Aelke mondar-mandir dengan gelisah di dekat resepsionis. Sampai resepsionis itu bingung melihat kegelisahan Aelke. Resepsionis itu melirik jam di dindingnya.
"Sudah pukul satu siang. Tuan Morgan harus mengadakan pertemuan jam dua siang, kan?"
Ucapan resepsionis itu membuat Aelke terdiam dan berdiri kaku. Aelke mengumpat dalam hati. Dia tidak mau ke ruangan Morgan. Dia pasti akan menyaksikan kemesraan Morgan dan pacarnya itu. Tidak, Aelke masih belum siap menghadapi fakta itu.
"Apa kita gak punya cara lain untuk membuat Tuan Morgan mengingat janjinya tanpa mengganggu waktunya bersama pacarnya itu?" Tanya Aelke. Resepsionis itu mengangkat sebelah alisnya dan menggelengkan kepalanya. "Tuan Morgan benci keterlambatan dan saat dia marah, wajah malaikatnya akan lenyap. Jadi, sana ke ruangannya. Ketuk pintunya terlebih dahulu."
Aelke menganggukkan kepala pasrah dan segera berjalan lemas menuju ke elevator. Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan Fiorella yang tampak tengah mengantarkan sesuatu tapi, Aelke mengabaikan Fiorella.
Elevator yang Aelke tumpangi sampai di lantai lima, tempat di mana Morgan berada. Aelke menahan nafas dan mencari-cari di mana ruangan Morgan, sampai akhirnya, Aelke menemukan sebuah pintu dengan nama Morgan yang tertera jelas pada papan di bagian atas pintu.
Aelke menghela nafas, memejamkan mata selama beberapa detik sebelum memberanikan diri untuk mengetuk pintu.
Satu ketukan.
Dua ketukan.
Tiga ketukan.
Tak ada respon apapun.
Aelke mendesah panik lalu, melirik jam di tangannya. Sudah jam satu lewat lima belas menit. Apa yang harus Aelke lakukan? Bisa saja Morgan terlambat. Ini Jakarta. Mana mungkin jalanan kota Jakarta tidak macet.
Aelke baru hendak mengetuk pintu lagi saat pintu mendadak terbuka. Olivia berada di hadapan Aelke sambil mengernyitkan dahinya. Aelke segera menyingkirkan tangannya yang tadi hendak mengetuk pintu.
"Maaf," ujar Aelke.
"Gak apa-apa," jawab Olivia dengan sangat ramah.
Tak lama kemudian, Morgan muncul dan menatap Aelke sekilas sebelum menepuk dahinya. "Ah, ya. Pertemuan dengan klien. Olivia, gak apa-apa, kan, kalo aku gak antar kamu pulang? Kayaknya aku harus segera ke tempat pertemuan itu." Ujar Morgan kepada Olivia. Olivia terkekeh kecil sebelum secara tiba-tiba, dia berjinjit dan mengecup singkat pipi Morgan, membuat Aelke harus diam menyaksikan semua itu.
"Gak apa-apa, kok, Bos besar. Sampai ketemu nanti malam, ya. I love you." Olivia berjalan menjauhi ruangan Morgan menuju ke elevator. Morgan tersenyum kecil saat gadis itu melambaikan tangan sebelum menghilang di balik elevator.
"Tunggu sebentar di sini, okay?" Ujar Morgan. Aelke menganggukkan kepala, membiarkan Morgan masuk ke dalam ruangannya sementara, Aelke berdiri di depan ruangannya. Masih memikirkan kemesraan Morgan dengan gadis bernama Olivia itu. Astaga, kenapa pikiran Aelke kacau karena mereka? Seharusnya Aelke bahagia karena akhirnya, Morgan menemukan seseorang yang cocok untuknya.
Orang itu bukan Aelke.
Aelke menundukkan kepalanya, membayangkan beberapa hal yang pernah dia lalui bersama Morgan waktu SMA dulu. Kenapa semuanya tabu? Kenapa Morgan harus kehilangan ingatan masa-masa SMA-nya? Kenapa Morgan harus amnesia?
Kenapa Morgan harus kehilangan ingatan-nya tentang Aelke dan beberapa peristiwa penting yang pernah terjadi di antara dia dan Aelke?
"Hei,"
Suara itu membuat Aelke mendongakkan kepala dan kembali menegakkan tubuhnya, mendapati Morgan yang sudah berada di hadapannya, menatapnya bingung. Morgan sudah mengenakan jas hitamnya di balik kemeja tanpa dasi berwarna biru yang dia kenakan.
"Kenapa melamun?" Tanya Morgan. Aelke segera menggelengkan kepalanya. "Maaf." Morgan tersenyum kecil. "Baiklah. Sepertinya kita harus cepat berangkat. Ayo." Morgan melangkah besar menuju ke elevator dan Aelke mengikutinya dari belakang.
Di tengah perjalanan, beberapa karyawan memperhatikan Morgan dan Aelke yang berjalan ke luar dari kantor. Beberapa di antaranya bahkan bergumam jika Morgan dan Aelke terlihat cocok walaupun, Morgan dan Olivia juga terlihat cocok.
Morgan dan Aelke menaiki mobil yang dikendarai oleh seorang supir. "KFC Pusat." Ujar Morgan kepada supir yang membuat Aelke membulatkan matanya. Apa? KFC? Sejak kapan ada pertemuan sepenting itu di KFC?
"Perusahaan akan bekerja sama dengan KFC untuk masalah promosi. Itulah alasan kita harus ke KFC Pusat sekarang." Morgan seakan bisa membaca pikiran Aelke. Aelke mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tak lama kemudian, mobil Morgan berhenti di halaman sebuah tempat makan yang cukup ramai. Morgan berjalan bergegas dan di sambut oleh salah seorang karyawan yang berkata bahwa dia akan mengantarkan Morgan ke tempat yang diperintahkan atasannya. Morgan menurut, Aelke mengikuti dari belakang.
Pembicaraan ini akan menjadi pembicaraan paling menarik menurut Aelke. Apa hubungan antara perusahaan yang siap menyediakan makanan cepat saji dengan perusahaan travel?
***
Pertemuan Morgan dengan klien-nya itu berakhir tepat pukul lima sore. Cukup lama dan sangat membosankan untuk Aelke.
"Maaf harus sesore ini selesai pertemuannya," ujar Morgan saat dia dan Aelke berjalan ke luar dari KFC itu. Aelke menganggukkan kepalanya. "Gak apa-apa."
"Di mana rumah kamu?" Tanya Morgan. Aelke mendesah pelan. Dalam hati, dia ingin sekali menjawab, "kamu pasti tau rumah aku di mana," tapi, percuma. Untuk saat ini, itu bukan jawaban yang tepat.
"Saya bisa pulang naik taksi." Ujar Aelke yang membuat Morgan mengangkat sebelah alisnya sebelum menggelengkan kepalanya. "Enggak. Saya yang antar kamu pulang. Saya yang buat kamu pulang terlambat dan biarkan saya bertanggung jawab."
Aelke tersenyum ragu. "Gak usah. Saya bisa pulang sendiri. Terima kasih atas ajakannya. Selamat sore." Aelke sedikit membungkukkan tubuhnya sebelum berjalan meninggalkan Morgan begitu saja.
Morgan menghela nafas dan pasrah atas tolakan Aelke. Morgan membuka pintu mobilnya dan memerintahkan supir yang sedari tadi menunggunya untuk melajukan mobil menuju ke kantornya kembali.
***
Sejak perjodohan itu, malam ini adalah malam pertama Morgan dan Olivia makan malam. Hanya berdua, ditemani dengan cahaya remang-remang lilin beraroma. Dengan sedikit sentuhan musik klasik.
Olivia yang menyiapkan semua ini sedangkan, Morgan hanya mengikuti alur gadis cantik itu.
"Gimana pekerjaan kamu hari ini?" Tanya Olivia di sela-sela makannya. Morgan yang baru hendak menyuap sepotong daging panggang mengangkat sebelah alisnya sebelum meletakkan pisau dan garpunya di atas meja.
"Apa yang ada di pikiran kamu tentang pekerjaan aku hari ini?" Tanya Morgan balik. Olivia menarik nafas dan menghelanya perlahan. "Asisten baru kamu cantik." Komentar Olivia.
Morgan terkekeh kecil sebelum tersenyum. "Yeah, dia cantik."
"Lebih dari aku?" Tanya Olivia seraya mengerucutkan bibirnya. Morgan kembali terkekeh. Olivia sangat lucu dan menggemaskan. Terkadang dia terlihat sangat mirip seperti anak taman kanak-kanak. Itu yang membuat Morgan menyukainya.
"Lebih dari kamu." Morgan merespon. Olivia menundukkan kepalanya. "Well, okay," ujar Olivia pasrah namun, sedetik kemudian, Olivia dapat merasakan sebuah tangan meraih dan menggenggam erat tangannya. Olivia mengangkat wajahnya dan mendapati tatapan lekat Morgan padanya.
Morgan tersenyum. "But, nobody compares to you in my eyes (Tapi, gak seorang pun yang sebanding sama kamu di mataku)." Kemudian, Morgan mengecup singkat punggung tangan Olivia dan membuat semburat merah muncul di pipi gadis itu.
***
Aelke menatap sebuah buku bersampul cokelat di sela-sela rak bukunya. Aelke menghela nafas dan meraih buku tersebut. Aelke membuka halaman pertamanya, tepat pada potret dia dan Morgan saat pertama berkencan dulu.
Diam-diam, Aelke tersenyum melihat foto itu. Di foto itu, mereka berdua sama-sama mengumbar senyuman. Senyum bahagia yang sekarang tergantikan oleh senyum penuh kecanggungan.
Aelke menutup buku itu dan memeluknya selama beberapa detik sampai tak sadar saat air matanya menetes. Aelke bangkit berdiri dari kamarnya. Dia berjalan menuju ke dapur dan mengambil korek api yang berada di dekat kompor.
Aelke berjalan menuju ke luar rumahnya dan dengan tangan bergetar, dia menyalakan korek api tersebut. Aelke memejamkan mata sebelum akhirnya membulatkan tekad. Aelke menyulutkan api ke arah buku pemberian Morgan tersebut.
Setelah terbakar separuhnya, Aelke melempar buku itu ke tong sampah. Aelke melihat sendiri bagaimana buku itu terbakar, mungkin sama persis dengan yang terjadi dengan kenangan-kenangan yang ada di buku tersebut.
Semuanya sudah berubah. Tak sesuai rencana lagi. Semuanya harus dimulai dari nol.
Aelke harus belajar untuk melupakan Morgan. Morgan bukan untuknya. Morgan sudah punya jodoh yang mungkin jauh lebih baik daripadanya. Well, mungkin saja jodoh itu adalah Olivia.
Aelke harus mengikhlaskan Morgan untuk Olivia.