Aelke tak tau apakah akan ada hari yang jauh lebih indah dari hari kemarin. Sungguh, Aelke tak habis pikir Morgan bisa berkata seperti itu kepadanya walaupun, Aelke masih kurang yakin.
Maksudnya, bagaimana bisa seorang Morgan yang notabene adalah siswa paling diinginkan para siswi di sekolah, menyukainya? Menyukai seorang cewek pendiam, kurang pergaulan dan lebih sering menyendiri daripada bergabung bersama gerombolan siswi-siswi yang senang menggosip.
Aelke belum pernah mengatakan kalimat ini sebelumnya tapi, sungguh, saat ini hatinya ingin berteriak jika dia membenci hari libur. Padahal hari ini hari Selasa. Sekolah meliburkan para siswa karena akan ada rapat menjelang ujian nasional.
Ujian nasional. Mendengar dua kata itu, Aelke langsung membayangkan kepergian Morgan ke luar negri untuk kuliah di sana. Itu artinya, Aelke akan menghabiskan banyak waktu untuk tidak bertemu dengan Morgan. Bahkan, mungkin untuk selamanya dia tidak akan bertemu dengan Morgan lagi.
Aelke menghela nafas. Kenapa di saat dia sudah benar-benar jatuh cinta tapi, cinta itu harus pergi dari hadapannya?
Aelke masih membayangkan semua itu hingga pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang. Oleh salah satu pelayan di rumah, pastinya. Ayah Aelke masih belum pulang dari dinas luar kota-nya. Kemungkinan besar, dia pulang minggu depan. Aelke juga tak tau kenapa ayahnya mau kerja di luar kota untuk waktu selama itu.
Aelke membukakan pintu kamarnya, mendapati pelayannya itu menundukkan kepala, memberi penghormatan. "Maaf, Non Aelke. Di ruang tamu, ada yang menunggu, Non Aelke." Ujar pelayan itu sopan. Aelke tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Ya, udah, Bi. Makasih, ya."
Aelke menutup pintu kamar dan berjalan menjauhi kamarnya, menuruni tangga hingga langkah kakinya terhenti melihat Morgan yang duduk di sofanya. Aelke tersenyum tipis sebelum memperhatikan Morgan yang tengah memainkan handphone-nya.
"Hai."
Morgan menoleh mendengar sapaan Aelke tersebut. Morgan mematikan handphone-nya dan memasukkannya ke dalam saku jaket sebelum tersenyum kepada Aelke.
"Hai, Ke. Pagi."
"Ngapain ke sini?" Tanya Aelke seraya duduk di sisi kosong sofa di samping Morgan.
"Liburan." Jawab Morgan santai. Aelke mengangkat sebelah alisnya bingung. "Liburan? Kamu pikir rumah aku tempat wisata?" Aelke berdecak. Morgan terkekeh.
"Bukan begitu. Maksudnya, aku mau ajak kamu liburan. Walau, liburannya cuma sehari." Morgan mengerling. Aelke terkekeh.
"Mau ke mana?" Tanya Aelke penasaran.
Morgan menggelengkan kepalanya. "Gak tau. Yang penting gak di rumah."
"Aku gak mau pergi kalo tujuannya gak jelas." Aelke melipat tangan di depan dada dan memasang wajah serius.
Morgan berpikir sejenak sebelum bertanya, "keliling Jakarta?"
"Sehari doang keliling Jakarta mana cukup,"
"Ya, enggak sehari doang. Mungkin, kita bisa buat jurnal tersendiri buat perjalanan kita keliling Jakarta." Morgan mengernyitkan dahinya.
"Kita?" Aelke mengangkat sebelah alisnya.
"Kamu," Morgan mengarahkan jari telunjuk kanannya ke Aelke kemudian, mengarahkan jari telunjuknya ke dirinya sendiri, "dan aku."
Mereka saling tatap beberapa saat sebelum tertawa.
***
Morgan baru saja selesai mengantri tiket untuk masuk ke dalam Sea World. Morgan segera menghampiri Aelke yang menunggunya di depan pintu masuk.
"Udah dapet tiketnya?" Tanya Aelke. Morgan menganggukkan kepala seraya menunjukkan tiket yang sudah dia dapatkan.
"Ya, udah, yuk langsung masuk!" Ajak Aelke. Morgan menggelengkan kepalanya. "Aku punya sesuatu. Tapi, di mobil. Tunggu di sini sebentar, ya." Perintah Morgan sebelum berlari menuju ke mobilnya. Aelke menatap kepergian Morgan dengan bingung.
Aelke menunggu selama beberapa menit sebelum akhirnya, Morgan kembali datang membawa sebuah buku?
Morgan menyerahkan buku tersebut kepada Aelke. Sebuah buku dengan sampul yang sepertinya terbuat dari kain lembut berwarna cokelat. Ada juga sebuah tulisan di sana, dengan tinta berwarna merah: 'Ada Pelangi Setelah Hujan'. Di bawahnya lagi, ada tulisan dengan tinta berwarna hitam: 'Journey to Happiness'.
Aelke mengangkat sebelah alisnya bingung. "Maksudnya apa?" Tanya Aelke.
"Buat kamu." Jawab Morgan.
"Dalam rangka apa?" Tanya Aelke.
"Dalam rangka perjalanan menuju ke pelangi yang melambangkan kebahagiaan. Aku ngasih buku itu ke kamu biar kamu bisa isi beberapa moment kebahagiaan yang udah kamu alami. Mulai dari hari ini." Morgan menjelaskan. Aelke tersenyum kecil. "Nanti, saat kita ketemu lagi setelah lamanya kita berpisah, kita bisa tukaran jurnal, kan? Aku juga punya jurnal yang sama."
Aelke benar-benar tak bisa melenyapkan senyuman di wajahnya. Kenapa Morgan bisa semanis ini?
Belum masuk ke dalam Sea World, tiba-tiba saja Morgan menghentikan seseorang. Morgan meminta bantuan kepada orang itu untuk memotret dia dan Aelke dengan handphone-nya. Aelke mengernyit. Apakah Morgan termasuk cowok narsis?
Morgan dan Aelke berdiri berdampingan dengan latar belakang gedung Sea World. Untuk pose pertama, mereka hanya berdiri berdekatan sambil tersenyum lalu, pose kedua, Morgan merangkul Aelke dengan tangan kanannya. Keduanya saling tersenyum seraya mengangkat dua jari membentuk huruf 'V'.
"Makasih, ya, Mas." Ujar Morgan kepada orang itu yang tersenyum dan menganggukkan kepala seraya menyodorkan kembali handphone Morgan. Morgan meraih handphone-nya dan melihat hasil foto orang asing tersebut.
"Bagus, nih." Komentar Morgan seraya memperlihatkan hasil foto itu kepada Aelke. Aelke menganggukkan kepala setuju. "Kenapa harus foto? Mau upload di sosial media?" Tanya Aelke. Morgan tertawa kecil. "Gak, lah, Ke. Fotonya mau aku cetak dan aku tempel di jurnal sebagai kebahagiaan pertama." Aelke terkekeh.
"Aku juga mau kalo begitu. Cetaknya dua, ya?"
***
Setelah bersenang-senang di Sea World sampai jam makan siang, Morgan mengajak Aelke makan. Masih di sekitar Ancol. Sepertinya, mereka akan menghabiskan seharian penuh ini di Ancol.
Morgan dan Aelke makan di salah satu restoran Jepang sambil mengobrol.
"Tim basket, kan, butuh kamu buat ikut tanding di final." Aelke memulai percakapan. Morgan memutar bola matanya. "Gak ada topik pembicaraan lain selain basket? Atau jangan-jangan, abis ini kamu mau nyambung-nyambung ke Rafael?" Morgan terlihat tidak suka.
Aelke mengerucutkan bibirnya. "Kata Rafael...," belum sempat Aelke melanjutkan ucapannya, Morgan sudah meletakkan jari telunjuk tangan kanannya di depan bibir Aelke. Matanya menatap Aelke tajam.
"Stop bicarain dia, okay?"
Aelke menganggukkan kepala pasrah. Morgan menjauhkan jari telunjuknya dari depan bibir Aelke sebelum melanjutkan makannya. Di sela-sela itu, Aelke kembali berkata, berpura-pura tak menyadari eksistensi Morgan.
"Kayaknya Rafael naksir sama kak Alyssa."
Morgan berhenti makan dan mengangkat sebelah alisnya. "Suka Alyssa? Rafael?" Tanya Morgan.
"Katanya gak mau ngomongin Rafael." Sindir Aelke seraya meneruskan makan. Morgan tidak meneruskan makan dan malah mendesak Aelke untuk bercerita. "Okay, okay. Maaf. Kasih tau! Penasaran, nih."
Aelke terkekeh. "Iya, iya. Sabar, dong. Mau mulai dari mana?"
"Dari hubungan kamu sama Rafael." Morgan melipat tangan di depan dada.
"Aku temenan sama Rafael. Rafael suka sama Candy dulunya dan dia minta pendapat aku tentang Candy. Kita berdua pernah nyusulin Candy ke Bandung tapi, kita diusir makanya, Rafael pun beralih." Aelke menjelaskan.
Morgan tampak menatapnya masih tak mengerti.
"Jadi, waktu Alyssa ke sekolah, Rafael udah mulai tertarik sama Alyssa buat ngobatin rasa sakit hatinya dari Candy. Dia minta nomor Alyssa ke aku ya, aku kasih." Aelke menambahkan.
"Kenapa dikasih nomor Alyssa-nya?" Tanya Morgan dengan nada sangat dingin.
"Ya, emangnya kenapa?" Aelke balas bertanya.
"Kamu bilang, Rafael baru dapat perlakuan kurang baik dari Candy terus sekali dia ngeliat Alyssa, dia langsung naksir. Kamu gak pernah selidiki sebelumnya? Apakah Rafael serius sama Alyssa atau cuma pelampiasan semata?"
"Kenapa kamu mikir kayak gitu tentang Rafael? Rafael gak seburuk itu. Rafael gak akan pernah mainin perasaan cewek." Ujar Aelke membela Rafael. Morgan menghela nafas lalu, kembali meraih sendok makannya. "Okay. Alihkan pembicaraan."
Aelke ikut menghela nafas dan ikut menghabiskan makanannya pula. Sepertinya, jika pembicaraan tadi dilanjutkan, akan terjadi perang dunia ketiga antara Aelke yang membela Rafael dan Morgan yang sangat peduli dengan kakaknya, Alyssa.
***
Sehabis makan siang, Morgan kembali mengajak Aelke untuk bermain di Dunia Fantasi. Morgan mempersilahkan Aelke untuk memilih wahana-wahana mana yang akan mereka kunjungi.
"Bianglala dulu, ya?" Tanya Aelke. Morgan menganggukkan kepalanya. Mereka segera menuju ke tempat di mana wahana tersebut berada. Sebelum menaiki wahana, mereka berdua menyempatkan foto bersama dengan badut di sana.
Morgan dan Aelke menaiki bianglala. Memandang daerah sekitar dari ketinggian, sesekali merasakan angin yang berhembus menggelitik kulit mereka.
"Habis ini ke mana?" Tanya Aelke membuka percakapan.
"Halilintar." Jawab Morgan santai.
"Hah? Enggak, deh. Aku gak ikut kalo naik halilintar." Aelke menolak. Morgan menatap Aelke santai. "Sorry. Kamu harus ikut."
"Tapi, aku takut ketinggian."
Morgan tertawa sebelum menggerakkan tangannya untuk mengacak-acak rambut Aelke. Aelke segera menepis tangan Morgan. "Apaan, sih?!"
"Lagian bohong. Bilang takut ketinggian tapi, gak sadar kita lagi di mana." Aelke nyengir lebar. Ah, ya. Bagaimana bisa dia lupa jika dia tengah berada di ketinggian puluhan meter.
Ke luar dari Bianglala, Morgan segera menarik tangan Aelke menuju ke halilintar. Setelah mengantri, akhirnya mereka mendapat giliran. Mereka duduk berdampingan. Morgan yang terlihat bersemangat melirik ke arah Aelke yang mulai pucat.
"Kenapa, sih? Gak usah pucet gitu. Kan, seru." Ujar Morgan.
"Seru apaan? Bikin jantung copot entar!" Aelke mengomel. Morgan terkekeh.
Di saat Aelke sudah benar-benar panik karena sebentar lagi halilintar mulai berjalan, Morgan meraih tangan Aelke dan mengelus punggung tangannya lembut. Morgan menatap Aelke dan Aelke balas menatapnya panik.
"Pegang tangan aku. Semuanya pasti bisa kita lalui. Gak akan terjadi apapun. Percaya, deh, sama Morgan." Morgan tersenyum lebar. Aelke balas tersenyum tipis.
Tak lama kemudian, halilintar tersebut mulai bergerak.