Cessa baru saja mengunci pintu, waktu matanya menangkap sebuah motor hitam terparkir manis di depan rumahnya. Ia tidak perlu berpikir dua kali, untuk tau siapa yang duduk diatas motor tersebut.
"Udah siap tuan putri?" senyum Elang merekah, saat melihat Cessa yang menatapnya seperti ingin membunuh.
"Lo ngapain disini?" ujar Cessa dingin.
"Jemput," Elang berujar kalem, dia sudah menang, jadi Elang tidak mau maruk. Biar saja cewek ini melakukan perlawanannya.
"Jemput siapa?"
"Pacar sekaligus bendahara tim," Cessa bersumpah ingin mencabik-cabik wajah Elang waktu melihat senyum kemenangan di bibir cowok itu.
"Siapa yang mau jadi bendahara tim lo?"
"Maunya jadi pacar doang gitu?" mata Elang semakin berbinar, saat mendapati Cessa yang menatapnya dengan nyalang. Api seolah berkobar-kobar disekeliling cewek itu.
"Ngapain lo bawa-bawa Chika?"
"Mana? Emang gue bawa-bawa Chika? Nggak ada tuh." Elang berpura-pura mencari Chika, bahkan ia menyempatkan diri membuka jok motor, seolah-olah ada kemungkinan bahwa cewek itu berada disana.
“Terserahlah, gue mau berangkat.”
“Naik apa tuan putri?”
“Bimo kurang ajar!” Cessa langsung mengutuk jongos Elang yang satu itu. Dia benar-benar lupa, bahwa Bimo belum mengembalikan mobilnya.
“Lo tuh ya” Cessa mendesis geram, tapi Elang hanya membalasnya dengan senyuman.
Dihampirinya cewek itu. “Aku nggak suka memohon, sukanya maksa. Jadi jangan sampe kamu aku paksa terus ya, nanti istirahat pertama ke sekret sama Chika. Oke?” Cessa masih menatapnya tajam, tidak menjawab.“Kamu tau kan, Chika nggak bakal aman jadi cewek satu-satunya di futsal?” suara Elang lembut, sangat lembut.
“Jaket ama helmnya mana?” tanya Elang kalem.
“Gue buang.”
“Oh yaudah, udah tau juga sih, yuk!” melihat Elang yang santai seperti tanpa dosa, Cessa ingin sekali berteriak dan membanting cowok ini, tapi ia tidak bisa melawan, Elang sudah memegang kartunya.
Jadi, Cessa hanya menurut waktu Elang menariknya menuju motor.
“Hari ini, hari terakhir lo pulang naik mobil sendiri ya, mulai besok, pulang pergi sama gue oke?” kata Elang sama sekali tidak berniat meminta persetujuan.
“Lo pengen jadi tukang ojek?”
“Oke?” Elang mengulangi akhir kalimatnya, tetap tidak bermaksud meminta persetujuan, Cessa tidak menjawab, hanya diam dan Elang mengartikannya sebagai sikap kerja sama.
“Pegangan yang kuat ya,” Cessa tidak menuruti perintah Elang, dia bahkan tidak sudi memegang jaket cowok ini sekalipun.
“Aku udah bilangin ya” setelah mengatakan kalimat tersebut, Elang melajukan motornya dengan hentakan keras, membuat tubuh Cessa terbanting kepunggungnya, sehingga mau tak mau cewek itu berpegangan pada jaketnya.
Berkat aksi gilanya Elang, waktu yang harusnya mereka tempuh selama empat puluh lima menit, dapat diringkas sampai lima belas menit!
Ketika mereka sampai disekolah, Bimo yang duduk manis menunggu Elang diparkiran, langsung berdecak kagum.
“Gile lo ndro, lo apain nih anak?” wajah Cessa pucat pasi tanpa warna, ditanya Bimo seperti itu, Elang cuma nyengir polos.
“Lo sih Bim, kan udah gue suruh balikin mobilnya, gimana sih?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You? Really?
Teen Fiction#06 TeenFiction (23 Januari 2017) Pemenang The Wattys 2016 kategori Cerita Luar Biasa. Kita adalah sama, mencintai dalam luka. Aku baik, namun dalam sudut yang tidak kasat mata, aku lebih dari terluka. Kamu baik, tapi dalam sisi yang tidak tersentuh...