Hampir sebulan lamanya Morgan menjalin hubungan dengan Candy dan hampir sebulan pula, Morgan yang ramah berubah menjadi sangat dingin. Morgan jarang sekali tersenyum dan Morgan bahkan gara-gara harus mengikuti semua kemauan Candy, Morgan menelantarkan berbagai macam kegiatan yang dulu sangat rajin dia ikuti.
Morgan tengah mendribble bola basketnya dan berusaha melewati lawan yang adalah temannya sendiri. Tapi, belum sempat melewati, bola sudah direbut oleh lawannya itu. Morgan mengerang kesal.
Latihan itu pun berakhir dengan kemenangan Tim yang dipimpin oleh Rafael itu. Mereka semua berkumpul membentuk lingkaran besar seraya berbicara mengenai tim.
"Dua minggu lagi, kita ada pertandingan makanya, akan diadakan seleksi tim inti nanti." Ujar Rafael yang adalah kapten tim basket.
"Makanya, gue minta, semua anggota basket, kesampingkan dulu urusan pribadi loe dan fokus pada pertandingan." Rafael menambahkan seraya melirik Morgan yang tampak tengah memainkan handphone-nya.
"Morgan!" Rafael menegur. Morgan mendongakkan kepala dan menatap Rafael. "Kenapa?"
"Loe denger apa yang gue bilang tadi?" Tanya Rafael seraya menyeka keringat yang membasahi wajahnya. Morgan menganggukkan kepala santai.
"Kalo loe denger, hargain gue, dong! Gak usah main hape dulu. Loe tau gak? Dari semua anggota basket, loe adalah satu-satunya anggota yang lebih mementingkan urusan pribadi loe daripada tim. Loe gak profesional." Rafael memperingatkan.
"Maksud loe apa ngomong kayak gitu?" Morgan bertanya santai sambil melipat tangan di depan dada.
"Semenjak loe pacaran sama adik kelas itu, loe lebih mentingin dia daripada tim! Buktinya, pas latihan aja gak fokus dan biarin bola direbut pemain lawan. Loe juga sering bolos latihan. Harusnya loe sadar akan kesalahan loe!" Ujar Rafael.
Morgan menganggukkan kepala. "Okay. Sorry. Gue lagi banyak pikiran. Gue gak akan ulangin lagi." Itulah Morgan. Morgan lebih memilih untuk mengalah dan mengaku kalah daripada harus melanjutkan perdebatan.
"Loe yakin, loe bisa? Sepenglihatan gue, loe itu takut sama cewek loe. Loe selalu nurutin keinginan dia dan ngabaiin semua kewajiban yang harus loe jalanin. Gara-gara loe, tim kita kacau latihannya. Loe itu salah satu andalan. Seharusnya, loe bisa ngasih contoh ke yang lain. Buat apa loe masih di basket sementara, pikiran loe ke mana-mana?" Rafael mulai meredakan kekesalannya. Morgan bangkit berdiri.
"Kalo loe mau gue keluar dari tim, okay. Gue keluar. Thanks."
Morgan berjalan cepat meraih bola basket dan tasnya kemudian, meninggalkan tim basket sekolah yang terlihat tak percaya dengan kepergian Morgan.
***
"Morgan lama banget, sih. Gue telepon dari tadi gak diangkat sama sekali." Candy terlihat mondar-mandir sedari tadi. Candy tengah bermain di rumah Aelke dan meminta Morgan menjemputnya. Aelke heran melihat Candy.
"Loe, kan, bisa bawa mobil sendiri, Can. Kenapa gak loe nyetir sendiri aja waktu mau ke sini? Biasanya aja loe nyetir sendiri." Ujar Aelke menyarankan.
"Enggak. Morgan harus jemput gue. Dia yang anter gue ya, dia yang jemput gue, dong?" Candy masih bersikeras berusaha menghubungi Morgan.
"Bukannya dia latihan basket?" Tanya Aelke.
Candy menganggukkan kepalanya. "Iya, dia latihan. Tapi, dia bisa minta izin sebentar, kan, buat jemput gue? Apa susahnya, sih, jemput doang?" Candy masih berusaha menghubungi Morgan tapi, tak diangkat oleh Morgan.
"Can, dia gak bisa seenaknya sama tim. Masa pergi segampang itu? Mustahil, Can." Aelke menghela nafas. Candy memang keras kepala. Semua keinginannya harus tercapai. Bagaimanapun caranya. Dia keras.
Candy masih berusaha menghubungi Morgan sampai akhirnya, bel rumah Aelke berbunyi. Aelke menarik nafas sebelum berjalan untuk membukakan pintu rumahnya.
Aelke menahan nafas melihat siapa yang berada di balik pintu rumahnya. Morgan. Morgan tanpa menyapa terlebih dahulu, langsung bertanya, "Candy-nya mana?"
Belum sempat Aelke menjawab, Candy sudah muncul dan berhambur memeluk singkat Morgan. "Kamu ke mana aja, sih? Aku teleponin gak di jawab. Aku SMS gak di bales." Tanya Candy manja.
"Latihan basket. Sorry." Jawab Morgan singkat.
"Udah selesai, kan? Ya, udah. Kamu anterin aku ke Mall dulu, ya? Aku mau beli alat make up. Aku mau belajar make up sama Mama aku." Ujar Candy. Morgan menganggukkan kepala sebelum berbalik dan berjalan menuju ke mobilnya.
"Aelke, Candy duluan, ya. Bye." Candy berpamitan kepada Aelke sebelum berjalan menuju ke mobil Morgan.
Melihat sikap Morgan tadi, Aelke baru sadar akan satu hal. Morgan memang benar-benar berubah semenjak bersama Candy. Dia bukan lagi manusia. Dia seperti robot yang akan mengabulkan semua permintaan Candy tanpa mengelak.
***
Morgan menemani Candy makan sementara dia tidak memesan apapun. Setelah Candy menghabiskan makanannya, Candy melipat tangan di depan dada. Memperhatikan Morgan yang sedari tadi memainkan handphone-nya.
"Morgan,"
"Hm?"
"Kamu kenapa, sih? Jadi gak asyik kayak dulu lagi sebelum kita pacaran. Kamu jarang senyum dan sebagainya." Candy bertanya dengan nada serius. Morgan mengedikkan bahunya. Masih fokus pada handphone-nya.
"Aku serius, Morgan. Taruh hape kamu dulu dan jawab pertanyaan aku." Perintah Candy. Morgan menurutinya. Morgan meletakkan handphone-nya di atas meja dan beralih menatap Candy. "Kenapa?" Tanyanya.
"Kamu yang kenapa?!" Tanya Candy mulai kesal.
"Kenapa loe suka sama gue?" Morgan balik bertanya. Candy tercekat akan pertanyaan Morgan. "Kalo kamu nanya gitu, aku mau nanya balik. Kenapa kamu nembak aku?"
"Karena loe suka sama gue." Jawab Morgan santai.
Candy diam, berusaha benar-benar mencerna perkataan Morgan. "Aku bingung, Gan, sama kamu. Aku gak tau gimana harus ngadepin kamu. Sekarang, kamu jelasin, deh, Gan. Maunya kamu gimana." Candy terlihat sudah benar-benar pasrah.
"Jujur atau bohong?" Tanya Morgan mengangkat sebelah alisnya.
"Jujur. Aku akan terima semua penjelasan kamu. Yang penting, aku gak mau liat kamu begini lagi, Gan. Aku mau liat kamu yang dulu balik." Candy berkata lembut walaupun dia tau, semua akan berakhir menyedihkan.
"Gue..gue suka sama loe. Tapi, perasaan suka gue gak pernah dan gak akan pernah lebih dari suka sebagai sahabat." Candy menundukkan kepala mendengar pengakuan Morgan itu. Morgan menarik nafas dan menghelanya perlahan. "Loe boleh benci gue setelah ini tapi, gue sadar satu hal, Can. Gue gak bisa pertahanin ini semua. Gue gak bisa ngejalanin hubungan tanpa ada rasa apapun ke loe."
"Kalo begitu, kenapa kamu dateng ke rumah aku dan minta aku jadi pacar kamu?" Tanya Candy menggigit bibir bawahnya, menahan tangis.
"Karena gue tau gue udah nyakitin loe beberapa hari sebelumnya saat gue bilang kalo kita itu cuma sahabatan. Iya, gue tau kali ini gue pasti bakal nyakitin loe lagi tapi, gue sadar satu hal, Can. Terkadang, kejujuran itu memang menyakitkan. Tapi, ada hal baik di balik itu semua." Morgan meraih tangan Candy yang berada di atas meja dan menggenggamnya. "Gue bukan yang terbaik buat loe. Tuhan udah siapin seseorang yang jauh lebih baik dari gue buat loe."
Candy diam. Morgan melepaskan pegangan tangannya. "Loe paham maksud gue, kan, Can? Gue gak mau buat diri gue dan diri loe tersiksa karena kepalsuan ini. Maaf. Gue minta maaf banget sama loe. Gue sayang loe, Can. Sebagai sahabat gue."
***
From: Candy
Gue putus sama Morgan.
Aelke tercekat membaca pesan dari Candy tersebut. Candy dan Morgan putus? Bagaimana bisa? Maksudnya, bukankah baru beberapa jam yang lalu, Morgan rela tidak berlatih basket hanya untuk menjemput Candy?
Tanpa basa-basi, Aelke segera menghubungi Candy. Aelke menunggu lama Candy mengangkat telepon darinya tapi, Candy tak kunjung mengangkat telepon darinya.
Aelke panik. Aelke kenal Candy sejak lama. Aelke tau bagaimana Candy jika dia tengah tidak dalam keadaan baik. Candy orang yang nekat. Bagaimana jika dia melakukan hal yang tak pernah Aelke duga sebelumnya hanya karena ini?
Aelke menghela nafas sebelum meraih jaketnya. Aelke meraih kunci mobil dan segera berjalan ke luar dari rumah. Supir Aelke memang tengah pulang ke kampungnya jadi, Aelke dibolehkan menyetir sendiri tapi, selagi dia menyetir tidak jauh. Biar bagaimanapun, dia masih di bawah umur.
Mobil yang Aelke kendarai berhenti di depan halaman rumah Candy. Rumah Candy tampak sepi dan tidak ada mobil Candy di sana. Aelke semakin panik.
"Pak, Candy-nya ada?" Aelke bertanya kepada satpam yang menjaga rumah Candy.
"Non Candy pergi ke luar. Sampai sekarang belum pulang." Jawab satpam tersebut. Aelke berterima kasih sebelum kembali ke dalam mobilnya. Aelke harus mencari Candy. Apapun yang terjadi. Aelke harus memastikan Candy tidak melakukan hal-hal bodoh.
***
Morgan baru saja memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya sebelum bergegas masuk ke dalam rumah. Baru membuka pintu, Morgan sudah mendapati Alyssa yang duduk di sana dengan tenang seraya membaca sebuah majalah.
"Dari mana aja? Bukannya janji pulang jam 5 sore? Sekarang jam berapa?" Tanya Alyssa tanpa mengalihkan pandangannya dari majalah.
Morgan melepaskan tasnya dan meletakkan asal di atas meja sebelum duduk di samping Alyssa. Morgan memijat kepalanya. "Gue pusing, Al. Lagi banyak masalah. Makanya, gue ngadem dan cari tempat tenang dulu."
Alyssa menutup majalah yang dia baca dan menatap Morgan. "Masalah apa? Makanya cerita biar lebih ringan. Loe aja yang terlalu kaku buat cerita sama gue tentang cewek. Gue kan cewek jadi, siapa tau gue bisa bantu loe."
Morgan menghembuskan nafas perlahan. "Mama sama Papa belum kirim surat?" Morgan seakan ingin mengalihkan pembicaraan. Alyssa mengerti betul bagaimana sikap adiknya. Adiknya memang tertutup, terutama tentang masalah cewek.
"Belum. Kenapa?" Tanya Alyssa.
"Gue setuju sama Mama sama Papa tentang masa depan gue." Jawab Morgan. Alyssa mengangkat sebelah alisnya. "Maksud loe?"
"Gue mau lanjut kuliah di Amerika nanti."
"Kenapa? Kenapa gak di Indonesia aja? Bukannya loe bersikeras buat bertahan di Indonesia? Kenapa semudah itu loe ganti pikiran?" Alyssa melipat tangan di depan dada.
"Gue pusing di Indonesia, Al. Gue berusaha jadi orang baik tapi, tetap aja, gak semua orang nilai gue baik. Semua yang gue kerjain selalu salah dan bikin orang lain benci sama gue. Mungkin, dengan gue pindah ke luar negri, gue bisa bebas dari perasaan selalu salah itu." Morgan menjelaskan.
"Masalah loe gak akan selesai kalo kerjaan loe itu menghindar dan menghindar. Itu malah cuma akan menambah masalah baru." Alyssa memperingatkan.
"Tapi, ini masalah hati, Al. Gue yakin, masalah hati itu gak punya penyelesaian." Morgan bersikeras.
"Siapa bilang gak ada? Penyelesaiannya cuma satu. Loe harus jujur sama diri loe sendiri dan setelah, loe tau apa isi hati loe, loe ungkapin ke orang yang bersangkutan. Gampang, kan?"
Morgan menganggukkan kepala malas-malasan. "Ya, ya, ya. Gue selalu denger kalimat itu dari loe. Udah, kan? Gue mau mandi dan istirahat." Morgan bangkit berdiri dan berjalan menuju ke kamarnya.