Part 16

159 27 0
                                    

Kemarin, Morgan mengantarkan Aelke pulang pukul enam sore lalu, pukul tujuh malam, Morgan menitipkan hasil cetakan foto dia dan Aelke selama di Ancol ke satpam yang langsung memberikan kepada Aelke.

Aelke menempelkan foto-foto itu di jurnal yang Morgan berikan dan menulis kata-kata di bawahnya. Yang Aelke tulis adalah:

'Ancol, you're the first. Thank you. Jakarta, 21 Januari 2012'

Setelah itu, Aelke menutup jurnal dan meletakkannya di rak buku. Baru hendak beranjak tidur, handphone Aelke bergetar. Ada sebuah pesan masuk di sana. Dari Morgan.

From: Morgan
Thanks for today. Good night. Have a nice dream :)

Aelke kembali tersenyum. Dia tak bisa tak senyum kemarin. Morgan benar-benar membuat pikirannya terbang.

To: Morgan
You're welcome. Good night and have a nice dream, too :)


***


Keesokannya di sekolah, Aelke datang seperti biasa. Dia duduk seorang diri sekarang tanpa Candy tapi, dari dulu dia memang terbiasa duduk seorang diri jadi, tak masalah.

Saat jam istirahat, Aelke memutuskan untuk langsung pergi ke perpustakaan. Siapa tau dia bisa bertemu dengan Morgan di sana? Morgan, kan, juga sering ke sana.

Aelke melangkahkan kakinya ke luar dari kelas. Toh, tak ada yang memperdulikannya juga. Semuanya punya teman dan kegiatan masing-masing sedangkan Aelke tidak ada. Satu-satunya tempat yang bisa mengusir rasa kesepian Aelke adalah perpustakaan.

Aelke baru beberapa langkah hendak menuju ke perpustakaan saat dia berpapasan dengan Morgan yang baru saja ke luar dari kelasnya bersama Bisma seraya bercanda tawa.

Morgan menghentikan tawanya dan tersenyum kepada Aelke.

"Mau ke mana?" Tanya Morgan ramah, seperti biasa.

"Ke perpustakaan." Jawab Aelke. Morgan menggelengkan kepala sebelum meraih pundak Aelke dan memutar tubuh gadis itu agar mengarah ke kantin.

"Gak boleh ke perpustakaan sebelum isi perut, okay? Makan bareng kita aja. Yuk, Bis!" Morgan mendorong Aelke agar mengikutinya dan Bisma mengikuti mereka dari belakang.


***


Aelke senang menghabiskan waktu istirahatnya mendengar berbagai macam lelucon yang ke luar dari mulut Bisma dan Morgan. Mereka seperti sepasang badut yang benar-benar lucu dan selalu menggelitik perut.

"...loe inget waktu loe dihukum gara-gara ketiduran di kelas waktu ulangan pas kelas satu?" Tanya Bisma kepada Morgan yang tengah mengunyah kerupuk.

"Nah, itu salah satu hukuman terindah yang pernah gue jalanin. Gue disuruh olahraga di jam dua belas siang." Jawab Morgan mengerucutkan bibirnya.

"Hukumannya apa?" Tanya Aelke penasaran.

"Lari di lapangan sambil teriak 'saya tidak akan ketiduran lagi' selama lima kali." Jawab Morgan. Aelke dan Bisma tertawa.


Tak lama kemudian, tiba-tiba saja Karina datang bersama beberapa temannya. Morgan, Bisma dan Aelke menatap kedatangan cewek menyebalkan itu dengan bingung.

"Loe ngapain lagi ke sini? Bukannya beberapa hari lalu, gue udah peringatin loe?" Tanya Morgan santai. Karina tersenyum kepada Morgan dan menggelengkan kepalanya. "Aku gak mau macem-macem sekarang, Gan. Aku cuma mau ngucapin selamat sama Aelke." Karina beralih kepada Aelke.

"Selamat, ya, Ke. Loe menang atas taruhan kita." Ujar Karina.

Aelke mengangkat sebelah alisnya. "Taruhan apa? Kita gak pernah taruhan."

"Lupa, ya? Kamu sama Candy kan taruhan sama anak cheerleader. Kita harus dekati Morgan. Kamu dan Candy berhasil. So, itu artinya kita kalah dan karena gak ada Candy, kamu-lah yang akan kasih ke kita perintah. Kita akan nurut, sesuai perjanjian." Karina menjelaskan. Aelke meneguk ludahnya sendiri. Sial. Apakah taruhan lama itu masih berlaku?

Aelke menoleh kepada Morgan yang memasang raut tak terbaca. Tak lama kemudian, Morgan bangkit berdiri dan hendak melangkah pergi namun, Aelke menahannya.

"Gan, kamu mau ke mana?" Tanya Aelke ragu-ragu.

Dengan sinis Morgan menjawab, "menjauh dari orang-orang bodoh dan munafik." Setelah itu, Morgan melongos pergi begitu saja. Meninggalkan Aelke yang mulai dikepung oleh tim cheerleader.

Morgan pasti sangat marah padanya.


***


Pulang sekolah, Aelke menunggu Morgan di depan perpustakaan. Biasanya, Morgan pasti akan melewati jalan ini jika hendak pulang. Benar saja, beberapa menit kemudian, Morgan datang bersama dengan Bisma.

"Morgan!"

Aelke memanggil Morgan yang berjalan melewatinya seakan-akan dia tidak nampak. Aelke tak habis pikir, dia segera berjalan cepat mengimbangi langkah Morgan dan menarik lengan cowok tampan itu.

"Gan, tunggu dulu! Aku mau jelasin yang dikatakan Karina tadi." Ujar Aelke saat Morgan dengan terpaksa berhenti. Bisma melirik Morgan sekilas sebelum berkata, "gue duluan, Gan." Morgan menganggukkan kepalanya kepada Bisma.

Setelah Bisma pergi, Morgan beralih kepada Aelke. Morgan menatap Aelke dingin.

"Mau jelasin apa?" Tanya Morgan datar.

"Yang taruhan itu. Please, jangan marah. Aku..." Belum sempat Aelke melanjutkan, Morgan sudah memotongnya. "Gue benci pembohong dan loe udah bohong ke gue. Gue benci dibohongin dan dijadiin objek taruhan murahan loe itu!"

"Ma-maaf, Gan. Itu terpaksa." Aelke membela diri.

"Gue gak peduli itu terpaksa atau enggak. Seharusnya loe pikir panjang sebelum setuju sama taruhan macem itu. Loe bahkan gak pernah mikir ke depannya, kan?" Morgan benar-benar marah saat ini. Aelke menggigit bibir bawahnya gugup. Aelke sebenarnya tidak pernah menyetujui taruhan itu, Candy yang menyetujuinya.

"Udahlah. Loe sama Candy sama aja. Sama-sama munafik. Gue nyesel kenal dan suka sama loe."

Kalimat itu sangat menusuk relung hati Aelke.

Morgan melangkah pergi dengan cepat meninggalkan Aelke seorang diri di sana yang benar-benar merasa bersalah.


***


Bulan demi bulan berlalu dengan cepat. Aelke melalui bulan-bulan di sekolah dengan sangat berat. Dia benar-benar merasa sendiri dan merasa bersalah. Sangat banyak kesalahan tak sengaja yang dia buat.

Dia punya salah pada Candy. Lebih tepatnya karena dia dekat dengan Morgan tanpa sepengetahuan Candy walaupun, Aelke tau kedekatannya dengan Morgan berjalan dengan sendirinya. Aelke bahkan tidak pernah menyangka dulu dia bisa sangat dekat dengan Morgan.

Lalu, salah pada Morgan. Salah paham, sebenarnya. Aelke tidak pernah bermaksud membuat Morgan marah padanya karena taruhan itu. Taruhan itu terjadi karena Karina mengancam dia dan Candy beberapa bulan lalu.

Morgan marah sampai sekarang.

Sampai detik ini, Morgan belum pernah menyapa Aelke. Jangankan menyapa, menatap saja, sepertinya dia sungkan.

Ini akan menjadi hari terakhir Morgan dan anak kelas 12 lainnya belajar benar-benar di sekolah. Senin besok, mereka akan mengikuti Ujian Nasional yang akan menentukan kelulusan mereka. Di hari terakhir ini, Aelke bahkan tak tau harus melakukan apa. Dia benar-benar merasa takut. Dia takut kehilangan Morgan.

Aelke sudah mati-matian berusaha meminta maaf hingga sekarang tapi, tak ada respon sama sekali. Morgan sering sekali tidak masuk dengan alasan tak jelas. Sekalinya masuk, dia juga selalu menghindar. Dia senang bersembunyi.

Aelke menatap siswa-siswa yang lalu lalang di depan kelasnya. Karena Senin besok Ujian Nasional, Jumat ini, semua kelas tidak belajar melainkan membersihkan kelas. Aelke kebagian membersihkan mejanya saja karena dia tidak piket.

Setelah selesai membersihkan meja, Aelke berjalan ke luar dari kelas. Dia berdiri di depan kelas seraya menatap ke kanan dan kiri, mencari seseorang yang bisa menemaninya. Tapi, bukankah dia tidak punya teman?

Hingga akhirnya, Aelke memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Dia tidak peduli jika nanti wali kelas akan menghukumnya karena tidak membantu yang lain. Justru, menurut Aelke, lebih baik dia dihukum daripada harus membantu teman-temannya di kelas. Teman-teman yang seringkali tidak menganggapnya ada.

"Aelke!"

Aelke berbalik, mendapati Rafael yang berjalan ke arahnya.

"Mau ke mana?" Tanya Rafael sesampainya di hadapan Aelke.

"Perpustakaan." Jawab Aelke.

"Gak ikut bersih-bersih kelas?" Tanya Rafael lagi. Aelke menggelengkan kepala dan tersenyum tipis. "Gak, ah, Kak. Makasih." Rafael terkekeh singkat. Kemudian, keduanya diam selama beberapa saat sebelum Rafael kembali angkat bicara.

"Oh, iya, tentang Alyssa. Ehm, sebenernya aku udah nembak dia." Aelke membulatkan mata mendengar ucapan Rafael. "Hah? Kapan? Kok, bisa? Terus gimana?" Tanya Aelke. Rafael tersenyum tipis. "Ditolak, Ke. Katanya aku terlalu muda buat dia. Padahal, cuma beda satu tahun."

"Sabar, ya, Kak. Masih banyak, kok, yang jauh lebih baik dari Alyssa, yang mungkin ditakdirkan buat kamu." Aelke menepuk bahu Rafael. Rafael menghela nafas sebelum tersenyum.

"Ya, semoga."


Selang beberapa detik, terlihat beberapa siswa yang tengah berlarian. Ada Morgan di antara siswa-siswa itu. Morgan, Bisma dan beberapa siswa. Sepertinya, Morgan berbuat ulah sehingga yang lain mengejarnya membawa ember, sapu dan segala macam alat kebersihan.

Saat Morgan melihat Aelke dan Rafael, dia malah berlari mendekat dan berlindung di belakang Aelke dan Rafael.

"Raf, Ke, bantuin gue!" Ujar Morgan dengan segera.

Teman-temannya Morgan itu berhenti di hadapan Aelke dan Rafael. "Maaf, ya, kita mau hukum dia." Ujar salah satu anak yang membawa ember.

"Emang dia salah apa?" Tanya Rafael heran.

"Dia bukannya bantu bersih-bersih kelas malah ngeberantakin." Jawab Bisma seraya menatap Morgan kesal.

"Sorry, deh, ya. Tapi, Morgan dipanggil kepala sekolah. Makanya, dia harus ke sana." Rafael berbohong.

"Tapi, Morgan..."

"Udah, Gan. Ayo!" Rafael merangkul Morgan dan Aelke lalu, mereka berjalan menghindari kemurkaan teman-teman sekelas Morgan.


***


"...gak sengaja, terus tumpah airnya di meja Bisma dan kena handphone-nya." Morgan bercerita kepada Rafael dan Aelke seraya memakan siomay yang dibelinya tadi.

"Loe jail banget lagian. Ngerjain sampe segitunya." Komentar Rafael.

"Ya, gak apa-apalah. Hari terakhir seneng-seneng di sekolah ini. Abis UN, gue langsung ikut test dan nyusul orang tua gue." Ujar Morgan yang sedikit membuat Aelke tersentak. Haruskah secepat itu? Maksudnya, Morgan bahkan baru saja berbicara lagi dengannya setelah beberapa bulan lalu.

Morgan belum menghabiskan makannya saat tiba-tiba saja dia memejamkan mata sesaat dan meletakkan makanannya begitu saja. Dia kembali membuka mata dan menarik nafas. Dia menghela nafas perlahan.

"Ehm, soal Alyssa. Gue minta maaf, Raf. Tapi, Alyssa udah punya pacar di sana. Makanya, gue kurang suka loe deket sama kakak gue. Gue gak mau loe patah hati." Ujar Morgan kepada Rafael. Rafael tersenyum.

"Loe, Ke. Gue udah lupain semuanya, kok. Ehm, doain, ya, semoga semuanya lancar." Aelke menganggukkan kepalanya. Morgan tersenyum sebelum bangkit berdiri.

"Gue duluan, ya. Thanks atas bantuan kalian."  


RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang