Mereka pikir gua takut kali pulang sendiri.
Liatin aja besok sebelum subuh gua pulang diem-diem.
Aku sedang berjalan di pinggiran blok-blok perumahan setelah tadi meluapkan segala kekesalan ku pada Luke.
Ia beberapa kali mencoba untuk menenangkan ku tapi oh, jangan harap aku akan jatuh ke lubang-lubang kebodohan lainnya.
Sebenarnya entah aku akan berjalan kemana saat ini, yang aku tahu aku hanya berusaha untuk pergi sejauh mungkin dari Luke dan ya, tiga teman idiotnya.
Pada akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke sebuah kedai kopi setelah merasa sudah cukup jauh berjalan.
Untung saja aku masih mempunyai sisa lima dolar dari tiket masuk Taronga yang tadi pagi Ashton titipkan.
Aku tidak begitu menyukai kopi namun aku tahu aku sangat suka cokelat. Jadi, aku memesan satu cokelat panas sejak malam-malam di Sydney selalu saja dingin.
Aku meminggirkan cangkir ku dan menatap ke luar jendela.
Cokelat.
Seketika otak ku kembali mengulang kejadian saat Luke datang dengan sebatang cokelat untuk ku waktu kami di Bali.
Saat itu ia mengatakan bahwa cokelat bisa membuat semua orang jadi merasa sedikit lebih baik. Dan entah mengapa sepertinya itu bekerja pada ku.
Ah, mengapa Luke selalu saja bisa membuat ku tersenyum bahkan dalam keadaan aku sedang tersakiti olehnya?
Aku membuang pandangan ku dari jendela menuju keramaian dalam kedai kopi ini.
Orang-orang dengan asyik mengobrol sambil menikmati hangatnya minuman mereka, beberapa sibuk berlalu lalang, datang dan pergi memesan kopi, beberapa dengan asyik menikmati lagu-lagu yang sedaritadi dibawakan oleh seorang gadis.
Tunggu.
Dengan hati-hati aku menatap gadis yang sedang bernyanyi dengan gitar akustik itu.
Aleisha?
Iya, benar, sudah bisa dipastikan itu adalah Aleisha.
Ahelah ngapain sih?
Udah cantik.
Bule.
Ramah.
Kenapa suaranya harus bagus juga?
Kenapa harus bisa main gitar juga?
Ah udah inimah gua abis.
Sungguh, pantas lah Luke tidak bisa terlepas dari Aleisha. Gadis ini sangatlah sempurna. Sempurna secara hafiah.
Calum benar. Tidak seharusnya aku yakin terlalu cepat. Tidak seharusnya aku percaya terlalu cepat. Mana mungkin Luke bisa berpaling pada gadis seperti ku dari gadis seperti Aleisha?
'Don't you think we shoulda learned somehow?'
Aleisha turun dari panggung, mengakhiri Slow Dancing In A Burning Room yang dibawakannya, dan aku bisa merasakan ia menatap ku.
Aku buru-buru menghapus air mata yang untuk kesekian kalinya membanjiri wajah ku.
Gadis itu menghampiri ku dengan wajah prihatin. Rambut panjangnya malam ini dikepang satu dengan cantik.
Aku mengembuskan satu napas panjang sebelum turun dari kursi bar ku. Apapun alasan Aleisha menghampiri ku, aku tidak ingin tahu.
Maka saat ia berdiri tepat dihadapan ku, aku menatapnya dan memeluknya sebentar dengan beberapa tetes air mata yang tak tertahankan lagi. Saat aku melepaskan pelukan, Aleisha menatap ku kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUSTRALIANS 2 [5SOS]
Fanfiction"Opening act," jawab Michael singkat. "Two years and still opening act?," aku tertawa. "One Direction," Calum menambahkan.