"Gimana PMR-nya? Seru?" Candy yang baru saja sampai di kelas dan duduk, langsung menanyakan hal itu kepada Aelke yang sudah berada di kelas sejak sepuluh menit lalu. Aelke memang selalu datang lebih awal daripada Candy.
"Lumayan," ujar Aelke santai sambil membolak-balik halaman majalah yang tengah dia baca. Candy melirik majalah tersebut sebelum menariknya begitu saja tanpa permisi.
"Mau liat yang bagian zodiak, dong." Ujar Candy.
Aelke menghela nafas. "Pelan-pelan kali, Can. Gue juga lagi baca kali."
"Iya-iya. Maap, deh, Sayang. Pinjem sebentar, ya, Aelke. Candy mau baca ramalan zodiaknya minggu ini." Candy memasang wajah sok manis sebelum membalik halaman majalah milik Aelke tersebut. Candy membaca bagian zodiak miliknya.
"Pisces. Cinta: ada seorang cowok yang diam-diam memperhatikan kamu. Berikan dia perhatian lebih dan gak lama kemudian, kamu dan dia pasti jadian." Candy tampak ceria membaca ramalan zodiak tersebut.
"Tuh, Ke! Kayaknya si M deh yang diam-diam merhatiin gue. Duh, cinta gue gak bertepuk sebelah tangan dong? Asyik. Bentar lagi, kita pasti jadian." Candy berujar senang. Aelke terkekeh sebelum mengangkat sebelah alisnya. "Jaman sekarang masih percaya ramalan?"
"Gue mah percaya, Ke. Asal ramalannya positif. Kalo ramalannya negatif, gue gak percaya." Candy terkekeh geli. "Oh, iya, zodiak loe apa, Ke? Ah, ya. Sagitarius, kan?" Candy bertanya sendiri dan menjawab sendiri. Aelke menganggukkan kepala seraya melipat tangan di depan dada.
"Sagitarius. Cinta: sudah saatnya kamu memperjuangkan cinta kamu. Jangan dipendam terus menerus. Gimana dia-nya mau peka kalo kamunya kayak gitu?" Candy sejenak bertatapan dengan Aelke. Tak lama, keduanya tertawa bersama.
"Gak peka. Dikiranya, gue putri malu kali yang sekali sentuh langsung peka terhadap rangsangan," ujar Aelke. Candy semakin tertawa terbahak-bahak. "Duh, Ke. Loe mah malah becanda. Bener juga, nih, sama ramalan ini. Loe harusnya berusaha buat show up, Baby." Candy memukul udara.
"Loe cantik, loe baik, loe pintar dan seharusnya, loe punya pacar. Loe harus punya pacar di SMA ini. Cepat atau lambat. Kalo loe gak punya pacar sampai kenaikan kelas nanti, gue gak mau temenan sama loe lagi." Candy mengerucutkan bibirnya seraya membuang muka. Aelke terkekeh.
"Terserah apa kata loe, deh, Can. Lagian, gue mau fokus sekolah. Gue gak mau pacaran dulu." Aelke merebut majalahnya dari Candy lalu, membalik halaman yang semula dia baca. "Buat apa juga pacaran kalo akhirnya juga sad ending? Entar putus, yang cowoknya mah biasa aja tapi, ceweknya yang galau berketerusan."
"Itu karena cewek adalah makhluk sensitif dan punya perasaan yang jauh lebih halus daripada cowok." Candy berujar sok bijak dan sukses membuat Aelke tertawa.
"Emang loe cewek, Can?"
"Sialan loe!" Candy memiting Aelke dan mengacak-acak rambut kecokelatan Aelke. Mereka berdua bercanda tawa bersama.
***
"Sstt. Sstt."
Bisma menoleh ke belakang, mendapati Morgan yang tengah memasang kode-kode yang dia tidak mengerti. Bagaimana bisa Morgan memberikan kode yang sulit seperti itu jika sekarang saja, Bisma sudah stres menghadapi kuis yang diadakan guru matematika mereka, Bu Martha.
"Kenapa?" Tanya Bisma setengah berbisik.
"Loe pura-pura sakit. Entar gue yang anter ke UKS. Gue males ngerjain ini soal. Terlalu gampang. Bosen." Jawab Morgan, sambil berbisik pula. Bisma menarik nafas. "Enggak, ah." Bisma menggelengkan kepalanya.
"Ayolah, Bis." Morgan yang duduk di belakang Bisma menarik-narik kerah seragam putih Bisma. Bisma mulai geram dan menoleh seraya berkata tegas dan keras, "apaan, sih?!"
Morgan dan Bisma sontak menjadi sorotan satu kelas. Bu Martha yang tengah menulis soal berhenti menulis. Guru wanita dengan tinggi yang sangat minimalis itu memicingkan mata belo-nya lalu, berdecak pinggang.
"Morgan! Bisma!" Bentaknya.
Morgan dan Bisma diam dan duduk tenang, berharap-harap cemas walaupun, yang paling cemas adalah Bisma. Bisma adalah orang yang paling cemas. Cemas karena tiap Morgan membuat ulah, pasti Bisma juga kena. Padahal yang salah Morgan, bukan Bisma. Sementara Morgan? Dia sudah terbiasa.
"Apa yang kalian berdua lakukan di kelas saya ini?" Tanya Bu Martha seraya berjalan mendekati Morgan dan Bisma. Bu Martha berhenti di dekat meja Bisma dan menatap Bisma tajam sedangkan, Morgan berusaha mati-matian menahan tawa. Bisma pasti mati kutu, itulah yang berada di dalam pikiran Morgan.
"Morgan Winata. Sudah berapa kali saya peringatkan kamu untuk mengikuti pelajaran saya dengan baik?" Bu Martha beralih kepada Morgan. Morgan menarik nafas dan lalu, berakting selayaknya orang sakit.
"Maaf, Bu. Saya minta Bisma antar saya ke UKS. Semalaman saya gak tidur karena ngurus nenek saya yang sakit, Bu. Orang tua saya ada dinas di luar kota. Cuma saya yang bisa ngurus nenek saya itu, Bu. Saya kecapekan."
Bu Martha sejenak luluh walaupun, belum sepenuhnya percaya pada ucapan Morgan. "Kamu mau mencoba membohongi saya?" Tanya Bu Martha.
Morgan merogoh sakunya dan dengan lesu mengeluarkan handphone-nya. Morgan meletakkan handphone-nya di atas meja seraya berkata, "kalo ibu gak percaya, silahkan telepon rumah saya."
Bu Martha akhirnya benar-benar melunak karena Morgan. Dia menghela nafas. "Baiklah. Untuk sekarang dan karena masih awal-awal sekolah, kamu saya maafkan. Lain kali, gak ada toleransi lagi." Bu Martha berbalik dan kembali menuliskan soal di papan tulis.
Bisma dengan cepat menoleh dan berbisik. "Seriusan loe jagain nenek loe?" Tanya Bisma. Morgan menganggukkan kepala. "Seriusan, lah. Nenek gue sakit parah, makanya gue jagain. Gue rawat."
"Terus yang jagain dia sekarang siapa?" Tanya Bisma lagi, berbisik.
"Dia gak perlu dijagain lagi, lah." Jawab Morgan santai.
"Maksudnya?"
"Nenek gue kan udah meninggal tiga tahun lalu dan sebelum dia meninggal, gue jagain dia, kok. Seriusan. Gue gak bohong." Bisma benar-benar harus berjuang menahan tawa mendengar jawaban Morgan itu.
***
Candy dan Aelke akhirnya mendapatkan pesanan mereka setelah mengantri cukup lama. Hanya siomay dan jus lemon. Kantin sekolah ini memang selalu ramai. Terkadang, ada juga orang dari luar yang sekedar mampir untuk membeli makanan di kantin ini.
"Mau makan di mana?" Tanya Aelke sambil membawa sebuah nampan dengan dua piring siomay di atasnya.
"Di mana aja, deh, yang bisa buat di tempatin." Jawab Candy seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Candy juga membawa sebuah nampan dengan dua gelas jus lemon di atasnya. Setelah beberapa detik mencari, Candy tersenyum lebar sebelum melangkahkan kakinya begitu saja. Aelke mengikuti dari belakang.
Dari kejauhan, akhirnya Aelke tau tempat mana yang Candy tuju. Ada sebuah meja kosong yang berada di belakang tempat Morgan dan kawan-kawannya mengobrol sambil memakan makanan mereka.
Candy segera duduk di sana, tepat di belakang Morgan sedangkan, Aelke duduk berhadapan dengan Candy.
"Gue paham, Can." Ujar Aelke seraya terkekeh. Candy menaik-turunkan alisnya sebelum meletakkan gelas milik Aelke di hadapan Aelke dan gelas miliknya di hadapannya. Aelke juga melakukan hal yang sama.
Candy dan Aelke mulai memakan makanan mereka sampai mereka berhenti saat mendengar tawa yang benar-benar pecah dari meja tempat Morgan berada. Di meja itu sepertinya adalah kumpulan siswa-siswi paling dikenal di sekolah ini. Di sana ada Morgan, Rafael, Bisma, Christy, dan beberapa siswa lainnya yang terlihat sangat ramah dan bersahaja.
"Rame, ya?" Tanya Candy. Aelke menganggukkan kepala seraya menyedot jus lemonnya. "Mau pindah?" Tanya Aelke. Candy segera menggelengkan kepalanya. "Yah, jangan pindah, dong. Gue malah seneng kalo begini. Seenggaknya, gue udah hafal sama tawanya dia sebelum akhirnya bener-bener jadi alasan kenapa dia ketawa." Aelke terkekeh.
Tak berapa lama kemudian, beberapa siswa-siswi yang bergabung dengan Morgan bangkit dan pergi. Meninggalkan Morgan dan Bisma yang masih terjebak percakapan seru. Candy menarik nafas.
"Pendekatan dimulai dari sekarang. Loe ke kelas aja duluan, Ke. Gue mau deketin Morgan." Candy berbisik seraya bangkit berdiri. Aelke menarik nafas dan menganggukkan kepala. "Okay. Selamat berjuang, ya, Can." Candy tersenyum lebar sebelum berjalan mendekati Morgan yang tengah bicara dengan Bisma. Sementara, Aelke segera beranjak menuju ke kelasnya.
"Ehm, Morgan," sapa Candy.
Morgan menoleh dan tersenyum kepada Candy. "Oh, hai, ehm.." Morgan berpikir lama karena dia tidak begitu mengenal Candy. "Nama aku Candy." Candy segera menjulurkan tangannya di hadapan Morgan. Morgan membalas. "Hai, Candy. Kenapa? Ada yang bisa dibantu?" Morgan bertanya tanpa basa-basi. Sementara Bisma, mulai acuh tak acuh dengan mengeluarkan handphone-nya.
"Entar latihan karate pertama, kan?" Tanya Candy. Morgan menganggukkan kepala.
"Jam berapa, ya, latihannya?" Tanya Candy lagi. Pokoknya, dia harus bisa bercakap-cakap lama dengan Morgan. Bagaimanapun caranya.
Morgan terlihat berpikir sebelum menjawab, "mulainya sekitar jam empat. Saran aja, kalo mau ikut, mending gak usah pulang ke rumah. Langsung aja. Ganti baju di sekolah." Morgan kembali tersenyum. Senyuman yang berhasil membuat Candy terbang ke langit ketujuh.
"Ehm, pelatihnya gak galak, kan?" Tanya Candy lagi seraya menarik kursi yang berada tak jauh dari Morgan dan duduk di sana.
Morgan menggelengkan kepalanya. "Enggak galak, kok. Tenang aja. Malah baik. Dijamin gak bakal nyesel, deh, udah ikut karate." Morgan tersenyum memamerkan deretan gigi-gigi putih bersihnya. Candy menahan nafas.
"Latihannya berapa jam? Selesainya jam berapa?" Tanya Candy lagi.
"Sekitar dua jam. Selesai jam enam sore." Jawab Morgan.
Candy menarik nafas. Tidak, sepertinya sudah terlalu banyak pertanyaan yang ditanyakan. Sebaiknya, Candy menyimpan pertanyaan itu untuk pendekatan besok.
"Oh, ya, udah. Makasih atas informasinya, ya, Morgan." Candy tersenyum, bangkit berdiri. Morgan balas tersenyum. "Iya, sama-sama." Candy segera melangkahkan kakinya pergi menjauhi Morgan.
***
Sebenarnya, Aelke tidak langsung pergi ke kelas karena tiba-tiba saja, seorang guru memanggilnya dan mengajaknya ke perpustakaan untuk bicara di sana. Aelke yang merupakan anak baru benar-benar tak berkutik. Dia takut akan dikenakan hukuman atau apapun itu. Dia masih sangat baru. Masa sudah mau dihukum?
"Ibu gak akan hukum kamu. Ibu justru mau undang kamu untuk bergabung ke klub yang Ibu bina." Ujar guru bernama Bu Mey tersebut. Aelke mengangkat sebelah alisnya bingung. "Maaf, Bu. Klub apa, ya? Maksudnya ekskul?"
Bu Mey tersenyum tipis. Menurut Aelke, guru yang satu ini adalah guru tercantik di antara yang lainnya.
"Bukan ekskul. Hanya persiapan saja untuk menghadapi olimpiade-olimpiade yang akan dilaksanakan di sekolah ini. Ibu selalu mempersiapkan sejak awal. Beberapa murid. Dari kelas dua belas lima orang, kelas sebelas lima orang dan kelas sepuluh lima orang. Kamu terpilih jadi salah satu diantaranya." Jelas Bu Mey.
"Siapa aja, Bu, yang sudah terdaftar?" Tanya Aelke sopan.
Bu Mey meraih kertas yang berisikan nama-nama orang yang terdaftar lalu menyebutkannya. "Kelas dua belas: Rafael, Sinta, Sandy, Margie, dan Andi. Kelas sebelas: Samantha, Robbie, Jessica, Stefanus, dan Morgan." Aelke membulatkan matanya.
"Morgan?"
Bu Mey tersenyum. "Ya, Morgan. Emang, sih, kalo dari sikap, bisa dibilang dia kekanak-kanakan. Tapi, kamu masih tergolong baru, kan, di sini? Kamu belum tau dia kalo udah mulai debat, kan? Rafael pun kalah sama dia. Dia jago dalam pelajaran Bahasa. Dia bisa Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin dan sedikit Jepang." Aelke cukup terkejut mengetahui fakta itu.
"Ibu mengajak kamu bergabung karena menurut informasi yang Ibu dapatkan dari guru SMP kamu, kamu cukup berbakat dalam berbagai bidang, apalagi matematika. Kamu pernah menang olimpiade matematika, kan?" Mau tak mau, Aelke menganggukkan kepalanya. "Tapi, itu kan waktu SMP. Kalo SMA gak tau." Ujar Aelke.
"Oleh karena itu, Ibu akan bimbing kamu untuk bisa. Kita bisa bekerja sama. Bagaimana? Berminat bergabung?" Tanya Bu Mey. Aelke menganggukkan kepalanya.