Aelke menarik nafas dan membaca surat yang baru saja diedarkan untuknya. Fiorella juga mendapat surat yang sama. Isinya tentang surat pemberitahuan tentang PKL yang harus mereka laksanakan sebagai syarat kelulusan.
"Dapet di mana, Fio?" Tanya Aelke kepada Fiorella yang juga terlihat lesu membaca suratnya. "Di salah satu perusahaan jasa travel. Kamu sendiri?" Fiorella balik bertanya.
"Sama." Jawab Aelke.
"Terus, nama perusahaannya apa?" Tanya Fiorella penasaran.
"SEA Travel."
"Hah? Sama, dong!" Raut wajah Fiorella menjadi lebih ceria dari sebelumnya. Fiorella sebenarnya bukan takut untuk mengikuti praktek itu. Dia hanya takut tidak dapat teman. Fiorella sama seperti Aelke. Sama-sama sulit mendapatkan teman.
Aelke tersenyum. "Iya, nih, kita samaan. Kita cek lokasinya sekarang aja kali, ya? Biar minggu depan langsung ke sana." Ujar Aelke. Fiorella menganggukkan kepalanya. "Okelah. Yuk!"
Fiorella menarik tangan Aelke dan berjalan bersama dengannya menuju ke halaman parkir.
***
Setelah memarkirkan mobil, Aelke dan Fiorella langsung bergegas memasuki gedung dengan delapan lantai tersebut. Aelke dan Fiorella berdecak kagum. Baru kali ini mereka melihat perusahaan yang bergerak dibidang jasa travel sebesar ini.
"Permisi, Mbak. Kami berdua mahasiswi dari Universitas Trisakti Jakarta. Kami ingin meminta klarifikasi tentang praktek kerja industri kami di perusahaan ini." Ujar Fiorella kepada resepsionis yang berjaga. Aelke masih sibuk mengagumi arsitektur bangunan ini. Sangat indah. Modern.
"Maaf, karyawan yang mengurus masalah praktek para mahasiswa sedang mengambil cuti selama tiga hari. Dia baru masuk besok lusa." Resepsionis dengan make up natural dan rambut disanggul itu berkata sopan.
"Apa gak bisa bicara langsung sama atasannya, Mbak? Maaf, tapi, kami butuh kepastian secepatnya. Waktu praktek kami yang ditentukan kampus akan segera dimulai." Aelke kali ini yang buka suara.
Resepsionis itu menggelengkan kepala. "Tidak bisa. Atasan kami tengah mengadakan rapat penting dan dia paling tidak suka diganggu tentang masalah seperti ini. Ini bukan tugas dia. Ini tugas karyawan kami yang sedang cuti tersebut."
"Tapi, gak bisa begitu, dong, Mbak. Maksudnya, sebelum cuti, apa dia gak nitipin kerjaannya ke orang lain? Bukankah harus ada orang yang mengisi kekosongan pekerjaan yang seharusnya dia lakukan?" Aelke mulai berargumen dengan kesal. Enak saja, sudah jauh-jauh datang ke sini, Aelke tidak mau mendapat sesuatu yang sia-sia.
Sedetik kemudian, resepsionis itu menundukkan kepala. Aelke masih menatapnya kesal dan berkata, "kalo begitu, lebih baik saya cari perusahaan lain," seraya berbalik. Aelke terkejut setengah mati melihat siapa yang berada di hadapannya.
"Apa yang terjadi?"
"Begini, Tuan. Mahasiswi-mahasiswi ini akan melaksanakan praktek di perusahaan ini namun, saya sudah mengatakan, karyawan yang mengurus masalah prakerin sedang cuti. Tapi, dua gadis ini..." Fiorella memotong ucapan resepsionis itu dengan cepat.
"Kamu yang kemarin..." Sebelum sempat Fiorella melanjutkan ucapannya, Aelke menyikut lengan Fiorella, memerintahkan gadis itu agar tak melanjutkan ucapannya. Fiorella menatap Aelke tak mengerti sedangkan, Aelke menundukkan kepalanya singkat seraya berkata,
"Maaf atas kelancangan kami. Kami permisi." Aelke menarik lengan Fiorella agar pergi dari tempat itu namun, langkah Aelke terhenti saat mendengar suara, "tunggu."
Sebenarnya, Aelke hendak kembali melanjutkan langkahnya, mengingat perkataan Bisma kemarin. Wow. Aelke tak menyangka, Morgan sudah bekerja dan dia bekerja di perusahaan yang akan dijadikan tempat magang oleh Aelke.
Fiorella berbalik sedangkan, Aelke hanya diam di tempat. Morgan berjalan mendekat, membenarkan jasnya sebelum berkata dengan tegas, "kalian bisa magang di sini, sesuaikan dengan jadwal di kampus kalian. Saya yang akan bertanggung jawab."
"Eh, seriusan? Maka-," ucapan Fiorella terpotong saat Aelke berbalik dan berkata dengan penuh penekanan. "Tidak. Terima kasih."
"Saya gak akan ngasih penawaran kedua. Ini penawaran pertama dan terakhir. Saya atasan di sini. Jadi, seharusnya kalian beruntung mendapat penawaran langsung dari saya," ujar Morgan, nadanya angkuh. Aelke memejamkan matanya sekilas. Entah kenapa, Aelke baru sadar jika Morgan yang berada di hadapannya memang benar-benar berbeda dengan Morgan yang dulu selalu ada untuknya.
Apakah Amerika sebegitu keras mengubah sikap seseorang?
"Setuju! Saya setuju!" Fiorella berkata dengan semangat sedangkan, Aelke hanya diam saja. Morgan merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Morgan menyodorkan kartu nama itu kepada Fiorella dan Fiorella menerimanya.
"Hubungi saya, kapan kalian akan siap untuk mulai magang di sini."
Morgan berbalik dan berjalan cepat menuju ke elevator.
***
"Ya ampun, Ke. Gak apa-apa kali. Kata kamu, kamu gak ada hubungan apapun sama dia jadi, gak apa-apa, lah, aku magang di sana. Bisa ketemu dia terus. Duh, mukanya damai banget, Ke." Cerocos Fiorella.
Aelke memutar bola matanya. "Fio, jangan mulai, deh. Katanya udah punya pacar. Ngapain coba deketin cowok lain?" Tanya Aelke. Fiorella terkekeh lalu mengerling menatap Aelke. "Bilang aja masih ada something."
"Kamu gak ngerti, deh, Fi, gimana rasanya. Bayangin aja, di saat kamu udah sabar menunggu dia datang selama bertahun-tahun, saat dia kembali, dia bertingkah seakan-akan gak kenal sama kamu padahal, jelas-jelas kamu ada di hadapan dia." Aelke akhirnya bercerita juga pada Fiorella.
"Jadi...dia yang selama ini kamu tunggu? Sampe nolak Andrian segala buat dia?" Tanya Fiorella.
Aelke menghela nafas dan mengedikkan bahunya pasrah. Fiorella mengelus lembut pundak Aelke. "Sabar, ya, Ke. Tapi, sejujurnya, aku masih penasaran sama Morgan. Kayaknya, dia bener-bener gak kenal kamu. Apa dia amnesia?"
"Amnesia? Yang bener aja. Kalo dia amnesia, kenapa gak ada yang kasih tau aku sama sekali tentang ini semua?" Fiorella menggelengkan kepala seraya mengambil bantal. Dia tengah berada di kamar Aelke.
"Kalo di sinetron-sinetron, biasanya, kalo ada yang amnesia, keluarga pasti berusaha ngejauhin si orang yang amnesia itu dengan segala hal yang dapat membuat dia bersikeras buat ingatannya kembali karena itu berbahaya."
Aelke diam mendengar ucapan Fiorella. Apa benar Morgan amnesia? Mana mungkin dia amnesia. Apa amnesia juga merubah sikap seseorang? Bukannya amnesia hanya menyembunyikan ingatan seseorang?
Tapi, sepertinya, perkataan Fiorella tentang alur sinetron itu ada benarnya juga.
***
"Morgan!"
Morgan memutar kursinya dan membulatkan mata melihat siapa yang baru saja datang tanpa mengetuk pintu ruangannya. Seorang gadis cantik dengan rambut cokelat tua ikal yang cukup panjang.
"Kenapa gak ketuk pintu dulu?" Tanya Morgan kepada gadis yang tanpa ragu langsung menarik kursi dan duduk di hadapan Morgan.
"Masa harus ketuk pintu?" Gadis itu bertanya seraya mengerucutkan bibirnya.
"Kantor ini punya aturan, Olivia." Ujar Morgan kepada gadis bernama Olivia itu. Olivia melipat tangan di depan dada. "Aku bukan karyawan di sini jadi, gak harus nurut aturan di sini, kan?"
"Walaupun kamu bukan karyawan, tetap aja. Kamu memasuki daerah kantor ini otomatis, kamu harus tunduk semua peraturan di sini," Morgan menekankan.
"Okay," Olivia bangkit berdiri. "Apa aku harus ulang semuanya lagi dari awal? Dari aku datang dan masuk ke dalam ruangan ini?" Tanyanya. Morgan menggelengkan kepala. "Itu peringatan, Olivia. Sekarang, kembali duduk." Perintah Morgan. Olivia kembali duduk.
"Ada apa?" Tanya Morgan dingin.
Olivia merungut kesal mendengar nada bicara Morgan. "Gak bisa nanyanya lebih halus?"
Morgan menghela nafas. "Olivia, ada apa? Apa yang buat kamu kemari?" Morgan sempat tersenyum tipis kepada gadis itu.
Olivia balas tersenyum. "Orang tua aku suruh aku ke sini buat temani kamu. So, aku akan di sini."
"Dalam rangka apa?" Tanya Morgan bingung.
"Kita kan dijodohkan. Otomatis, kita harus saling mengenal dekat terlebih dahulu." Jawab Olivia. Morgan menatap gadis itu nanar. Morgan baru ingat akan perjodohan bodoh yang benar-benar tak bisa dia batalkan itu.
Morgan sebenarnya menentang perjodohan ini. Tapi, dilain sisi, Morgan tidak mau membuat orang tuanya sedih karena dia membangkang.