Keesokan harinya, di sekolah, Aelke masih memikirkan apa yang Morgan katakan padanya kemarin. Tentang Candy. Candy hari ini juga tampak masih seperti remaja yang galau karena diberi harapan palsu oleh gebetannya.
"Ke, liat PR bahasa Inggris boleh, gak?" Candy yang semula diam tiba-tiba berkata kepada Aelke. Aelke menatap Candy selama beberapa detik sebelum menganggukkan kepalanya. Aelke meraih buku tulis bahasa Inggrisnya dari dalam tas dan menyerahkan kepada Candy. Candy langsung meraih buku tulis Aelke itu dan menyalin apa yang tertera di sana ke buku tulisnya tanpa mengecek terlebih dahulu.
"Tapi, gue gak tau, loh, Can, bener atau salah. Bahasa Inggris gue kan gak sebagus loe." Ujar Aelke. Candy menjawab cuek, "bodo amat, lah. Kalopun nilai gue jelek, rata-rata Bahasa Inggris gue juga masih di atas loe." Aelke diam. Entah kenapa, ucapan Candy tadi sangat menusuk.
Ya, Aelke tau dia memang tidak begitu baik dipelajaran yang berhubungan dengan bahasa. Tapi, haruskah Candy mengatakan hal yang merendahkan Aelke seperti itu?
Aelke menarik nafas dan mencoba sabar, memahami Candy. Aelke tau Candy memang tidak dalam keadaan yang baik. Dia tengah sedih dan kecewa karena Morgan hanya menganggapnya teman, tidak lebih. Tapi, haruskah dia melampiaskan kekecewaannya pada sahabat yang selalu mendukungnya?
"Ke, nanti loe pulang sendiri gak apa-apa, kan?" Tanya Candy. Dia masih menyalin pekerjaan rumah Aelke ke buku tulisnya.
"Kan, gue udah bilang, Can. Mobil gue di pake supir buat jenguk istrinya di kampung. Kalo gue gak bareng loe, gue bareng siapa, dong?" Aelke bertanya kecewa. Candy meletakkan pulpennya di atas meja dan beralih menatap Aelke. "Sorry banget, Ke. Tapi, gue butuh waktu sendiri."
"Loe udah janji sama gue semalem mau pulang bareng gue." Aelke menekankan.
"Tapi, gue butuh waktu buat sendiri, Ke! Loe ngertiin gue, dong!" Candy membentak Aelke. Untuk pertama kalinya Candy membentak Aelke. Membuat Aelke diam sejenak. Candy menahan nafas sebelum akhirnya bangkit berdiri dan hendak berjalan pergi ke luar kelas.
"Loe mau ke mana?" Tanya Aelke, masih dengan nada lembutnya.
"Bukan urusan loe." Jawab Candy sinis sebelum melangkah ke luar kelas begitu saja.
***
Candy menghabiskan banyak waktu berdiam diri di kantin. Seorang diri sementara yang lainnya tengah sibuk mengikuti pelajaran. Candy tak peduli jika ada guru yang memergokinya dan menghukumnya karena membolos. Dia sudah benar-benar tak punya semangat belajar saat ini.
Candy memesan sebotol minuman soda untuk dia minum. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya melamunkan hal-hal yang tidak seharusnya dilamunkan. Candy seringkali membayangkan wajah Morgan walaupun, saat sadar, dia berusaha mengusir bayangan itu.
"Loe ngapain di kantin jam segini?"
Candy mendongakkan kepala mendengar suara itu dan mendapati si ketua OSIS (Rafael) tengah berdiri, melipat tangan di depan dada seraya menatapnya sangat tajam. Candy menarik nafas. "Bukan urusan loe."
"Kata siapa bukan urusan gue? Urusan gue kali. Mending loe sekarang balik ke kelas kalo loe gak mau gue laporin ke guru piket gara-gara bolos." Ancam Rafael tapi, tak membuat Candy bergeming sedikitpun.
"Loe gak tuli, kan?" Rafael bertanya sinis. Candy menarik nafas. "Loe bisa diem gak, sih? Iya, gue tau loe kakak kelas tapi, untuk kali ini aja, biarin gue sendiri. Gue lagi butuh waktu sendiri!" Bentak Candy yang sukses membuat Rafael bungkam.
Rafael menarik nafas sebelum duduk di kursi kayu yang berhadapan dengan Candy. Candy menatap cowok Chinese itu bingung. Kenapa dia malah duduk?
"Gue becanda doang, kali. Gue juga bolos, kok. Tenang aja. Kalo loe dihukum, loe gak akan sendirian." Ujar Rafael mengulum senyuman. Candy tercengang. "Hah? Loe bolos? Ketua OSIS bolos? Kenapa loe bolos?" Candy bertanya bertubi-tubi.
Rafael terkekeh dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Kalo ketua OSIS bolos emangnya kenapa? Toh, jabatan gue, beberapa minggu lagi akan digantikan sama yang baru. Lagian, gue juga punya titik jenuh kali. Gue udah bosen belajar terus. Makanya gue milih cabut ke sini." Rafael menjelaskan. Candy diam.
"Loe ngapain di sini?" Rafael bertanya.
"Bukannya tadi gue udah bilang? Gue butuh waktu sendiri makanya gue ke sini." Jawab Candy cuek.
"Oh, loe lagi galau?" Terka Rafael seraya melipat tangan di atas meja.
"Sok tau."
"Bukan sok tau tapi, emang gue tau. Sebagian besar cewek kalo bilang dia butuh waktu sendiri, biasanya pasti lagi galauin masalah cowok. Ngapain, sih, ngegalauin cowok kalo cowok itu aja belum tentu galauin loe juga." Ujar Rafael yang membuat Candy berpikir keras.
"Loe gak akan ngerti." Candy berujar ketus.
"Karena loe gak ngasih tau gue apa masalah loe. Mending loe cerita biar gue ngerti." Rafael menekankan. Candy menatap Rafael untuk sesaat sebelum akhirnya, benar-benar menceritakan masalahnya dengan Rafael.
***
Aelke tidak tau ke mana perginya Candy. Dia sudah berusaha menghubungi sahabatnya itu tapi, tak ada balasan sama sekali. Bahkan, Aelke sudah mencari Candy ke setiap sudut sekolah tapi, dia tidak ada. Aelke menghela nafas. Dia mencemaskan keadaan cewek tomboy itu.
Aelke berjalan menuju ke perpustakaan, dia selalu mendapat ketenangan di perpustakaan. Lagipula, Aelke harus mengembalikan buku yang dia pinjam beberapa hari yang lalu di perpustakaan.
Setelah mengembalikan buku, Aelke kembali mencari buku yang akan dia baca. Dia mengambil asal buku sebelum duduk di salah satu kursi untuk membaca buku tersebut. Tak lama kemudian, pintu perpustakaan kembali terbuka dan kali ini, giliran Morgan yang masuk ke dalam perpustakaan.
Aelke berusaha mengabaikan keberadaan Morgan walaupun, sudah jelas Morgan melihatnya dan berjalan menghampirinya.
"Hai." Sapa Morgan ramah, seperti biasanya.
"Hai juga." Balasan yang Morgan dapatkan jauh dari kesan ramah. Malah terkesan canggung dan kaku. Aelke sejujurnya marah dan kesal pada Morgan atas ucapannya kemarin. Terlebih-lebih karena dia menghancurkan hati sahabat karib Aelke.
"Lagi baca apa?" Tanya Morgan.
"Buku." Jawab Aelke singkat.
"Gue tau buku. Tapi, buku apa? Judulnya apa?" Morgan memutar bola matanya. Aelke menarik nafas sebelum memperlihatkan sampul buku yang dia baca kepada Morgan dengan cuek. Morgan menarik kursi di dekat Aelke dan duduk di sana.
"Loe marah sama gue?" Tanya Morgan. Aelke diam dan pura-pura tak mendengar. Morgan menarik nafas dan menghelanya perlahan. "Kalo loe marah soal ucapan gue tentang sahabat loe kemarin, sorry. Gue gak maksud. Gue cuma mau peringatin loe buat gak terlalu baik sama dia. Gue gak mau loe sakit hati nantinya saat sahabatan sama dia."
"Dia suka sama kamu." Aelke mulai berkata, datar. Morgan diam.
"Sejak awal masuk sekolah, dia suka sama kamu. Dia seneng banget kemarin waktu kamu ajak dia jalan dan waktu kamu bilang kalo kalian berdua cuma sahabatan, kamu gak tau, kan, betapa hancurnya dia? Kalo kamu gak suka sama dia, kenapa kamu kasih harapan ke dia? Kamu itu sama aja kayak cowok brengsek lainnya yang suka permainin cewek mentang-mentang kamu ganteng atau apalah." Aelke menutup bukunya dan beralih menatap Morgan tajam. Morgan balas menatap Aelke.
"Gue gak pernah permainin cewek dan gue bukan cowok brengsek." Morgan menekankan.
"Kalo kamu bukan cowok brengsek, kamu gak akan umbar pesona ke semua cewek dan buat mereka jatuh cinta sama kamu terus kamu abaiin mereka. Kamu pikir, apa yang kamu lakuin itu baik? Sama sekali enggak." Baru kali ini Aelke meluapkan apa yang ada di pikirannya. Morgan diam.
"Atas semua ucapan buruk kamu tentang Candy kemarin, aku gak akan percaya semudah itu. Aku bukan cewek bodoh yang bisa percaya sama orang asing dalam hitungan detik. Aku jauh lebih percaya sama keyakinan hati aku sendiri. Aku jauh lebih kenal Candy daripada kamu." Aelke kembali meneruskan.
"Loe juga gak kenal gue, Ke. Jadi, loe gak bisa ambil kesimpulan seperti itu." Morgan menekankan.
"Kalo kamu aja bisa ambil kesimpulan tentang Candy, kenapa aku gak bisa ambil kesimpulan tentang kamu?" Aelke membela dirinya.
"Mau loe apa?" Morgan memotong saat Aelke hendak melanjutkan ucapannya. Aelke diam. Merasa bersalah saat melihat raut wajah Morgan yang seketika berubah menahan emosi.
Aelke belum sempat menjawab pertanyaan Morgan saat Morgan tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan berlalu begitu saja. Benar-benar meninggalkan Aelke dengan rasa bersalahnya. Tidak seharusnya dia berkata seketus itu kepada Morgan. Mungkin saja niat Morgan baik.