Aelke menghela nafas panjang sesampainya dia tepat di depan pintu ruangan Morgan. Aelke mengetuk pintu itu namun, Morgan tak kunjung membukanya. Dengan keberanian, Aelke membuka pintu tersebut sendiri. Untung saja pintu ruangan Morgan itu tidak di kunci.
Aelke berjalan memasuki ruangan Morgan dan melihat ke kiri-kanannya. Akhirnya, Aelke berhasil mendapati Morgan yang tengah berbaring di salah satu sofa panjang dengan mata terpejam.
Secara perlahan, Aelke berjalan mendekat. Aelke menggerakkan tangannya hendak membangunkan Morgan tapi, tiba-tiba saja dia tidak tega. Aelke menatap wajah polos Morgan yang tertidur. Benar-benar tenang, tanpa beban pikiran sama sekali.
Morgan sempat mengerang sedikit dan bergerak. Aelke semakin ketakutan, Aelke takut Morgan marah karena dia mengganggu waktu istirahat Morgan. Aelke berbalik dan hendak bergerak menjauh namun, sebuah suara membuat Aelke menghentikan langkah kakinya.
"Tunggu."
Aelke berbalik dan sudah mendapati Morgan yang duduk di sofa seraya memegangi kepalanya. Morgan memejamkan mata, seperti kesakitan sebelum menarik nafas panjang dan menghembuskanya. Morgan mendongakkan kepala dan membuka matanya.
"Hari ini tidak ada meeting atau pertemuan apapun." Ujar Morgan. Aelke menunduk dan menganggukkan kepalanya.
"Kamu temani saya ke rumah sakit, hari ini." Morgan kembali memberi intruksi. Aelke mengganggukkan kepalanya. Tunggu. Rumah sakit? Dalam rangka apa?
"Saya harus check up ke dokter setiap satu bulan sekali." Morgan seakan menjawab pertanyaan yang terlintas di dalam pikiran Aelke. Aelke mengangkat sebelah alisnya. "Check up?" Tanya Aelke heran.
Morgan tersenyum kecil. "Saya memang harus ke rumah sakit, setiap sebulan sekali. Untuk memeriksa keadaan saya, lebih tepatnya keadaan kepala saya. Ada kesalahan di sana." Aelke menahan nafas. Ternyata benar, Morgan memang amnesia.
Aelke menggigit bibir bawahnya. "Kenapa?"
"Kenapa apa?" Tanya Morgan mengangkat sebelah alisnya.
"Kenapa..ehm..apa yang menyebabkan ada kesalahan di kepala kamu?" Tanya Aelke ragu-ragu.
Morgan menghela nafas. "Well, saya tinggal di California selama beberapa tahun terakhir. Tepatnya, sekitar dua tahun yang lalu, saya mengalami kecelakaan yang menyebabkan kepala saya terluka karena terbentur dengan sangat keras."
"Kecelakaan?"
Morgan tersenyum geli berusaha mengingat kecelakaan itu. "Kamu tau? Di California, selalu ada balapan liar setiap malam Jumat dan saya mengikuti balapan liar tersebut hingga akhirnya, mobil yang saya kendarai menabrak pembatas jalan dan berjalan tanpa kendali sampai menabrak sebuah pohon besar."
Aelke terdiam mendengar cerita Morgan tersebut sebelum tersenyum tipis dan berkata, "ehm, saya turut berduka atas kecelakaan itu." Morgan balas tersenyum kepadanya.
***
Aelke dan Morgan melangkah memasuki rumah sakit tempat biasa Morgan melakukan check up. Baru beberapa langkah memasuki ruangan, langkah mereka berdua terhenti saat berpapasan dengan seorang suster di sana.
"Aelke? Morgan?"
Morgan mengernyitkan dahinya melihat suster tersebut sementara Aelke berusaha mengingat siapa yang berada di hadapannya ini. Aelke berusaha terus mengingat sebelum akhirnya dia benar-benar mengingat.
"Christy?"
Christy tersenyum dan berhambur memeluk Aelke, begitupun Aelke yang balik memeluknya. Morgan hanya menatap kedua gadis itu dengan bingung. Morgan tidak mengingat Christy, tentunya.
"Aku gak nyangka, kalian berdua langgeng sampai sekarang." Christy berujar sebelum melepaskan pelukannya. Aelke diam, astaga, langgeng apanya? Morgan bahkan tidak mengingat siapa dia sekarang.
Morgan tampak tak mengerti maksud kalimat yang diucapkan Christy. Langgeng? Bersama Aelke? Apa maksudnya?
"Aku heran, kenapa seorang playboy cap kakap waktu SMA semacem Morgan bisa bertahan sama Aelke di cewek pendiam dan misterius. Hebatnya, katanya Morgan kuliah di luar negri, kan? Berarti kalian berdua LDR-an, dong? Kok bisa langgeng banget, ya?" Christy berujar antusias. Aelke semakin panik dibuat Christy. Sesekali Aelke melirik Morgan yang tampak berpikir keras.
"Ehm, Chris, sebenernya..." Aelke baru hendak menjelaskan kepada Christy namun, tiba-tiba saja seseorang memanggil nama gadis itu. Christy menoleh dan mendapati salah satu rekan kerjanya tengah memintanya untuk mendekat. Christy mengacungkan ibu jari dan menganggukkan kepalanya.
"Nanti lagi, ya, ngobrolnya. Aku mau tugas. Bye, Ke. Bye, Gan," Christy berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Morgan dan Aelke yang masih berada dalam kebisuan.
Setelah beberapa detik berada di sana, Aelke akhirnya melirik Morgan yang tampak tengah berdiam diri. Aelke menghela nafas. "Maaf, jadi check up, kan?" Tanya Aelke. Morgan tersadar dari lamunan panjangnya dan menganggukkan kepalanya.
Mereka berdua berjalan menuju ke elevator dan saat memasuki elevator yang pintunya sudah terbuka, Morgan sempat berkata dingin kepada Aelke.
"Kamu harus menjelaskan semuanya."
Aelke hanya bisa menahan nafas mendengar suara itu.
***
Morgan hanya diam menundukkan kepala saat Aelke menceritakan tentang hubungan mereka berdua saat SMA dulu. Aelke baru saja selesai bercerita, dengan nada bergetar. Entah kenapa, Aelke ragu dengan ceritanya sendiri. Percuma dia bercerita, toh, Morgan tak akan mengingatnya lagi.
"Apa kamu punya bukti yang nyata tentang hubungan kita dulu?" Tanya Morgan tiba-tiba. Aelke diam. Buktinya sudah dibakar semalam. Berupa jurnal itu. Lagipula, dengan adanya bukti, apakah Morgan akan mengingatnya? Tentu saja tidak.
Aelke menggelengkan kepalanya. "Aku gak punya bukti apapun. Kenapa kamu gak cari tau sendiri?" Aelke balik bertanya, sedikit menantang walaupun, dia tau tidak seharusnya dia menantang Morgan seperti ini.
Morgan tersenyum sinis. "Mereka gak akan biarkan saya membuka barang-barang masa lalu." Ujar Morgan.
"Mereka?"
"Dokter, orang tua, kakak, keluarga, semuanya. Mereka selalu berusaha menyembunyikan masa lalu saya. Mereka bilang, ini yang terbaik." Kata Morgan. Aelke menghela nafas dan tersenyum sedih. "Ya, mungkin itu yang terbaik."
Morgan tersenyum kecil dan berkata tulus, "maaf atas segalanya."
"Gak ada yang salah dan harus di maafkan." Balas Aelke.
"Tapi, saya menyakiti kamu?" Senyum di wajah Morgan lenyap seketika. Aelke tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Gak. Gak sama sekali. Gak usah cemas. Sebelumnya, kita emang gak pernah sama-sama dalam sebuah hubungan yang jelas jadi, well, gak ada masalah sama sekali."
"Kamu harus cari cowok lain, yang dapat memberikan kepastian tentang hubungan kalian." Morgan menekankan. Aelke tersenyum kecil.
Mana mungkin bisa di saat di hati aku sudah terpahat secara sempurna nama kamu, batin Aelke.
Hening di antara mereka berdua sampai akhirnya, handphone Morgan berdering. Morgan mengangkat panggilannya dengan cepat dan dia terlihat tersenyum manis. Mungkin yang menghubunginya adalah Olivia.
"..okay. Jangan lupa makan siang juga. See you tonight."
Kalimat itu adalah kalimat penutup percakapan telepon antara Morgan dan seorang gadis yang Aelke yakini adalah Olivia. Mungkin, Olivia akan menjadi gadis paling beruntung di dunia. Morgan akan melindunginya dengan segalanya yang dia punya.
Morgan akan menjadi pasangan yang paling diidam-idamkan wanita di dunia ini. Olivia sangat beruntung mendapatkannya.
***
Aelke baru saja tiba di rumahnya. Dia baru hendak pergi ke kamar dan menghabiskan waktu untuk beristirahat saat pintu rumahnya terketuk, beberapa menit setelah Aelke sampai di rumahnya.
Aelke membuka pintu rumahnya secara perlahan seraya melihat jam yang berada di dinding ruang tamunya. Sudah pukul tiga sore. Aelke sedang tidak dalam mood untuk melayani tamu sekarang. Tapi, Aelke tak bisa membiarkan tamu itu terlantar begitu saja.
"Hai, Ke."
Aelke tersenyum kecil mendapati sosok Rafael yang berada di hadapannya. "Hai, Raf. Masuk." Ujar Aelke singkat seraya berbalik dan duduk di sofa. Rafael mengikuti Aelke dan duduk tak jauh dari gadis itu.
"Kenapa?" Tanya Aelke tanpa basa-basi.
"Gak mau nyediain minum dulu?" Rafael balik bertanya seraya mengerucutkan bibirnya.
"Maaf, deh, Raf. Lagi gak mood buat minuman. Mending jawab pertanyaan aku langsung, terus abis itu kamu boleh pulang karena aku harus istirahat." Aelke berkata panjang lebar. Rafael terkekeh.
"Okay, okay. Sebenernya, aku ke sini cuma mau ngasih ini undangan titipan dari Ilham." Rafael meraih sebuah undangan dari saku jaketnya sebelum menyerahkan undangan itu kepada Aelke. Aelke meraih undangan itu dengan bingung.
"Undangan apa?" Tanya Aelke bingung.
"Undangan pertunangannya dia sama salah satu cewek. Namanya Clarissa." Jawab Rafael.
"Oh." Aelke hanya merespon singkat seraya meletakkan undangan itu di atas meja. Rafael menyadari perubahan mood Aelke.
"Kamu kenapa, Ke? Keliatannya bad mood banget."
"Udah tau aku bad mood, mending kamu pulang sana!" Aelke mengusir Rafael tanpa rasa bersalah sedikitpun. Lagipula, Rafael mana mungkin marah hanya karena Aelke mengusirnya. Rafael sudah mengenal Aelke dengan sangat baik.
"Iya, iya. Aku juga mau pulang." Rafael bangkit berdiri. Aelke tersenyum dan ikut bangkit berdiri, mengantarkan Rafael sampai di depan pintu rumahnya.
"Ah, ya, satu lagi, Ke." Ujar Rafael sebelum benar-benar pergi. Aelke mengangkat sebelah alisnya. "Apa lagi?"
"Kemaren aku liat Candy di salah satu pusat perbelanjaan."