Wangi musk yang menguar dari jaket yang kukenakan sekarang tanpa kusadari membuatku rileks, melupakan apa pun itu yang tadinya berusaha mengusik pikiran. Ini jelas aroma khas Jiro. Mungkin, orang-orang biasanya akan ingat wangi seseorang jika sering berdekatan dengan orang yang bersangkutan, tapi beda halnya denganku; aku justru sangat ingat bagaimana wangi Jiro karena kami jarang berdekatan. Aku memanfaatkan intensitas jarak kami yang agaknya selalu berjauhan untuk mengingat segala hal tentangnya.
Tidak ada yang bicara di antara kami. Bedanya, saat ini aku merasa kecanggungan seperti sedang enggan membungkus. Hanya ada semilir angin, ramainya lalu lintas, dan detak jantungku sendiri.
Selesai dari D'Party, Jiro menawarkan untuk mengantarku. Aku menolak (memangnya apa yang kau harapkan?), namun Jiro memaksa. Keras kepala sekali dia. Sudah jelas aku bakal kalah beragumen dengannya. Mungkin memang aku semudah itu untuk ditaklukkan. Apalagi olehnya. Ah.
Yang membuatku amat kesal, Jiro membawaku ke lain tempat, alih-alih rumahku.
Entah apa namanya tempat ini. Agak senyap. Tanahnya berumput pendek-pendek, ada pagar pembatas di samping jalan yang berhubungan dengan jurang, dan toko-toko berjejer membentuk saf di belakang punggung kami.
"Kapan kamu mau nganter aku pulang?" Aku memutuskan untuk mengawali konversasi.
Jiro berputar ke arahku, tapi masih bersandar pada pagar. Kupikir, kami agak aneh karena malah memandangi jurang penuh pepohonan yang sama sekali tidak ada apiknya. Aku dapat membaui adanya senyuman saat dia membalas, "Hm, memangnya kamu nggak berpikiran untuk menghabiskan ulang tahun sampai hari berganti?"
Aku tersenyum asimetris. "Dengan apa, berdiri terus-terusan di sini?"
"Nggak jelas, memang," Jiro terkekeh, "tapi, asal kamu tahu, ini tempat favoritku. Nggak terlalu rame, nggak terlalu sepi juga. Seenggaknya, suatu saat kalo aku punya pikiran untuk terjun ke jurang ini, masih ada orang yang mau nyelametin."
Keningku berkerut. Lamat-lamat berusaha menelan perkataannya barusan. "Terus?"
Jiro menatapku dengan kening mengerut. "Terus," katanya, " ... apa?"
"Terus, tujuan kamu ngajak aku ke sini apa?"
"Oh."
Aku mengangguk. "Apa?"
Aku merasa lucu saat itu juga. Kami mengobrol seolah memang sering berbincang sebelumnya—setidaknya itu menurutku, sih. Sebab biasanya, kami tidak begini. Tidak dengan mengobrol santai. Dan sekarang dengan aku yang berdiri bersisian dengan Jiro, mengobrol tanpa beban, rasanya aneh. Tidak benar. Tapi, aku pun tidak menemukan apa yang salah.
Jiro belum menjawab, tapi aku membiarkannya membisu. Aku lebih suka kami terkukung keheningan.
Beberapa jenak kemudian, suaranya mengawang di udara, "Karena ... karena pengin aja."
Satu detik.
"Pengin aja?"
"Ya, anggep aja aku bosen kalau harus ke sini sendirian melulu."
Ah, jadi, karena dia bosan ya ....
Aku menyeringai. Mengutuk diri yang terlalu awal untuk berharap lebih. "Laura?" tanyaku. "Dia pasti pernah ke sini, ya?"
Agak memalukan, tapi aku memang bertanya seperti itu. Dan aku menyesalinya tepat setelah aku mendengar suaraku sendiri menyuarakannya.
Jiro tidak buru-buru menjawab. Dia memandangiku lama. Sementara aku tidak berani untuk menghadapkan wajahku ke arahnya. Sepertinya, jurang memang berubah jadi menarik di saat-saat seperti ini. Lalu, dia menjawab ringan, "Nggak." Dia berpaling lagi ke depan. "Nggak pernah."
"Kenapa?"
"Kenapa?"
Sial.
"Nggak." Aku meringis dalam hati dan menggeleng cepat. Sudah pasti gila cewek bernama Cecil ini. "Cuma, yah, kalian deket 'kan. Pasti Laura setidaknya pernah kamu ajak ke sini."
Jiro mantuk-mantuk saja. Lalu menggumam, "Yah, mungkin kapan-kapan aku bakal ajak Laura ke sini."
Kuberi tahu, jangan pernah mengekspetasi hal yang sejatinya khayal.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Couldn't Expect That
Short StoryAku Cecilia Eva, sudah bersiap dari awal jikalau memang kisahku akan berakhir mengenaskan. © 2016 all rights reserved by fluoresens.