Part 13

79 5 7
                                    

"Ini darah pacarmu itu?" tanya Lizabeth sambil memandangi botol kaca berisi darah Talitha. "Darahnya lumayan juga. Peri memang cantik ya, bahkan darahnya juga. Merah yang indah, seperti langit ketika matahari hendak tenggelam. Walaupun pacarmu itu hanya separuh peri."

Marchosias mengggaruk leher belakangnya. "Begitulah." matanya mengamati Lizabeth dengan sedikit rasa tidak nyaman. Lizabeth memang cantik, siapa yang tidak terpikat dengan bibir merahnya, surai hitam gelapnya dan juga iris biru muda seperti permata yang kontras dengan rambutnya? Lizabeth memiliki sisi gelap Psikopat yang membuat Marchosias tidak nyaman. Darah seorang peri dikatakan cantik, bukankah itu pemikiran yang mengerikan?

Lizabeth meletakkan botol kaca itu di pagar balkon kamarnya. Sambil bertompang dagu, Lizabeth memandang halaman belakang Istana yang dipenuhi pepohonan hijau dan beberapa tanaman hias. Sebuah pohon paling besar terletak di tengah halaman. Pohon Zaqqum, pohon kesayangan Lizabeth yang berbuah kepala manusia.

"Kelihatannya kau sedih atas kematian pacarmu." ujar Lizabeth sambil menggigit sepotong besar apel yang berwarna merah seperti bibirnya.

Kepala Marchosias tertunduk dalam. "Baru kali ini aku merasakan penyesalan."

"Berarti kau sudah tidak berguna lagi." Maroon yang sedang duduk di pagar balkon berbicara tiba-tiba sambil menggigit ujung ilalang. Matanya terpejam menikmati udara sejuk yang berhembus menerpa surai merahnya.

"Yeah, sepertinya kau sudah tidak berguna lagi, Marchosias." Lizabeth mendukung ucapan kakaknya. "Aku akan bilang pada Ayah. Bahkan dengan senang hati akan memimpin eksekusi mu."

Mendengar ucapan Maroon dan Lizabeth, Marchosias langsung mengeluarkan keringat dingin didahinya. "T-tidak... Bukan begitu maksudku, kau juga begitu kan, Maroon? Ingat si Samuelle itu."

Maroon mendesis marah. "Tutup mulutmu, Marchosias. Gadis itu hanya Geldia Frye rendahan." Ketika Maroon mengatakan kata 'rendahan' dia seperti merasakan sesuatu yang pahit di ujung lidahnya. Hati kecilnya tidak setuju dengan kata yang baru saja dia ucapkan. Seakan-akan batinnya berteriak bahwa gadis Samuelle itu bukan rendahan.

"Kau mengatai nya rendahan? Huh..." Lizabeth mendengus sinis. "Padahal kau sangat menginginkan gadis itu kan?"

Wajah Maroon memerah entah karena malu atau marah. Mengingat obsesi Lizabeth pada Karsten Karl, Maroon menyerang balik Lizabeth. "Lalu menyangkut si Karsten Karl itu bagaimana? Apa pendapatmu?"

Sekarang giliran rona merah menghiasi wajah tirus Lizabeth. "B-bisakah kau menutup m-mulut mu itu, Maroon?!"

"Huh." Maroon mendengus kesal lalu kembali mengunyah ujung ilalang.

Marchosias hanya gelang-geleng melihat tingkah kedua kakak-beradik itu. Terkadang melihat pertengkaran kecil mereka menjadi hiburan baginya.

"Maafkan aku, Talitha. Aku menyesal sekali." ujar Marchosias penuh penyesalan dalam hatinya. Nasi sudah menjadi bubur, Marchosias. Ingat pepatah itu, kau sudah membunuh Talitha, tidak bisa kau mengharapkannya bangkit kembali. Walaupun penyesalan mu sebesar letusan gunung api dan matamu meneteskan darah tulus, Talitha tidak akan hidup kembali.
***
Allosha POV

Jarum panjang di jam tanganku menunjuk angka 10. Masih 2 jam lagi menuju keberangkatan mendatangi Benedict. Dylan menyewa sebuah penginapan di dekat kastil Edinburgh yang paling murah. Kata si pemilik penginapan yang berwajah mirip bebek itu kastil Edinburgh hanya memerlukan waktu 15 menit berjalan kaki.

Hanya satu kamar yang kami sewa. Karena ini adalah penginapan paling murah di sini, kami tidak bisa mengharapkan fasilitas yang nyaman. Dinding kamar nya lembab dan dipenuhi cat tembok terkelupas. Air di toilet nya tidak terlalu jernih. Aku sudah cukup terbiasa dengan keadaan seadanya, sejak kecil dulu malah.

Dimidium Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang