Tiga Puluh Empat

157K 14.4K 565
                                    

"Makasih ya kak," gumam Cessa sembari menghela napas. Ia dan Edo berada di sebuah kelas kosong, menggelar pertemuan rahasia seperti beberapa hari sebelumnya. Sudah seminggu sejak ibu kandung Elang meninggal, dan setiap harinya yang Cessa lakukan adalah menanyakan kabar Elang pada Bimo atau Edo.

Kabar yang baru saja ia terima membuat Cessa kembali murung, seminggu berlalu, Elang sudah terlihat jauh lebih baik daripada sebelumnya, tapi Edo dan Bimo terlalu mengenal Elang, sehingga mereka paham bahwa yang Elang lakukan saat ini adalah membangun kembali benteng pertahanannya yang baru saja rubuh.

Tidak ada usaha untuk menyembuhkan, sepenuhnya yang cowok itu lakukan adalah berusaha menutupi lukanya.

Elang juga belum menjenguk papanya, hal tersebut Cessa ketahui dari mommy Elang beberapa hari yang lalu. Inilah yang membuat Cessa lebih khawatir, pasalnya keadaan Rudi semakin kritis, kemungkinan kesembuhannya semakin menipis karena donor jantung belum didapatkan. Cessa tidak dapat membayangkan, bagaimana kalau Elang mengetahui kebenaran tentang papanya justru ketika pria itu sudah dipanggil Tuhan.

Elang akan lebih hancur dari sebelumnya.

Cessa menggelengkan kepalanya, berusaha melenyapkan kemungkinan itu dari tempurung kepalanya.

"Cessa? Hallo?" Edo melambai-lambaikan tangannya di hadapan Cessa berusaha mendapatkan perhatian dari gadis itu.

"Eh iya, kak?" Edo tersenyum melihat Cessa yang sudah kembali sadar dari lamunannya. Sejujurnya, selain Elang, Edo juga mengkhawatirkan Cessa. Tapi Chika yang ia paksa untuk bercerita pun tidak mau membuka mulut tentang hubungan Cessa dan Reno.

"Kalo lo masih sayang sama Elang, kenapa harus ninggalin Elang sih?" tanya Edo lembut. Cessa menggigit bibir bawahnya tampak gelisah.

"Karena-" Cessa berusaha mencari alasan yang tepat, namun tak ada yang dapat ia katakan selain berkilah, "gue nggak sayang sama Elang," ujar Cessa akhirnya, Edo menghela napas sebelum kembali mengajukan pertanyaan.

"Karena Dita ya?" pertanyaan Edo ternyata tepat sasaran, raut wajah Cessa berubah saat itu juga, membuat Edo menelan ludahnya. Ternyata benar, Dita sudah berubah, terlampau jauh.

"Kak Edo tau darima-" kalimat Cessa belum sempat terselesaikan ketika Edo menepuk bahunya.

"Gue sahabat Reno dulu," mendengar pengakuan Edo, mata Cessa membulat, lalu meredup di detik kemudian. Edo tersenyum getir melihat rasa bersalah dalam kedua bola mata gadis itu.

"Reno meninggal itu takdir, tapi tolong jangan ninggalin Elang cuma karena masa lalu lo, mungkin yang paling Elang butuhkan sekarang bukan gue dan Bimo, tapi elo Cess." Cessa menggigit bibir bawahnya, sungguh ia juga ingin berdiri di samping Elang, tapi jika itu hanya akan menghancurkan Elang sekali lagi, Cessa lebih memilih untuk berdiri jauh dari cowok itu.

Edo dapat menangkap kekhawatiran dari gesture tubuh Cessa, maka dari itu diremasnya bahu Cessa untuk meyakinkan.

"Soal Dita, itu urusan gue, gue janji." Akhirnya Cessa mengangguk ragu, walaupun ia tau kebersamaan akan melukai mereka sekali lagi, namun ia ingin mencobanya, ia ingin berdiri di samping Elang untuk menguatkan dan dikuatkan.

"Nah gitu dong, yuk cabut ke kelas." Edo mengulurkan tangan membantu Cessa bangkit dari duduknya, namun tepat ketika mereka berdua berdiri Bimo berhambur masuk dari pintu, lalu menatap keduanya dengan sorot yang tidak dapat Cessa definisikan.

***

Tubuh Cessa menegang kala membaca tulisan yang tertera di cermin dekat tangga gedung kelas sepuluh. Ditulis menggunakan lipstick berwarna merah darah, dengan huruf super besar, penuh kebencian dan bersifat menghancurkan sang pemilik nama.

Are You? Really?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang