleh ke arahku, dan secepat mata kami bertemu, senyumnya mengembang. Tangannya terangkat, melambai menyapaku.

Ini tidak adil.

-

Couldn't Expect ThatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang