Aelke tidak tidur semalaman karena memikirkan Candy. Candy juga sama sekali tak membalas pesan darinya. Dia sepertinya tengah sangat patah hati karena Morgan. Aelke hanya takut Candy akan nekat.
Keesokan paginya di sekolah, kecemasan Aelke terhadap Candy semakin menjadi-jadi. Candy tidak masuk sekolah. Tanpa keterangan. Saat Aelke kembali mencoba menghubunginya, dia pun tak membalas.
Sebegitu besarkah pengaruh Morgan di hidup Candy?
Setelah mengikuti jam-jam pelajaran awal dengan tak fokus, akhirnya bel istirahat berbunyi. Aelke mau pergi ke kantin tapi, karena dia tidak punya teman (selain Candy), Aelke lebih memilih pergi mengurung diri di perpustakaan daripada harus berdesak-desakan di kantin.
Aelke duduk di salah satu kursi perpustakaan dengan sebuah novel yang baru dia ambil acak. Baru hendak membaca halaman pertama, sebuah suara sudah membuat Aelke berbalik dan mengurungkan niatnya untuk membaca novel.
"Hai. Ganggu, ya?"
Aelke menggelengkan kepala dan tersenyum tipis. "Enggak, Kak. Sama sekali enggak." Jawab Aelke. Well, yang baru saja datang dan menghampiri Aelke adalah Rafael. Si mantan ketua OSIS. Beberapa minggu yang lalu, Rafael resmi digantikan oleh Morgan.
"Aku mau ngomong sebentar, boleh?" Tanya Rafael. Dia terlihat sangat sopan dan lembut kepada wanita. Aelke menganggukkan kepalanya. Membiarkan Rafael menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Aelke.
Rafael menghela nafas. "Sebenernya, ini bukan masalah apa-apa, sih. Ini masalah perasaan. Ehm, kamu sahabatnya Candy, kan?" Tanya Rafael. Aelke diam dan tiba-tiba saja dia mengingat suatu kejadian di mana Aelke memergoki Rafael yang tengah memperhatikan Candy. Lebih dari dua kali.
"Kakak suka sama Candy?" Tanya Aelke tanpa basa-basi. Rafael tercekat dan terlihat sangat terkejut saat Aelke mengetahui maksudnya.
"Kok kamu tau?" Tanya Rafael heran.
Aelke terkekeh kecil. "Aku pernah mergokin kakak ngeliatin Candy tanpa kedip di kantin." Jawab Aelke. Rafael menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal.
"Sejujurnya, iya, sih. Tapi, kayaknya dia gak suka sama aku. Dia lebih suka sama cowok kayak Morgan, kan?" Tanya Rafael. Aelke mengedikkan bahunya. "Aku gak tau tipe-nya Candy kayak gimana. Dia itu percaya 'cinta pada pandangan pertama'. Jadi, dia dari awal emang suka sama Morgan dan dia akan berjuang buat ngedapetin Morgan."
"Morgan gak pernah tulus suka sama Candy." Rafael menundukkan kepala singkat dan menegakkannya kembali.
"Gimana kakak bisa tau kalo Morgan gak tulus sama Candy?" Tanya Aelke.
"Aku udah kenal satu tahun dengan Morgan. Kita sering satu tim basket dan kita sering hang out bareng. Kalo Morgan jatuh cinta, dia gak akan segan-segan nunjukin ke dunia tentang hubungannya. Sedangkan waktu sama Candy? Candy-lah yang terlihat jelas-jelas ngejar Morgan dan Morgan beberapa kali menghindar." Jawab Rafael. Aelke memejamkan mata singkat. Dia merasa bersalah sekarang. Tidak seharusnya waktu itu dia berkata tentang perasaan Candy kepada Morgan.
"Morgan ambil kelas akselerasi tadi. Dia bicara dan di test langsung oleh kepala sekolah. Kemungkinan besar, dia akan lulus SMA tahun ini juga." Aelke mengangkat sebelah alisnya mendengar ucapan Rafael.
"Serius?" Aelke bertanya tak percaya.
Rafael menganggukkan kepalanya. "Sebenarnya, dari dulu Morgan memang masuk kelas akselerasi tapi, dia gak mau. Dia bilang, dia mau sekolah normal dan nikmatin lebih banyak waktu di Indonesia."
"Maksudnya?"
"Kalo dia lulus nanti, dia langsung pindah ke Amerika. Kuliah dan tinggal di sana." Rafael tersenyum tipis.
***
Untuk kesekian kalinya, Aelke harus telat pulang dari sekolah karena harus menyelesaikan tugas rumahnya. Aelke paling malas pulang ke rumah dan mengerjakan tugas di rumah. Biasanya, Aelke tidak akan fokus.
Aelke ke luar dari perpustakaan dan langsung mendapati Morgan yang tengah berbicara empat mata dengan Rafael di depan pintu perpustakaan. Namun, menyadari keberadaan Aelke, kedua cowok itu berbalik. Rafael tersenyum sedangkan, Morgan hanya diam saja.
"Pulang bareng aku, Ke?" Tanya Rafael. Aelke menganggukkan kepala tanpa pikir panjang.
Kemudian, Rafael dan Aelke berlalu begitu saja, meninggalkan Morgan yang masih berdiri di sana. Tanpa ekspresi apapun.
"Kakak ngomong apa sama Morgan?" Tanya Aelke penasaran di sela-sela langkah kakinya. Rafael menggelengkan kepala. "Bukan pembicaraan penting. Yang penting sekarang, kamu mau, kan, anterin aku ke rumah Candy?" Aelke menganggukkan kepalanya.
Aelke menunjukkan jalan menuju ke rumah Candy kepada Rafael. Sesampainya di depan gerbang, kedua siswa SMA itu ke luar dari mobil dan segera berjalan menuju ke post satpam.
"Pak, Candy-nya udah pulang?" Tanya Aelke.
Satpam itu menggelengkan kepalanya. "Belum, Non. Katanya, sih, lagi cari ketenangan di daerah Bandung."
"Bandung? Tinggal sama siapa?" Tanya Rafael.
"Sama neneknya." Jawab satpam itu.
Rafael beralih menatap Aelke. "Kamu tau di mana rumah neneknya, Ke?" Tanya Rafael. Aelke menganggukkan kepalanya. "Tau, Kak. Aku sering main ke sana dulu. Kita mau ke sana?" Tanya Aelke. Rafael menganggukkan kepalanya. "Aku butuh bicara sama dia. Ya, kita harus ke sana. Tapi, jangan sekarang. Gimana kalo besok? Besok, kan, Sabtu. Aku bolos basket dulu."
"Okay."
***
Morgan membalikkan posisi berbaringnya ke kanan. Dia tidak bisa tidur. Dia sudah hampir lima belas kali berganti posisi tapi, tetap saja dia tidak bisa tidur. Perkataan Rafael tadi siang masih terlintas jelas di pikirannya.
"Kalo loe gak suka sama dia, jangan siksa dia dan diri loe sendiri dengan kebohongan. Loe seharusnya jujur dari awal kalo loe gak suka sama dia dan dia gak harus terluka kayak gini."
Morgan bangkit dan duduk di ranjangnya. Dia terlihat sangat stres dan depresi. Morgan merasa bersalah dan bertanggung jawab atas Candy walaupun, sejujurnya, Morgan tak melakukan apapun pada Candy.
Morgan meraih handphone-nya dan berusaha untuk menghubungi Candy tapi, Candy tak kunjung membalasnya. Morgan melihat jam yang tertera pada layar ponsel. Sudah jam sebelas malam. Apakah Candy masih terjaga di jam semalam ini?
Morgan kemudian menghubungi Rafael untuk menanyakan mengenai Candy. Rafael membalas dan mengatakan jika Candy sedang tidak berada di rumah dan Rafael akan menjemputnya besok.
Apakah Morgan harus menjemput Candy juga? Tapi, kenapa Morgan harus menjemput Candy?
Morgan bangkit dari ranjangnya. Cowok tampan itu meraih jaket dan mengenakannya. Kemudian, dia meraih kunci motor sebelum berjalan ke luar dari kamarnya.
Morgan ke luar dari rumah, menuju ke garasi dan mengeluarkan motornya. Tak lama kemudian, Morgan menaiki motor itu dan mengendarainya menjauhi area rumahnya. Entah ke mana, yang jelas, Morgan hanya ingin mencari udara segar. Di mana dia bisa melepaskan rasa bersalahnya dan semua beban pikirannya.
Morgan baru berjalan sekitar satu kilometer dari rumahnya saat secara tiba-tiba, motor yang Morgan kendarai menepi hingga secara tidak sengaja, motor itu menabrak pembatas jalan dan menyebabkan Morgan terlempar cukup jauh dari motornya tersebut ke trotoar yang sepi.
Mungkin, jika dia tidak mengenakan helm, dia sudah berada di rumah sakit karena gegar otak. Morgan mencoba bangkit berdiri dan menghampiri motornya kembali. Kepalanya tetap saja berdenyut dan mulai membuat pandangannya sedikit kabur.
Morgan menaiki kembali motornya dan melanjutkan perjalanan. Walaupun, kali ini, dia benar-benar harus waspada karena sesekali, rasanya dia tak sanggup untuk mengendarai motornya lagi.
***
Aelke masih juga belum tidur walaupun, jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul dua belas malam. Dia masih sibuk menulis di buku hariannya. Aelke memang masih mempunyai buku diari yang baru dia tulis sejak dia masuk SMA.
Aelke sedari tadi berpikir apa yang akan dia tulis sampai kalimat-kalimat pendeskripsian itu muncul dalam otaknya:
"Dia tampan, bertalenta dan punya daya pikat yang sangat baik. Kehampir sempurnaan dia membuatku berpikir ulang untuk memilikinya. Aku tidak cantik. Aku tidak punya telenta. Aku tidak punya daya pikat. Lantas, kenapa aku mengharapkannya? Mengharapkan seseorang yang sangat berbeda denganku.
Tunggu. Kenapa aku menulis ini? Kenapa aku memikirkannya di saat aku sendiri tidak tau bagaimana kabar sahabat baikku, Candy? Kenapa aku harus memikirkan seseorang yang membuat sahabat baikku bersedih?
Ya, mungkin itu salah satu peringatan. Dia saja menyakiti Candy. Dia membuat Candy bersedih. Jika aku mendapatkannya, dia punya banyak kemungkinan akan menyakitiku juga. Semua cowok itu sama. Sama-sama brengsek, pengecualian untuk ayah dan kakakku."
Aelke menyelesaikan tulisannya itu saat tiba-tiba saja handphone-nya bergetar. Aelke meraih handphone tersebut dan membulatkan mata membaca nama yang tertera di sana. Pesan masuk dari Candy.
From: Candy
Gue gak apa-apa. Gak usah khawatir. Kayaknya, gue mau ke luar dari SMA St. Petrus dan pindah ke Bandung. Nenek gue sendirian. Gak usah hubungin gue lagi.
Aelke menghela nafas. Tidak, neneknya pasti bukan salah satu alasan utama dia harus pindah sekolah. Alasan utamanya pasti Morgan. Aelke yakin itu.
To: Candy
Gue gak punya teman lain selain loe di sekolah, Can. Loe tega ninggalin gue?
Aelke menunggu cukup lama balasan dari Candy yang tak kunjung datang sampai akhirnya dia tertidur pulas dengan kepala terkulai di atas meja.
***
Keesokan harinya Aelke dan Rafael berjanji untuk bertemu di depan sekolah. Sekolah tampak ramai karena banyak anak yang mengikuti ekstrakurikuler di hari Sabtu ini.
"Hei, maaf, lama."
Aelke yang dari tadi diam mendapati Rafael yang baru saja ke luar dari dalam sekolah. Tampaknya, Rafael masih sempat mengikuti latihan basket walaupun, hanya beberapa puluh menit saja.
"Jadi berangkat?" Tanya Rafael. Aelke menganggukkan kepalanya.
"Ya, udah. Aku ambil mobil dulu, ya." Rafael kembali masuk ke dalam sekolah, tepatnya halaman parkir untuk menaiki mobilnya. Tak lama, mobil Rafael muncul di hadapan Aelke, bersamaan dengan mobil sport yang baru saja hendak masuk ke dalam sekolah. Aelke mengenal baik mobil itu. Mobil Morgan. Tapi, yang mengendarai mobil bukan Morgan. Dari kaca depannya, terlihat Morgan duduk di kursi belakang.
Rafael mengalah dan memundurkan mobilnya, membiarkan mobil Morgan masuk terlebih dahulu. Setelah mobil Morgan masuk, barulah Rafael mengeluarkan mobilnya dan menghentikan mobilnya di dekat Aelke.
Rafael membukakan pintu masuk dari dalam mobil untuk Aelke. Sebelum masuk ke dalam mobil, Aelke sempat melirik ke arah Morgan yang baru saja ke luar dari mobilnya. Morgan juga melirik singkat ke arahnya sebelum berlalu begitu saja.
Morgan bahkan terlihat lebih dingin daripada es batu sekalipun.