Part 5

191 27 0
                                    

 "Pulang bareng gak, Can?" Aelke bertanya kepada Candy seraya menyelempangkan tasnya. Candy menggelengkan kepalanya. "Aelke, Candy mau karate sama pangeran Candy. Aelke bisa pulang sendiri, kan?" Tanya Candy dengan sangat manis. Aelke memutar bola matanya. "Oh, iya, lupa. Ya, udah. Semangat latihannya. Gue duluan."

Aelke berjalan ke luar kelas, menuruni tangga dan menghentikan langkahnya di dekat pos satpam. Aelke mengeluarkan handphone-nya untuk menghubungi supir pribadi yang akan menjemputnya.

Sambil menunggu, Aelke menoleh kembali ke sekolah. Dilihatnya Morgan yang baru saja ke luar dari ruang ganti dan mengenakan seragam karate berwarna putih. Aelke menahan nafas. Memang tak ada yang bisa menyangkal ketampanan cowok sipit itu.

Aelke melihat Morgan menghentikan langkahnya di depan ruangan Tata Usaha. Dia duduk di salah satu kursi dan melepaskan sepatunya dengan perlahan. Tak lama kemudian, yang Aelke lihat adalah Candy yang mengenakan pakaian santai dengan celana training SMP. Candy menghampiri Morgan tanpa sungkan.

Mereka bicara berdua dan sesekali tersenyum ke satu sama lain. Aelke menarik nafas sebelum membalikkan wajahnya ke arah jalan. Beberapa menit kemudian, jemputan Aelke pun tiba. Aelke segera masuk ke dalam mobil.


***


Candy sama sekali tak fokus latihan karate karena perhatiannya hanya fokus pada seseorang. Ya, perhatiannya hanya terfokus pada Morgan yang terlihat sangat keren. Morgan mengenakan kaus putih dibalik seragam karatenya. Candy juga tak menyangka Morgan sudah bersabuk hitam. Secepat itu, kah?

Yang membuat Candy semakin tak fokus adalah saat Morgan diperintahkan untuk melakukan demo seorang diri. Morgan sangat keren. Seperti pendekar-pendekar di komik Jepang.

Setelah berlatih selama beberapa puluh menit, si pelatih yang dipanggil Kak Ramdhan memerintahkan kepada semuanya untuk beristirahat. Saat istirahat itu, Candy sebenarnya ingin menghampiri Morgan tapi, Morgan sepertinya terlalu asyik mengobrol dengan Kak Ramdhan.

Candy menghela nafas dan mengedarkan pandangannya, mencari teman. Sampai seseorang menghampirinya dan duduk di dekat Candy. Candy menoleh dan mengangkat sebelah alis. Yang duduk di sampingnya adalah seorang cowok yang sebelumnya belum pernah Candy lihat sama sekali.

"Gak apa-apa, kan, gue duduk di sini?" Tanya cowok itu. Candy menganggukkan kepalanya acuh.

"Oh, iya. Kenalin, gue Leo. Nama loe siapa?" Tanyanya.

"Candy." Jawab Candy jutek.

"Loe anak baru, kan, di sekolah ini?" Tanyanya lagi. Candy menganggukkan kepala. "Iya emang anak baru. Kenapa?" Candy balas bertanya malas-malasan.

"Loe ikut karate karena emang niat dari hati atau karena Morgan?" Tanya Leo lagi. Candy terdiam. Bagaimana cowok tengil ini tau? Pertanyaan itu ada di otak Candy saat ini.

"Gak usah kaget begitu kali. Hampir semua anak cewek di sini, ikut karate karena Morgan. Tanpa Morgan, yang ikut karate itu pasti bisa dihitung pake jari. Nah, sekarang? Lebih dari tiga puluh orang." Dia menjelaskan. Candy menghela nafas. "Ya, emang dia punya daya tarik sendiri, kan. Jadi, wajar kalo dia menarik."

"Tapi, loe belom terlalu kenal dia, kan? Loe gak tau latar belakang keluarga, dan segala macemnya, kan?" Tanya Leo yang sukses membuat Candy bungkam. Akhirnya, Candy menoleh juga ke cowok itu dan bertanya bingung. "Maksud loe apa?"

"Nanti loe juga ngerti maksud gue. Dia emang punya wajah malaikat tapi, belum tentu hatinya juga hati malaikat, kan?"


***


"Gue gak ngerti, Ke, maksud anak itu. Namanya Leo. Kayaknya gue gak pernah liat dia di sini. Tapi, jelas-jelas dia bilang begitu," Candy mencurahkan apa yang dikatakan Leo kepadanya kemarin kepada Aelke.

Aelke menarik nafas. "Gue juga gak ngerti, Can. Mungkin itu cowok pengen bilang kalo loe gak bisa suka sama sembarang cowok. Sebelum suka, harus diselidiki dulu. Ya, mungkin begitu." Aelke menyampaikan pendapatnya.

"Terus gue harus gimana?" Candy menegakkan tubuhnya yang semula sedikit membungkuk. Aelke yang duduk berhadapan dengannya mengedikkan bahu. "Mana gue tau. Urusan loe, kan, itu." Jawab Aelke cuek.

"Kok, loe gitu, sih? Harusnya loe kasih solusi ke gue. Menurut loe, gue lanjutin misi gue ngedapetin pangeran gue itu atau berhenti sampai di sini?" Candy melipat tangan di depan dadanya.

"Loe harus kenal dia terlebih dahulu, Candy."

"Gimana cara gue bisa kenal sama dia? Dia-nya aja cuek sama gue. Loe tau gak? Dia cuma bakal jawab pertanyaan gue. Bukan nanya ke gue. Males banget, kan?" Candy terlihat sangat kesal. Aelke terkekeh. "Ya, udah. Cari cowok baru aja. Masih banyak, kok, yang cakep di sini."

Candy memicingkan matanya. "Maksudnya?" Aelke tidak menjawab, dia justru tertawa kecil.


***


Pulang sekolah, Candy berpamitan untuk pulang terlebih dahulu karena orang tuanya menghubungi dia untuk cepat pulang. Entah ada apa. Yang jelas, Aelke harus sendirian menunggu jemputan lagi. Sejujurnya, Aelke malas sendirian seperti ini. Mana jemputannya tidak datang-datang.

Sambil menunggu jemputan, Aelke memilih untuk masuk ke dalam perpustakaan, membaca-baca buku di sana. Aelke termasuk kutu buku dulu. Ya, dulu sebelum dia terobsesi dengan blogging dan membuatnya jarang membaca buku. Sekarang Aelke sudah meninggalkan dunia blog.

Aelke mengitari rak buku sampai akhirnya menemukan buku yang lumayan cocok untuk dia baca. Buku bertemakan kemanusiaan. Mungkin, jarang ada orang yang membaca buku seperti ini tapi, Aelke justru suka. Kemanusiaan. Semua manusia seharusnya punya rasa kemanusiaan.

Aelke meraih buku berjudul 'Save The Child' dan membawanya ke kursi untuk membaca. Aelke membaca dengan serius sampai dia menemukan sebuah pembatas di halaman ke dua puluh lima. Aelke mengambil pembatas tersebut dan membaca tulisan yang tertera di sana. Bukan tulisan tapi, tanda tangan. Tanda tangan...

"Tanda tangan gue. Sorry."

Aelke mendongakkan kepala dan mendapati Morgan sudah berdiri di hadapannya. Aelke menahan nafas. Ternyata, Morgan sangat wangi dalam radius dekat.

"Oh, buku..ehm, buku kamu, ya?" Tanya Aelke gugup. Morgan tersenyum sebelum mengambil tempat duduk di samping Aelke. Membuat jantung Aelke berdebar lebih cepat.

"Gue udah baca berkali-kali. Isinya tentang beberapa kekejaman yang melibatkan anak-anak. Seru. Gue kemarin baca ulang dan baru sampe halaman dua puluh lima. Makanya gue tandain." Jawab Morgan panjang lebar.

"Ehm, kamu mau nerusin? Nih, silahkan." Aelke menyodorkan buku itu dengan canggung. Morgan menggelengkan kepalanya. "Gak usah. Loe aja baca dulu. Nanti kapan-kapan, loe harus sharing pendapat loe tentang buku itu ke gue." Morgan bangkit berdiri dan melihat ke jam tangannya.

"Gue ada latihan vokal. Duluan, ya." Morgan segera beranjak pergi meninggalkan Aelke sendiri. Dengan jantung yang masih berdegup kencang.

Setelah Morgan pergi, Aelke ikut bangkit berdiri dan berjalan menuju ke meja si petugas perpustakaan. Aelke meminjam buku tersebut dan memasukkannya ke dalam tas sebelum berjalan ke luar perpustakaan untuk memeriksa apakah jemputannya sudah datang atau belum.

Faktanya, jemputan Aelke tak kunjung datang.

Aelke berusaha menghubungi supirnya tapi, tak ada balasan sama sekali. Aelke mulai kesal. Gadis itu melihat jam di dinding sekolahnya. Sudah pukul empat sore. Berarti sudah satu jam lamanya Aelke menunggu jemputan tapi, jemputan itu tak datang juga.

Aelke menghubungi ayahnya. Menanyakan soal supirnya tapi, sama saja. Tak ada balasan sama sekali.

Alhasil, Aelke menunggu lagi cukup lama di dekat pintu gerbang. Sampai akhirnya, sebuah motor ninja muncul dari dalam dan berhenti di dekat Aelke. Pengendara motor itu menaikan kaca helmnya sehingga Aelke bisa tau siapa yang mengendarai motor itu. Sial. Si tampan Morgan.

"Gue liat loe nunggu dari tadi. Mending bareng gue." Ujar Morgan.

"Gak usah. Udah dijemput." Aelke menolak secara halus.

"Tapi, jemputan loe gak dateng-dateng dari tadi. Di atas jam lima sore, gak akan ada kendaraan umum yang lewat depan sekolah ini. Taksi pun jarang. Loe mau tetap di sini?" Aelke menahan nafas. Kenapa Morgan bisa-bisanya menakuti Aelke seperti itu?

"Rumah aku jauh." Ujar Aelke. Morgan terkekeh kecil. "Di mana, sih? Di Sabang? Di Merauke? Atau di bulan? Di bintang?"

"Di ehm, di..Grogol." Jawab Aelke.

Morgan memutar bola matanya. "Rumah gue juga di daerah Grogol. Deket, lah, berarti. Sok, atuh naik motor gue." Aelke menghela nafas sebelum naik ke atas jok motor Morgan. Tak lama kemudian, Morgan melajukan motornya.


Gila! Mungkin, itulah yang ingin Aelke teriakan saat ini. Morgan seperti pembalap MotoGP yang tersasar di jalanan kota Jakarta. Untungnya saja tidak macet. Jika macet, Aelke tak tau bagaimana nasibnya. Aelke berusaha mengarahkan Morgan ke jalan menuju ke rumahnya. Setelah kurang dari lima belas menit menaiki motor bersama pembalap 'nyasar' itu, akhirnya Morgan menghentikan motornya tepat di pintu gerbang rumah Aelke.

Aelke segera turun dari motor Morgan, melepaskan helm yang dia kenakan dan memberikannya kepada Morgan.

"Thanks, ya. Ehm, mau mampir atau enggak?" Aelke menawarkan, mau tak mau.

"Iya sama-sama. Kayaknya gak bisa mampir. Harus jemput seseorang. Gue duluan, ya." Morgan kembali melajukan motornya dengan cepat meninggalkan area rumah Aelke. Aelke mengernyitkan dahinya.

Menjemput seseorang? Pacar?


***


"Hei, sorry lama." Morgan ke luar dari mobilnya dan menghampiri seorang cewek cantik bak model yang tengah berdiri dengan wajah jutek di pintu ke luar bandara. Setelah mengantar Aelke, Morgan kembali ke rumah untuk mengganti motor dengan mobilnya sebelum berangkat menuju ke bandara.

"Lama banget. Capek gue nungguin. Tuh, bawain kopernya." Cewek itu berlalu masuk ke dalam mobil Morgan begitu saja, meninggalkan koper besarnya di sana. Morgan memutar mata sebelum bergerak meraih koper itu dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.

Setelah memasukkan koper ke bagasi, Morgan kembali masuk ke dalam mobilnya. Mengendarai mobil itu agar menjauh.

"Ke mana aja, sih? Emang di SMS kurang jelas kalo gue minta jemputnya jam 5 sore? Sekarang udah jam setengah enam dan loe baru jemput gue? Adek macem apa loe?" Cewek itu terus menerus menghakimi Morgan dengan kekesalannya. Well, dia adalah kakak Morgan yang tinggal di Australia. Sekarang, dia akan menghabiskan liburan musim panas di Indonesia. Namanya Alyssa.

"Gue sibuk kali, Al. Maap, maap. Yang penting gue jemput." Morgan beralasan.

"Pasti masalah cewek. Siapa lagi, sih, cewek yang loe jadiin permainan lagi? Gak hobi apa mainin cewek? Gak takut kena karma apa?" Alyssa meraih handphone-nya dan menggerakkan tangannya di atas layar handphone-nya.

"Gue gak pernah mainin cewek kali. Mereka-nya aja yang kepedean. Kalo gue senyum sama mereka, entar mereka ngira gue suka sama mereka. Kalo gue gak senyum, entar gue dikira sombong. Ah, elah. Gue mah selalu salah." Kata Morgan. Alyssa terkekeh. "Makanya, adek gue yang paling ganteng, sebelum lahir, request biar lahir biasa aja. Gak usah ganteng."

"Gue udah request tapi, emang Tuhan-nya aja yang sayang banget sama gue. Makanya, dia kasih anugrah muka ganteng ke gue." Morgan berkata menyombongkan diri.

"Tuhan sayang sama loe? Orang yang ke gereja aja harus mati-matian disuruh? Orang yang berdoa kalo lagi susah doang? Astaga." Alyssa memasang wajah syok. Morgan terkekeh.

"Eh, Gan, suruh Karina ke rumah, dong. Udah lama, nih, gue gak ketemu sama dia. Siapa tau dia mau nemenin gue ke salon." Alyssa berujar tiba-tiba. Morgan memutar bola matanya. "Gue gak punya nomornya Karina. Mending loe telepon dia sendiri."

"Bukannya loe udah jadian sama Karina?" Alyssa memicingkan matanya. Morgan menggeleng. "Jadian sama Karina? Makasih banyak, Al. Sayangnya, dia buka tipe gue sama sekali."

"Okay, okay, okay. Adek gue punya tipe cewek idaman, toh, sekarang? Kasih tau kali, tipe loe kayak gimana? Yang kayak Anastasia lagi? Atau yang kayak Bella? Atau yang kayak Nikita? Atau..." Ucapan Alyssa terpotong saat Morgan mengerang kesal. "Gue gak ada hubungan apapun sama cewek-cewek yang loe sebut."

"Terus, inceran loe sekarang siapa? Kasih tau gue!" Alyssa sedikit memaksa. Morgan tersenyum tipis. "Gue masih belom yakin, sih. Tapi, liat aja nanti." 


RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang