Part 2

84 7 7
                                    

Hari hari berikutnya, sama sekali tidak ada tanda-tanda dari Demon. Karsten memutuskan untuk menutup kasus ini. Dia bahkan tidak melaporkan nya ke Tetua. 

Tidak semudah itu, Karsten. Kita harus tetap waspada bukan?

Akhir akhir ini sangat kacau. Banyak Geldia Frye di Timotheus Mansion yang mogok. Mansion kami jadi sepi. Mereka mogok karena ujian. Yeah, ujian yang dibuat oleh Tetua. Namanya Ujian Nympha. Wajib diikuti oleh Geldia Frye yang berusia 12, 15 dan 19. Dan persiapan ujian harus dilakukan jauh jauh hari di karantina.

Semuanya terasa gersang. Tidak ada yang seru. Latihan juga membosankan. Mr. Dominico terus terusan memberikan materi Medis. Membosankan. Di kelas juga, membosankan. "Miss. Samuelle?"

Aku mendengar namaku dipanggil. "Ya?" Aku mendongak. "Ada apa, Mrs. Smith?"

Mrs. Smith, guru sejarah kami. Dia menggelengkan kepala mungil nya. Anting perak nya ikut bergoyang. "Apakah kau sedang sakit?"

"Yeah, aku sedikit tidak enak badan." dusta ku. Aku cuma malas mengikuti pelajaran, jadi aku berlagak lemas.

Lalu Mrs. Smith menyuruhku ke ruang kesehatan dan beristirahat di situ. Akhirnya, aku bisa sedikit bersantai.

Lorong lorong sekolah kelihatan sepi. Aku mempercepat jalanku. Saat sampai di depan pintu UKS, terdengar suara dari ruangan itu.

Sepertinya ada orang. Aku membuka pintu itu. "Hai, cewek tanpa ekspresi!"
Seorang cowok bersurai pirang keemasan sedang duduk di atas ranjang sambil membalut kakinya. Dia terluka.

Bryan Jonathan, anak kelas 11-5. Si Play Boy menyebalkan. Seandainya dia Demon atau makhluk lainnya, sudah ku pastikan untuk
membunuhnya. "Hm." Aku menyahut.
Tanpa mengacuhkan nya, aku langsung duduk di ranjang lain. Lebih
baik aku membaca saja. Ku keluarkan sebuah buku kecil dari saku ku. Buku yang tepat, Senjata Geldia Terhebat.

"Bolos eh?" Bryan memandangku dengan mata hijau nya. "Bagaimana kalau membantuku membalut kaki ini? Kau sedang tidak sibuk kan?"

"Balut saja sendiri." Aku menjawab dengan nada dingin.

Dia merubah tatapan nya menjadi pura pura kecewa. Cih, aku benci sorot mata yang dibuat buat seperti itu! "Kau yakin, Alls?"

Cih, dia memanggilku 'Alls'? Sok akrab sekali sih dia. Tidak ada yang memanggilku 'Alls' selain Geldia di Timotheus Mansion dan orang orang dekatku. Bryan tidak termasuk di kedua kategori itu.

"Bisakah kau diam!?" bentak ku sambil memasukkan buku. Seperti nya membaca tidak membuat kondisi menjadi lebih seru. Berdebat dengan cowok ini sepertinya menantang.

"Oh... Allosha... Kenapa kau judes sekali sih?"

"Bukan urusanmu, Jonathan." Aku memanggilnya dengan nama belakang. Kita tidak punya hubungan dekat bukan? Aneh rasanya jika memanggil dia dengan nama depan.

"Begini, Allosha..." Dia terkekeh. "Aku cuma ingin tau, kau kenapa sih selalu seperti itu? Berusahalah memperhatikan penampilan dan lebih ramah. Kau pasti menjadi terkenal di sekolah."

Tiba tiba dia sudah duduk di sebelah ku. Aku turun dan berpindah ke ranjang lain. Malas berdekatan dengan cowok brengsek seperti itu. Dia selalu mendekati semua cewek yang ada di depan nya.

"Kenapa menjauh, Allosha? Atau kau grogi ya kalau berdekatan denganku?" tawa memuakkan nya terdengar lagi.

Sabarlah, Alls. Kalau kau tidak sabar, hajar saja dia. Dia itu tidak bisa berkelahi. Hajar saja. Aku menarik nafas panjang panjang lalu menghembuskan nya.

Bryan terkekeh kecil. "Dasar cewek judes." Dia mengacak rambutku sekilas lalu keluar dari ruangan. Sial, aku tidak sempat menangkis nya.

Tangannya terasa sangat dingin. Seperti es. Sensasi dingin itu menjalar sampai ke ujung kaki.

Dimidium Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang