Sudah tiga jam, sejak Cessa dan keluarganya meninggalkan kediaman Elang. Lampu kamarnya juga sudah lama dimatikan, tapi sang pemilik masih bergerak gelisah di atas kasur. Percakapan Cessa dengan papa Elang masih terngiang jelas di telinga cewek itu, membuat Cessa tidak bisa memejamkan kedua matanya barang sekejap.
"Om hanya berharap, suatu saat nanti Elang akan percaya, bahwa om menyayangi dia. Sepenuh hati om. Sebagai seorang ayah."
Kalimat itulah yang benar-benar mengganggu Cessa. Kenyataan bahwa Elang adalah anak kandung, dan hasil perselingkuhan ayahnya, ternyata belum cukup menyakiti cowok itu. Elang masih harus berperang melawan banyak luka lainnya, luka yang cowok itu sendiri belum sadari.
Cessa meraba-raba kasur, mencari handphonenya.
Setelah menemukan benda mungil itu, Cessa langsung mengusap layarnya.Saat ini, sudah pukul satu malam. Apa tidak apa-apa kalau Cessa menghubungi Elang sekarang? Cessa mengetuk-ngetuk ponselnya, menimbang-nimbang. Kekhawatirannya lah yang menang.
Cessa ingin mendengar suara Elang, walaupun Cessa sendiri tidak mengerti alasannya. Ia hanya ingin memastikan, Elang dalam keadaan baik-baik saja.
Namun baru deringan kedua, Cessa buru-buru memutuskan sambungan. Mungkin dibanding menelfon, mengirim pesan lebih sopan.
Cessa mengetikan beberapa kata, kemudian mendengus ketika membacanya.
"Are u okay?" Cessa merinding, membayangkan Elang yang membaca isi chatnya.
"Yang ada itu setan ntar gede rasa." Cessa menghapus pesannya, kemudian memajukan bibirnya. Ia ingin tau bagaimana keadaan Elang, tapi ia tidak tau apa yang harus ia katakan.
Ketika Cessa sedang menggigit-gigit jarinya, handphonenya berdering, dengan malas diliriknya benda mungil tersebut. Tapi langsung terkesiap ketika nama 'Orang gila' tertera di layar handphonenya. Dengan sigap, di gesernya tombol hijau, hingga hubungan itu tersambung.
"Hallo!" Cessa tidak berniat membentak, tapi entah kenapa justru nada itu yang keluar dari bibirnya.
"Kenapa lo telfon? Akhirnya udah kangen sama gue?" Cessa memutar bola matanya, tapi tak pelak tersenyum juga.
Ia membalik tubuhnya, hingga kini, langit-langit kamarnya lah yang terlihat. Dalam bayangannya, Elang sedang melakukan hal yang sama.
Bedanya, langit-langit kamar Elang indah bertabur bintang, langit kamar Cessa gelap polos tanpa warna.
"Kepencet tau." Cessa memberi alasan, bingung mau mengatakan alasannya menelfon cowok itu.
Dikamarnya, Elang terkekeh, "Dasar cewek, banyak alasan!"
"Lo belom tidur?" tanya Elang akhirnya, entah kenapa ia merasa senang walaupun kata Cessa cuma 'kepencet'.
"Belom." Cessa menjawab singkat, namun nada cewek itu berubah lembut.
"Segitu kangennya sama gue sampe nggak bisa tidur?" dalam bayangan Elang, Cessa mendengus lalu memutar kedua bola matanya. Tentu saja dugaan Elang benar.
"Pede lo! Udah ah gue ngantuk!" Elang terkekeh, mendengar Cessa yang kembali judes. Pantas saja secinta apapun cowok-cowok itu sama Cessa, ujungnya nyerah juga, orang anaknya jutek banget.
"Jangan tidur dulu dong, kan kita telfonan begini jadi kayak orang pacaran beneran." Suara Elang kembali terdengar. Tanpa cowok itu ketahui, dikamarnya pipi Cessa memerah mendengar kalimat Elang barusan.
"Cess?" tidak kunjung mendengar jawaban, Elang memanggil cewek itu lembut.
"Iya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You? Really?
Teen Fiction#06 TeenFiction (23 Januari 2017) Pemenang The Wattys 2016 kategori Cerita Luar Biasa. Kita adalah sama, mencintai dalam luka. Aku baik, namun dalam sudut yang tidak kasat mata, aku lebih dari terluka. Kamu baik, tapi dalam sisi yang tidak tersentuh...