Its amzing how someone can break your heart, but you still love them with all the little pieces-----
Sudah dari sejam yang lalu Bulan duduk dimeja belajar dengan soal fisika dihadapannya, Biasanya Bulan akan dengan cepat menyelesaikan PR nya dengan mudah tapi kali ini otak Bulan seakan bejerja dengan lambat sehingga ia hanya bisa mengerjakan setengah dari jumlah soal keseluruhan.
Bulan kehilangan konsetrasinya dan ini membuat ia kehilangan selera untuk melahap soal soal didepannya, Bulan mendesah dan lebih memilih menidurkan kepalanya di atas buku untuk sejenak ia memejamkan matanya.
Mungkinkah ia harus mendengarkan perkataan kedua sahabatanya? Move on? Bulan mendesah memangnya move on segampang itu?
Move on itu bukan sekedar melupakan apalagi pura pura lupa, move on itu tentang merelakan dan mengikhlaskan. Rasanya semakin Bulan berusaha melupakan perasaan ini, Bulan semakin menyadari rasa ini terlalu besar dan dalam.
Kenapa Bulan harus terjebak di dalam perasaan tanpa ujung seperti ini? Apakah Bulan sebodoh itu? tetap menyukainya walpun jelas jelas Awan sudah mempunyai seseorang yang dicintainya.
Bulan harusnya ikut bahagia karna Awan mendapatkan seseorang yang benar baik untuknya, mungkin Bulan harus menyerah disini saja, membiarkan mereka berdua bahagia, Bulan sama sekali tidak ingin menjadi orang ketiga
Suara ketukan pintu menghentikan acara melow nya, dengan malas Bulan berteriak "Masuk!"
Seorang wanita yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun masuk ke kamarnya, Bi Inah dengan masih memakai celemek yang sudah pudar warnanya, Hari ini memang Bulan telah kembali kerumahnya.
"Non makan malam sudah siap," Bulan baru menyadari bahwa Ibu dan Ayahnya baru saja pulang dari perjalan bisnis.
Bulan mengangguk lemah "Iya bi, nanti aku turun" Bi Inah mengangguk dan segera keluar dari kamar. Bulan segera membereskan semua bukunya dan memasukannya ke dalam tas sekolahannya.
Suara Hp yang berbunyi membuat langkah Bulan terhenti ketika ia akan keluar dari kamar, Bulan segera berbalik dan mengambil Iphone berwarna silvernya itu di atas nakas.
Awan: Bulan kita perlu bicara
Kening Bulan berkerut melihat pesan line yang dikirimkan cowok itu, maksudnya apa? Memangnya apa yang mau mereka bicarakan, lagi pula dari mana cowok itu mendapatkan ID line nya. Bulan merasa dirinya dan Awan sudah tidak punya urusan lagi.
Bulan menghela nafas, bisa nggak sih cowok itu membuat semua ini menjadi lebih mudah? Cukup berhenti dan kembali pada jalan masing masing dimana sebarusnya mereka tidak saling bersinggungan.
Karna bagi Bulan semuanya sudah cukup jelas, Awan milik Sandra, dan Bulan cuma orang asing di antara mereka berdua, semuanya dari awal memang salah. Seharusnya Bulan tidak membiarkan perasaannya semakin berkembang dan tak seharusnya Bulan membiarkan Awan mendekatinya. Awan terlalu membingungkan dan tidak pasti, seharusnya Bulan tetap berada dalam zona aman.
Even though, i know. In the end, the one that gets hurt isn't him, but its me.
Bulan tidak membalas pesan line dari cowok itu ataupun men-read nya, Bulan langsung menghapus Line dari cowok itu.
Bulan keluar dari kamarnya, ia melihat kedua orang tuanya yang sudah siap di meja makan, sudah sekitar tiga minggu Bulan tidak bertemu dengan keduanya, meski kadang mereka selalu meneleponnya unruk sekedar menanyakan kabar. Menjadi Anak tunggal memang membuat Bulan tidak punya teman di rumah, Bulan merasa kesepian dirumah sebesar ini jadi Bulan lebih memilih mengungsi kerumah Arga, Bulan hanya bisa menerima dan memaklumi kesibukan kedua orang tuanya toh hasilnya untuk dirinya juga.
Bulan tersenyum lalu memeluk ibu dan Ayahnya secara bergantian, betapa Bulan merindukan mereka.
"Sayang gimana kabar kamu?" tanya ibunya dengan senyum mengembang.
Bulan duduk dikursi disamping Ayahnya "Baik mah," jawab Bulan." fisik iya, hati engga" lanjut Bulan dalam hati.
Bulan memakan makanannya dengan malas, ternyata patah hati bisa mempengaruhi selera makan. Dari tadi Bulan terus mengaduk ngaduk makanannya hanya sesekali ia menyuapkan makanan kedalam mulutnya.
"Gimana sekolah kamu?" Tanya Ayahnya.
"Seperti Biasa pah," jawab Bulan pelan sambil menunduk menatap makanannya.
Dari sudut matanya Bulan tahu kalau Ayahnya itu mengangguk "Bagus, jangan sampai nilai-nilaimu turun," Bulan sangat tahu apa yang diucapkan ayahnya barusan. Ayahnya memang agak sedikit keras dan Bulan harus selalu menuruti semua permintaan Ayahnya, satu lagi Ayahnya tidak suka dibantah.
Bulan hanya mengangguk "Terus wajahmu murung kenapa?" Kini giliran Bundanya yang bertanya.
Bulan menggeleng sambil bergumam "Nggak papa ko."
"Kamu murung kayak kelihatan baru patah hati aja."
Celetukan Ibunya barusan membuat Bulan seketika tersedak minumannya, kenapa perkataan Ibunya tepat sasaran? Bulan langsung melihat ke arah Bundanya yang menatapnya penasaran dan Ayahnya yang menatapnya penuh curiga. Bulan menelan ludahnya.
"Hah? Apaan deh Bun, enggak lah," elak Bulan mencoba menjawab dengan santai.
Ayahnya langsung menatap Bulan dengan sorot penuh ketegasan "Inget pesan ayah jangan pacaran dulu, nanti kalo kamu sakit hati bakal mengganggu Belajar kamu, ayah gak mau nilai kamu turun, kan katanya kamu mau kuliah di Amerika. Kamu harus perjuangin itu Bulan, bukan cuma kamu yang punya mimpi, kamu harus berlomba dengan orang lain, ayah nggak ingin fokus kamu terbagi," Ayahnya berkata dengan tegas namun tetap tenang.
Bulan mengangguk "Iya pah, aku bakalan inget omongan papah."
YOU ARE READING
Gravity
Teen FictionJudul lama: Bulan & Awan DI PRIVATE [Completed] #Highest ranking #24 on teen fiction 16-02-2016 Awan Rayikan fauzi, Seorang Bad boy sekolah, Playboy penakluk hati terutama wanita cantik, seksi tanpa otak , tapi hanya me...