Part 3

233 29 0
                                    

"Hai, Kak." Candy menyapa seraya tersenyum, tanpa malu sedikitpun.

"Hai, juga." Morgan balas tersenyum dan sukses membuat Candy melayang hingga ke langit ke tujuh.

Candy dan Aelke saling bertatapan tak percaya.

"Udah nentuin mau masuk ekskul mana?" Morgan bertanya seraya menatap Candy dan Aelke bergantian. Tangan cowok keren itu menggenggam sebuah bolpoin berwarna hitam.

"Aku mau ikut ekskul Karate. Kaka--maksudnya, kamu ikut ekskul itu juga, kan?" Tanya Candy seraya menyodorkan kertasnya ke atas meja Morgan. Aelke benar-benar ingin tertawa sekarang. Bagaimana bisa Candy bersikap semanis ini? Berbicara dengan kata 'aku-kamu'. Bukan Candy 'banget'.

"Oh, Karate. Selamat bergabung kalo begitu. Semoga betah dan gak neko-neko." Morgan berujar seraya mencatat di sebuah kertas. Setelah selesai mencatat, Morgan beralih menatap Aelke yang masih memegang kertasnya tanpa memilih ekstrakurikuler yang harus dia ikuti.

"Kertas loe mana? Mau ikut ekskul apa?" Tanya Morgan.

"Boleh gak ikut ekskul gak, sih?" Aelke balik bertanya ragu-ragu sambil berusaha menghindari bertatapan langsung dengan mata Morgan. Morgan tersenyum lagi. "Maaf, ya. Peraturan di sekolah ini, minimal seorang siswa mengikuti satu kegiatan ekstrakurikuler." Aelke menarik nafas dan kembali berpikir.

"Ikut cheerleader aja, Ke." Candy mendesak. Morgan mengangkat sebelah alisnya dan menatap Candy dan Aelke bergantian.

"Enggak. Jangan. Mending loe gak usah ikut cheerleader." Saran Morgan. Aelke mengernyitkan dahinya. "Emang kenapa? Gak cocok banget, ya?" Tanya Aelke ragu-ragu.

"Iya, gak cocok banget sama loe. Bukan gak cocok secara fisik, kok. Gimana kalo loe ikut ekskul lain? Masih banyak yang jauh lebih baik daripada cheerleader." Morgan kembali melipat tangan di depan dada.

Aelke menarik nafas sebelum akhirnya, mulai mengisi kertas tersebut dengan ekskul yang akan dia ikuti. Setelah itu, Aelke menyerahkan kertasnya kepada Morgan. Morgan membaca isi kertas tersebut.

"Nama loe aneh." Komentar Morgan terhadap nama Aelke. Aelke hanya diam dan nyengir kuda. Tak sedikit orang yang beranggapan nama Aelke aneh. Aelke sendiri juga tidak tau kenapa dia dinamakan seperti itu oleh ayahnya.

"PMR? Okay. Selamat berjuang bersama tim PMR. Bukan pilihan yang buruk. Terima kasih atas waktunya." Lagi-lagi cowok tampan itu tersenyum dan sukses membuat kedua siswi baru itu melayang tinggi.


***


Keesokan harinya, Aelke akhirnya bisa merasakan bagaimana bangganya dia telah menjadi anak SMA. Berkali-kali, dia memutar tubuhnya di depan sebuah cermin panjang yang memang bisa melihat seluruh tubuhnya.

Aelke memakai sedikit make up untuk pergi ke sekolah. Hanya sedikit, tidak begitu keliatan. Yang jelas, make up itu membantunya terlihat tidak pucat.

"Udah cantik, kok, cantik."

Aelke tersipu dan mendapati ayahnya tengah berada di depan pintu. Aelke membalikkan tubuhnya dengan wajah kesal nan manja. "Ih, Papa. Kalo mau ke kamar, ketuk pintu dulu. Gak sopan, tau!"

"Iya, deh, iya. Ayo, sarapan. Papa masuk pagi hari ini makanya, kita berangkat bareng. Karena kantor Papa lebih jauh, kita berangkat sama-sama dari jam setengah tujuh lewat dikit, okay?" Aelke menganggukkan kepala setuju. Ayah Aelke itu tersenyum sebelum menutup pintu kamar anaknya.

Aelke kembali menatap pantulan bayangan tubuhnya di cermin. Sesekali dia berpikir, Candy benar. Dia punya postur tubuh yang cukup menarik untuk ikut cheerleader tapi, kenapa Morgan melarangnya masuk ke dalam tim cheerleader? Entahlah. Lagipula, apa peduli Aelke? Candy menyukai Morgan. Itu artinya, Aelke tak boleh menyukai Morgan juga, kan?


Lain halnya dengan Aelke, di saat Aelke sudah rapih, Candy malah baru bangun tidur. Cewek itu memang tomboy. Dia menonton sebuah film horor di DVD semalaman. Alhasil, dia bangun di jam seperti ini.

Candy segera mandi dan mengenakan seragam sekolahnya. Dia menguncir rambut hitam panjangnya ke belakang kemudian, mengaca. Dia sangat ceria hari ini. Sekarang, dia sudah punya alasan kenapa dia harus rajin berangkat ke sekolah.

Alasannya adalah Morgan. Ya, Morgan. Candy menyukai cowok berwajah oriental dan murah tersenyum itu. Siapa, sih, cewek yang tidak suka Morgan? Mungkin hanya cewek tidak normal yang tidak menyukai Morgan.

Setelah memoles make up, Candy segera meraih kunci mobilnya dan setelah berpamitan kepada ke dua orang tuanya, Candy segera berangkat. Dia tidak punya waktu untuk sarapan. Jika dia sarapan, bisa-bisa dia terlambat ke sekolah.


***


Aelke sampai lebih dulu di sekolah. Saat dia tengah berjalan melewati halaman sekolah, tiba-tiba, Candy memberikannya klakson yang cukup nyaring. Saat melewati Aelke, Candy membuka kaca mobilnya seraya berkata, "eh, bareng, Ke."

Aelke menganggukkan kepala dan menunggu di sana sampai akhirnya, Candy yang sudah memarkirkan mobil menghampirinya. Aelke menatap penampilan Candy dari atas ke bawah. Tak percaya jika sahabatnya yang satu ini sudah memakai seragam SMA.

"Lebih suka ngeliat loe begini, Can. Lebih cantik. Apalagi kalo rambutnya digerai. Pasti semua cowok klepek-klepek." Ujar Aelke seraya meneruskan langkah kakinya, Candy berjalan di sampingnya, beriringan.

"Aduh, Ke. Justru itu. Gue gak mau tampil cantik-cantik banget. Bisa-bisa loe gak kebagian stock nantinya. Makanya, gue tampil biasa aja." Candy berujar dengan sangat pede. Aelke terkekeh.

Mereka berdua berjalan menuju ke mading untuk melihat di mana keberadaan kelas mereka. "Kita kelas X-IPA1, Can. Kelasnya ada di lantai empat. Lantai paling tinggi."

"Mana harus naik tangga lagi." Candy menggerutu.

"Ya, udahlah. Anggap aja olahraga buat kita yang jarang. Yuk," Aelke meraih tangan Candy dan mengajak gadis itu menuju ke tangga. Mereka menaiki tangga bersamaan sampai akhirnya, Candy menghentikan langkahnya di pertengahan tangga menuju ke lantai tiga. Candy menoleh ke belakang dan mendapati pangeran pujaannya, Morgan, berada di belakang tengah mengobrol dengan seorang kakak kelas. Cewek. Mereka terlihat sangat menikmati pembicaraan mereka. Bahkan, saat melewati Candy dan Aelke, Morgan sama sekali tidak menegur. Jangankan menegur, melirikpun tidak.

Setelah Morgan melewati mereka, Candy dan Aelke pun meneruskan langkah mereka. Candy tampak sangat berapi-api sekarang.

"Itu cewek siapa, sih? Beraninya ngedeketin pangeran gue. Belom dapet hajaran dari gue kali, ya?" Ujar Candy. Aelke terkekeh. "Kalo itu cewek pacarnya gimana, Can? Loe gak mau ngehancurin hubungan mereka berdua, kan?"

"Masa bodo, lah. Pokoknya, itu cowok harus jadi milik gue."


***


Hari pertama mereka sebagai siswi SMA dilewati dengan cukup baik. Tapi, saat hendak pulang bersama, dengan terpaksa niatan itu tak terlaksana saat seseorang yang mengaku sebagai ketua PMR membuat pengumuman melalui speaker sekolah jika para calon anggota PMR harus berkumpul di depan UKS saat pulang sekolah.

"Good luck, ya, Ke. Entar kalo gue sakit, loe yang ngobatin, deh." Candy menaikkan kedua alisnya. Aelke terkekeh. "Gue, kan, PMR. Bukan dokter. Tugasnya pasti beda. By the way, loe hati-hati di jalan, ya, Can. Hati-hati di culik." Aelke menjulurkan lidahnya. Candy memutar bola matanya. "Mana mau penculik nyulik anak karate sabuk biru kayak gue. Ya, udah, Ke. Gue duluan, ya. See you tomorrow." Candy melambaikan tangan sebelum berlari menjauhi Aelke.

Aelke menatap kepergian Candy selama beberapa saat sebelum akhirnya berbalik. Saat berbalik, Aelke terkejut bukan main mendapati anak-anak cheerleader yang kemarin tampil, tengah berdiri di hadapannya.

"Hai." Sapa kakak kelas cantik yang membantu kelompok Aelke saat masa orientasi hari pertama. Aelke balas menyapa, "hai juga, Kak."

"Kenalin, gue Karina." Kakak kelas cantik itu mengulurkan tangannya di hadapan Aelke. Aelke menjabat tangan Karina. "Aelke."

"Okay, Aelke. Sebenarnya, gue sama tim cheerleader ke sini karena pengen ngerekrut loe masuk ke dalam ekskul kita. Secara fisik, loe mendukung banget. Mau, kan?" Tanyanya ramah. Aelke berpikir sebelum menjawab, "saya..saya udah ada ekskul lain, Kak. PMR. Bukannya jadwal PMR bentrok sama jadwal cheerleader?"

"Jadwal cheerleader bisa diatur. Kita lebih sering latihan hari Sabtu, sih. Bareng anak-anak tim Basket." Jelasnya. Mendengar kata tim Basket, pikiran Aelke melayang kepada Morgan. Ah, ya, Morgan, kan, termasuk tim Basket.

"Kayaknya gak bisa. Udah pasti mau masuk PMR aja." Aelke berusaha menolak secara halus.

"Serius gak mau? Loe itu satu-satunya murid di sini yang mendapat undangan langsung dari tim inti kayak kita dan loe nolak?" Karina mengulangi pertanyaan. Aelke menganggukkan kepalanya. "Maaf, ya, Kak. Saya gak bisa masuk tim cheerleader. Sekali lagi, maaf yang sebesar-besarnya."

Karina menghela nafas pasrah. "Okay. Gak apa-apa. Kalo begitu, selamat menikmati pilihan loe, ya. Permisi." Karina beserta tim cheerleader-nya berjalan meninggalkan Aelke begitu saja. Aelke menatap kepergian tim cheerleader itu dengan bingung sebelum akhirnya, melangkahkan kakinya lagi menuju ke ruang UKS.

Hampir sampai di ruang UKS, Aelke berpapasan dengan Morgan dan seorang siswi yang berbeda dari tadi pagi di tangga. Morgan sempat tersenyum sebelum melangkahkan kaki bersama siswi itu. Aelke menarik nafas.

Sepertinya, teori yang pernah Aelke baca memang benar. Biasanya, cowok tampan itu playboy.


***


"Jadi, kapan kamu ngajarin akunya?" Siswi kelas XI-IPA2 itu bertanya kepada Morgan. Nama siswi itu Mischa. Morgan mengedikkan bahunya. "Maaf, ya, Mis. Kayaknya sibuk sama basket, nih. Bulan depan udah ada kejuaraan. Kalo mau minta ajarin bahasa Mandarin, mending ke Rafael aja. Dia jauh lebih jago. Lagian, Rafael, kan, kakak kelas kita. Ilmunya pasti lebih banyak."

"Tapi, aku maunya sama kamu, Gan. Kan, aku kenalnya sama kamu, bukan Rafael." Ujar Mischa merengek.

"Maaf, Mischa. Aku sibuk. Oh, iya, ada yang ketinggalan. Aku duluan, ya." Morgan berbalik dan berlari cepat menaiki tangga. Meninggalkan Mischa yang segera melangkahkan kakinya kesal karena mendapat penolakan dari Morgan.

Morgan menghentikan langkah kakinya di lantai dua. Sesekali, dia melirik dari depan kelas dua belas itu. Morgan hanya ingin bersembunyi dan memastikan Mischa sudah pergi. Bukannya Morgan jahat atau apalah tapi, sebagian besar siswi yang mengajaknya belajar bersama pasti punya niat terselubung. Morgan sering meladeni belajar bersama dulu. Tim cheerleader. Sampai akhirnya, tim cheerleader itu bubar karena saling memperebutkan Morgan.

Morgan melirik jam yang melingkar di tangannya. Menunjukkan pukul setengah empat sore. Morgan berpikir. Sepertinya, dia tidak akan pulang di jam seperti ini. Biasanya, Morgan pulang di atas jam lima sore. Alasan yang sering dia gunakan saat orang tuanya bertanya adalah rapat OSIS.

Morgan menatap ke lantai satu. Tepat ketika melihat beberapa orang tengah berkumpul di UKS. Morgan tersenyum lebar sebelum berlari cepat menuruni tangga dan menuju ke depan UKS. Morgan bergabung dengan anak-anak PMR yang hendak memulai latihan pertama mereka.

"Hai. Gue gabung, ya?" Ujar Morgan kepada ketua tim PMR yang tengah memperkenalkan dirinya. Kehadiran Morgan sontak menjadi sorotan anak-anak PMR yang memang hampir tujuh puluh persen cewek. Sisanya cowok.

"Loe ngapain ke sini, sih?" Tanya ketua tim PMR yang bernama Christy itu kesal.

"Gue males pulang, Chris. Ayolah, kali ini aja gue gabung." Morgan memelas. Anak-anak PMR mulai menahan tawa melihat aksi Morgan yang benar-benar menggemaskan.

"Loe itu cuma jadi pengganggu latihan. Nanti pada gak fokus. Mending loe kalo gak mau pulang, main ke rumah sahabat loe aja, tuh, si Bisma." Cetus Christy kesal. Morgan kembali memasang wajah memelas. "Bisma jalan sama pacarnya, Chris. Masa gue main ke rumahnya terus orangnya gak ada? Gak sopan banget."

Christy menarik nafas pasrah sebelum menganggukkan kepala. "Ya, udah duduk. Inget, ya. Jangan macem-macem. Jangan ganggu yang lainnya." Ancam Christy. Morgan mengangkat jempolnya sebelum mengedarkan pandangannya mencari tempat untuk duduk.

Akhirnya, Morgan melangkah dan duduk di samping...Aelke yang sedari tadi hanya diam. Morgan sempat tersenyum dan menyapa, "hai." Aelke pun hanya membalas, "hai, juga." Sebelum fokus pada Christy yang tengah menjelaskan tentang peralatan PMR.


Setelah PMR selesai sekitar pukul lima sore, Aelke segera menghubungi supir untuk menjemputnya pulang. Namun, saat selesai menelepon, tiba-tiba saja, Morgan sudah berada di hadapannya dan bertanya, "mau pulang bareng?" Aelke tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Gak usah. Dijemput."

Morgan menganggukkan kepalanya. "Oh, okay." Dia menatap lurus ke depan sebelum tersenyum lebar. Dia melangkah cepat sambil berteriak, "Christy! Bareng gue, yuk!"

Aelke menarik nafas. Ternyata, Morgan benar-benar seorang playboy. Dia punya banyak pilihan gadis yang bisa dia ajak ke manapun.   


RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang