Part 25

302 26 0
                                    

Aelke tak tau harus senang atau malah sebaliknya sekarang. Dia mengalami dilema. Bayangkan saja, sudah hampir seminggu, Morgan menemaninya di rumah sakit. Mendorong kursi rodanya untuk berjalan-jalan ke luar kamar, menemaninya di saat malam, dan masih banyak lagi yang Morgan lakukan untuknya.

Tapi, di lain sisi, Aelke merasa bersalah pada Olivia. Aelke tau, hampir tiap malam (mungkin, Morgan mengira Aelke sudah tertidur) Olivia pasti akan menghubungi Morgan dan Morgan selalu mengangkat panggilan dari gadis itu. Sekarang, Aelke merasa seperti orang jahat yang memisahkan pasangan serasi itu.

Aelke menghela nafas dan menatap ke luar jendela kamarnya. Aelke rindu suasana di luar sana. Aelke rindu kamarnya. Aelke rindu rumahnya. Aelke juga rindu ayahnya. Ini sudah lebih dari seminggu lamanya Aelke di rumah sakit tapi, belum ada tanda-tanda kedatangan ayahnya.

Sesibuk itukah sehingga ayahnya tak bisa menjenguk Aelke? Bahkan, kakak Aelke saja tak menjenguk atau mencoba menghubungi Aelke. Sekarang, Aelke merasa seperti dia tengah berada di tempat pengasingan. Di mana dia hanya sendiri tanpa ada orang yang benar-benar peduli padanya.

"Hei, selamat pagi, Cantik. Sudah bangun rupanya,"

Aelke menoleh mendengar sapaan itu dan mendapati dokter Merry yang baru saja masuk ke dalam ruangannya. Aelke tersenyum kepada dokter Merry. Well, masih ada satu orang yang peduli pada Aelke yaitu dokter Merry. Walaupun, Aelke tak tau apakah dokter Merry akan peduli dengannya saat dia ke luar dari rumah sakit nanti.

"Pagi, dokter." Aelke balas menyapa. Dokter Merry berdiri di sisi kanan ranjang Aelke sebelum mengenakan stetoskopnya untuk memeriksa detak jantung Aelke. Kemudian, dia melakukan pemeriksaan lainnya dengan cepat.

"Dokter, kapan saya bisa pulang?" Tanya Aelke saat dokter Merry tengah memeriksa tensi darahnya.

"Besok juga sudah boleh pulang. Asalkan, setiap Minggu, kamu harus rajin ke rumah sakit. Kita akan melakukan terapi. Semoga terapinya berhasil dan kamu bisa berjalan lagi," dokter Merry menjelaskan secara mendetail.

"Terapi selama berapa lama, dok?" Tanya Aelke lagi.

"Sampai kamu sembuh. Tapi, perkiraan saya, sih, kamu akan cepat sembuh. Kamu gak lumpuh, Aelke. Cuma ada kelainan sedikit karena kecelakaan itu. Mungkin, lima kali terapi dan keadaan kamu sudah membaik." Jelas dokter Merry.

Aelke tersenyum sedih. Dokter Merry mengernyitkan dahinya bingung. "Kamu kenapa? Kenapa sedih? Harusnya kamu senang karena kamu sebentar lagi pulang dan sembuh."

"Apa saya cuma bisa nemuin dokter di rumah sakit? Ehm, sejujurnya, saya sering merasa kesepian, dokter. Cuma sedikit orang yang benar-benar peduli sama saya dan tulus peduli sama saya. Dokter salah satunya," Aelke menjelaskan. Dokter Merry merapikan peralatan medisnya dan duduk di tepi ranjang Aelke.

"Kata siapa cuma sedikit yang peduli sama kamu? Kamu gak liat seberapa banyak orang yang datang menjenguk kamu? Kamu gak liat teman-teman kamu yang rajin datang ke sini? Terus, bagaimana dengan Morgan yang selalu di dekat kamu," Aelke menundukkan kepala.

"Morgan gak tulus, dokter. Dia cuma kasihan sama saya. Dia merasa bersalah karena kecelakaan itu," Aelke menghela nafas.

"Kalau dia gak tulus, untuk apa dia rela-relain jaga kamu dua puluh empat jam selama seminggu? Dia bahkan bawa barang-barangnya ke sini supaya menemani dia buat nemenin kamu. Selama ini, dia belum pulang ke rumah, Aelke. Sekarang, mungkin dia sedang sarapan di kafetaria," jelas dokter Merry.


***


"Aku gak bisa selamanya kayak gini, Gan! Aku butuh kepastian. Aku butuh kamu dan sekarang, kamu malah ngejauh dari aku!" Olivia berkata penuh emosi kepada Morgan yang tengah duduk di hadapannya. Olivia datang ke rumah sakit pagi ini, untuk bicara dengan Morgan. Morgan mengajaknya bicara di kafetaria karena tidak mau menganggu istirahat Aelke.

"Ada orang lain yang jauh lebih membutuhkan aku daripada kamu, Liv. Harusnya kamu paham akan keadaan ini," Morgan membela diri seraya menyeruput secangkir kopi di hadapannya dengan tenang.

"Kamu gak bisa siksa dia dan siksa aku dengan semuanya. Kamu harus benar-benar memilih. Aku atau dia. Biar semuanya jelas." Olivia terus mendesak Morgan. Morgan diam, berpikir. Dia bingung jika harus memilih. Masalahnya, Aelke membutuhkannya walaupun, sebenarnya Morgan sudah benar-benar jatuh cinta pada Olivia.

"Kalo kamu gak mau tunggu sampai semuanya jelas, lebih baik kamu mundur, Liv. Silahkan cari cowok lain yang bisa kasih kamu kepastian. Aku cuma minta pengertian kamu untuk saat ini. Apa itu sulit? Kamu gak pernah tau gimana rasa bersalah yang membayangi aku selama ini, kan? Aelke kecelakaan dan nyaris lumpuh karena dia mau nolongin aku!"

"Enggak, Gan. Aku tau kamu punya alasan lain selain rasa bersalah itu. Kamu cinta sama dia juga, kan? Aku bisa liat dari gimana cara kamu memperlakukan dia." Morgan menggelengkan kepalanya kacau. "Stop, Liv. Lebih baik kamu pergi sekarang. Okay?"

"Kamu ngusir aku? Fine!" Olivia bangkit berdiri dan berjalan menjauh begitu saja. Morgan menatap punggung Olivia yang semakin menjauh. Morgan menghela nafas.

"Maaf, Liv. Aku sayang kamu tapi, ada yang jauh lebih butuh aku daripada kamu."


***


Secara perlahan, Morgan membuka pintu kamar Aelke dan mendapati Aelke yang tampak tengah membaca sebuah novel yang entah dari mana dia dapatkan. Morgan menarik nafas dan menghampiri Aelke.

"Hai." Sapa Morgan, Aelke hanya meliriknya sekilas sebelum kembali fokus ke novel-nya tanpa berkata apapun.

"Baca apa?" Tanya Morgan.

"Novel." Jawab Aelke singkat.

"Dapet dari mana?" Tanya Morgan seraya duduk di tepi ranjang Aelke. "Dari dokter Merry." Jawab Aelke.

Morgan menghela nafas. "Maaf." Morgan menundukkan kepalanya. Aelke melirik Morgan sekilas dan menggelengkan kepalanya. "Maaf untuk apa?" Tanya Aelke seraya kembali memfokuskan tatapannya kepada novel walaupun, pikirannya hanya fokus pada Morgan.

"Untuk semuanya yang pernah aku lakuin di hidup kamu." Ujar Morgan. Aelke menutup bukunya dan menatap Morgan. "Jangan pernah bilang maaf ke aku. Kamu gak pernah punya salah sama aku. Okay?" Aelke berusaha meyakinkan Morgan.

Morgan mengangkat wajahnya dan tiba-tiba saja dia berhambur memeluk Aelke. Aelke tercekat akan pelukan Morgan tersebut. Aelke tak membalas pelukan Morgan. Dia hanya diam tanpa kata.

Morgan membenamkan wajahnya di pundak Aelke sambil berkata lembut, "aku..aku gak tau harus gimana lagi, Ke, untuk buat semuanya kembali. Aku..aku mau ngerasain masa-masa dulu yang udah lenyap dari ingatan aku. Aku..aku tersiksa atas semua ini. Maafin aku. Aku berusaha buat ingat kamu tapi,..aku gak bisa."

Aelke memejamkan mata, dia tak pernah tau jika Morgan sebegitu keras mencoba mengingat masa lalunya. Astaga, pasti itu menyakitkan.

"Kamu selalu terlintas di pikiran aku tapi, aku gak bisa ingat apapun yang udah pernah kita lalui. Aku gak tau kalo kamu udah nunggu aku selama beberapa tahun dan saat aku kembali, aku dengan bodohnya mengabaikan kamu. Aku gak tau kalo semuanya terjadi seperti ini," Morgan meneruskan ucapannya. Kali ini, setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Aelke.

"Aku minta maaf, Ke. Aku udah nyakitin kamu. Alyssa udah cerita semuanya ke aku. Dia udah nunjukin beberapa bukti tentang kita walaupun, bukti itu sama sekali gak akan ngasih perubahan apapun dengan pikiran aku. Aku minta maaf, Ke. Aku minta maaf," Morgan berkata sangat bersungguh-sunggguh. Tak terasa, tangan Aelke ikut memeluk pria itu lembut. Pelukan hangat yang sangat dia rindukan.

"Aku udah bilang berkali-kali, Gan. Kamu gak salah apapun dan gak perlu ada yang minta maaf dan memaafkan." Aelke menekankan. Morgan hanya diam dan masih dalam keadaan memeluk Aelke. Entahlah. Pertama kalinya mereka berdua saling merasa nyaman satu sama lain.


***


Morgan mendorong kursi roda Aelke memasuki area rumahnya. Aelke menghela nafas. Rumahnya terlihat sangat sepi. Sepertinya tak ada yang benar-benar ingin tau akan kepulangan Aelke.

Tapi, pemikiran Aelke itu mendadak berubah seratus delapan puluh derajat saat tiba-tiba, beberapa orang datang memberikan surprise kepada Aelke. Aelke tak percaya, ada banyak orang di sini. Morgan terkekeh. Aelke melirik ke arah Morgan.

"Kamu tau semua ini?" Tanya Aelke. Morgan mengedikkan bahu sebelum ikut bergabung bersama yang lainnya. Ada Rafael, Bisma, Alyssa, Fiorella, Candy, bahkan ada juga ayah dan juga kakak Aelke yang kuliah di Australia.

"Welcome home, Honey. Maaf Papa gak bisa jemput. Ini Papa juga baru sampe di rumah dari bandara," ayah Aelke menghampiri Aelke dan memeluk putrinya tersebut. Aelke tertawa kecil. "Makasih, Papa. Aku kangen Papa," Aelke balas memeluk ayahnya.

Aelke melepas pelukannya dan menatap yang lainnya. Aelke tersenyum. Beginikah rasanya kebahagiaan akan kebersamaan itu?


***


Hari ini hari yang sangat cerah. Aelke merasa hidupnya sangat komplit sejak kejutan kemarin. Aelke tak menyangka, ternyata banyak orang yang peduli padanya walaupun, mereka tidak selalu berada di dekatnya.

Morgan menemani Aelke berjalan di sekeliling komplek rumah Aelke. Morgan mendorong kursi roda Aelke, melihat pemandangan sekitar. Komplek rumah Aelke memang punya banyak pemandangan dan taman di sekitarnya.

"Mau duduk di taman dulu?" Tanya Morgan seraya sedikit membungkukkan tubuhnya. Aelke menganggukkan kepala antusias. Taman. Aelke selalu suka taman walaupun, taman itu tak lagi indah seperti awal di bangun.

Morgan mendorong kembali kursi roda Aelke dan menghentikan langkahnya di depan sebuah kursi taman yang menghadap langsung pada area bermain anak-anak. Aelke tersenyum melihat anak-anak menggemaskan yang tengah bermain seluncuran, pasir, ayunan dan semacamnya. Sangat menggemaskan.

Aelke terkejut saat Morgan tiba-tiba saja menggendong tubuhnya dari kursi roda agar duduk di kursi taman. Setelah itu, Morgan menepikan kursi roda Aelke dan dia duduk di samping Aelke, menyaksikan anak-anak yang tengah bermain itu.

"Thanks. Maaf ngerepotin," ujar Aelke kepada Morgan. Morgan tersenyum. "Gak ada yang salah dan gak ada yang harus dimaafkan."

"Itu kata-kata aku," Aelke menyipitkan matanya. Morgan terkekeh. "Emangnya kenapa? Gak boleh kalo aku kutip kata-kata kamu?" Tanya Morgan mengangkat sebelah alisnya. Aelke menggelengkan kepala. "Aku mau patenin kata-kata itu jadi, kamu gak bisa kutip sembarangan." Aelke menjulurkan lidahnya dan Morgan terkikik geli. Kemudian, keduanya kembali menatap fokus ke arah anak-anak itu.

"Anak-anak itu lucu, ya?" Tanya Morgan. Aelke menganggukkan kepala setuju.

"Kamu gak pernah kepikiran untuk menikah dan punya anak seperti mereka?" Morgan kembali bertanya dan membuat Aelke tertawa. "Terima kasih sarannya, Gan." Ujar Aelke. Morgan tersenyum tipis. "Aku serius, loh. Kamu gak pernah kepikiran untuk menikah dan punya anak..ehm, mungkin sama aku."

"Kamu pasti menikah sama Olivia dan punya anak sama dia." Aelke berkata tanpa mengalihkan perhatiannya dari anak-anak itu.

"Olivia udah punya pacar baru. Aku ketemu dia dan pacarnya kemarin." Ucapan Morgan itu membuat Aelke menoleh ke arahnya dengan penuh simpati. "Kamu gak patah hati?" Morgan terkekeh dan menggelengkan kepalanya. "Bukannya ini yang aku mau? Aku biarkan dia pergi mencari pangerannya dan sekarang dia sudah berhasil menemukan pangeran impiannya itu. Yang pastinya gak akan ngecewain dia." Morgan tersenyum sedih. Aelke tau, pasti Morgan tetap saja patah hati walau berkata dia baik-baik saja.

"Ehm, aku..aku minta maaf. Kamu sama Olivia putus gara-gara..." Belum sempat Aelke melanjutkan ucapannya, Morgan sudah meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Aelke. Dia tersenyum dan berkata, "gak ada yang salah dan harus dimaafkan." Morgan kembali menjauhkan jari telunjuknya dan merengkuh wajah Aelke.

"Justru aku harus bilang terima kasih sama kamu. Terima kasih karena kamu udah nyadarin aku satu hal. Satu hal pernah tersembunyi dan yang memang selamanya akan ada di sini," Morgan meraih tangan Aelke dan meletakkannya di dadanya. Aelke bisa merasakan detak jantung Morgan yang benar-benar terpacu dengan cepat.

Morgan mendekatkan wajahnya ke wajah Aelke, kemudian berbisik dengan lembut di telinga Aelke.

"I loved you, I still love you, and I will always love you, Aelke."



























THE END.   


RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang